BAIT Ministry

HUT BAIT ke 1 di Megamendung Bogor

Kunjungan ke Jemaat Sentul dan Panti Asuhan di Bogor dalam rangka HUT BAIT Ministry ke 1.

BAIT Ministry di Toraja

Kunjungan BAIT Ministry ke SLA Mebali dan berbagai tempat wisata dalam rangka HUT BAIT ke 3.

Kunjungan BAIT Ministry ke Palu

Kunjungan BAIT Ministry ke Palu Dalam Rangka HUT BAIT Ministry ke 4.

KKR Bait Ministry di Kotamobagu

KKR BAIT Ministry di Kotamobagu Dalam Rangka HUT BAIT Ministry ke 5.

Baptisan BAIT Ministry di Kotamobagu

Baptisan Setelah KKR Dalam Rangka HUT BAIT Ministry ke 5 di Kotamobagu.

Sabtu, 15 Februari 2025

DOSA MUSA: REFLEKSI PRAKTIS UNTUK PELAYANAN

DOSA MUSA: REFLEKSI PRAKTIS UNTUK PELAYANAN

PASTORAL DARI BILANGAN 20:1-13

Oleh : Pdt.  Blasius Abin

 

Pendahuluan

Kitab Bilangan pasal 11-19 mencatat pemberontakan Israel dan para imam terhadap Allah dan Musa.  Para pembaca dengan mudah mendiagnosa  dosa atau pemberontakan yang dilakukan oleh umat Israel dan para imam, karena diungkapkan secra eksplisit dalam teks (11:4; 12:1; 14:3; 16:3). Pemberontakan dan ketidaktaatan mereka menjadi alasan utama Allah menghukum generasi eksodus (baca: generasi pertama) yakni mereka mati di Padang gurun (14:29-33). Deskripsi yang digunakan oleh narator untuk alasan dari penghukuman Allah adalah ketidakpercayaan Israel: “Berapa lama lagi bangsa initidak mau percaya kepadaKU…” (14:11).

Bilangan 20:1-13 mencatat hukuman Allah untuk Musa dan Harun dengan formulasi alasan yang sama, yakni ketidakpercayaan: “Karena kamu tidak percaya kepadaKu…” (20:12). Pertanyaan yang penting berdasarkan konteks narasi Bil. 20:1-13 adalah: Apakah dosa Musa? Hukumannya jelas yakni kematian di padang gurun  (20:12b), tetapi teks tidak secara eksplisit memberitahukan para pembaca tentang dosa Musa. Pertanyaan ini dijawab oleh para ilmuwan alkitab dengan berbagai proposal interpretasi. Ada yang mengatakan dosa Musa adalah karena memukul batu (20:11), perintah Allah adalah berbicara kepada batu (20:8) jadi memukul batu artinya melawan perintah Allah, inilah dosa Musa. Yang lain mengatakan dosa Musa adalah karena ekspresi verbal dari kemarahan yang dibuat di depan umat Israel dan Allah (20:10).[i] Semua interpretasi yang lain dibangun di atas dua perspektif ini. Tulisan ini tidak berusaha untuk mendiagnosa berbagai perspektif dari berbagai interpretasi, tetapi mencoba untuk melihat dari perspektif yang lain dengan analisis teks, dan berusaha menarik aplikasi praktis sebagai refleksi dalam pelayanan.

 

Konteks dan Teks: Mendiagnosa Dosa Musa

Bil. 20:1-13 dimulai dengan informasi kematian Miriam “matilah Miriam di situ” (20:1) dan kematiannya sebagai nabiah adalah pengingat bagi pendengar Musa bahwa kematian Miriam adalah konsekuensi dari pemberontkannya melawan Allah dan Musa (Bilangan 12).  Kemudian Bil. 20:2-5 adalah informasi tentang persungutan Israel melawan Allah karena kekurangan makanan dan minuman (bdk. 21:5). Formulasi pemberontakan Israel pada perikop ini sama dengan yang mereka buat dalam  Bil. 11:4-6, yakni mereka takut mati karena kekurangan minum dan makanan.

Asumsi dasar persungutan Israel dalam Bil. 20:2-5 adalah padang gurun identik dengan kematian “Mengapa kamu membawa jemaat Tuhan ke padang gurun ini, suapaya…mati di situ?” Musa dan Harun sebagai pemimpin harus menyelesaikan problem ini berdasarkan petunjuk Tuhan (ayat 6-8). Tapi pada bagian akhir dari narasi ini justru Musa dan Harun yang harus mati “kamu tidak akan membawa jemaat ini masuk…” artinya Musa harus mati, dan “lalu matilah Harun di puncak gunung itu…” (20:12, 28). Pertanyaannya adalah apakah sesungguhnya dosa Musa dan Harun sebagai pemimpin sehingga mereka tidak diisinkan memasuki tanah Perjanjian. Informasi ayat 8-11 mengungkapkan alasan penghukuman Musa dan Harun.

Perintah Allah pada ayat 8 jelas: ambil tongkat, kumpulkan umat Israel, dan berbicara kepada bukit batu di hadapan Israel. Musa menjalankan perintah ini dalam ayat 9, 10, 11. Pada ayat 9 dan 10a Musa bertindak persis seperti yang diperintahkan Allah pada ayat 8. Pada titik ini tidak ada konstradiksi antara maksud Allah dan tindakan Musa, teks menegaskan “just as (Ibrani: kaaser) he had commanded him” (ayat 9a NAS). Partikel kaaser (artinya “seperti,” “sama,” “sama seperti”) menegaskan persistensi dari tindakan Musa di hadapan Allah berdasarkan instruksi.

Problem muncul pada ayat 10b dan ayat 11,

[[“Lalu Musa mengambil tongkat itu dari hadapan Tuhan...berkatalah ia kepada mereka, ‘dengarlah kepadaku hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?][ Sesudah itu Musa mengangkat tangannya, lalu memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali’”]]

 

Frase preposisi “di depan bukit batu” dalam Bahasa Ibrani (ayat 10a) paralel dengan  “dari hadapan Tuhan” (ayat 9), ini memberikan implikasi bahwa Musa sebagai mediator Allah, berdiri di hadapan Israel dan Allah dengan tongkat Allah di tangannya dan diikuti oleh pernyataan: “berkatalah ia kepada mereka.”  Umat Israel yang sudah ia kumpulkan siap untuk mendengar Musa, tetapi apa yang mereka dengar hanyalah celaan yang penuh dengan kemarahan: “dengarlah kepadaku hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?” Kemarahan Musa yang diungkapkan melalui pertanyaan retorik sesungguhnya ia memberikan respons terhadap persungutan Israel pada ayat 2-5. Label “durhaka” untuk orang Israel pada ayat ini adalah ringkasan dari sikap pemberontakan Israel dalam Bil. 14-19 maupun Bil. 30:2-5.

Bahasa Ibrani untuk “durhaka” adalah marah,  digunakan oleh Allah dalam Ul. 20:24; 27:14 untuk menegaskan dosa Musa dan Harun. Tugas Musa dalam konteks ayat 8 adalah berbicara kepada Israel tentang kekuasaan Allah dan memberikan solusi terhadap problem Israel dengan mengeluarkan air dari bukit batu. Musa tidak berada dalam posisi untuk mencela Israel. Pada poin ini Musa, sebagai pemimpin, tidak hanya mengambil sikap oposisi terhadap Allah tetapi menentang Allah secara serius dan ini kesalahan yang sangat fatal. Jadi pertanyaan retorik Musa (ayat 10b) “shall we…? adalah ekspresi keraguannya terhadap kekuasaan Allah untuk menyelesaikan problem Israel. Kata ganti orang shall we tidak ditujukan kepada subyek Musa dan Harun, tetapi kepada Musa dan Allah, sejak peran Harun di hadapan Musa dalam Kel. 4:14-17; 7:1, 2 adalah “translator” atau asisten Musa. Sekalipun ia memiliki peran minor tetapi fungsinya sangat penting. Maka pertanyaan Musa “”shall we” sesungguhnya mengungkapkan keraguan dan ketidakpercayaan Musa kepada Allah. Pemazmur mengingatkan kemabli alasan penghukuman “he speak rashly” (Maz. 106:33 NAS). Dengan kata lain pertanyaan retorik Musa menegaskan bahwa Allah tidak memiliki kuasa dan Musa tidak ditugaskan untuk mengeluarkan air dari batu. Di sini jelas, Musa tidak percaya kepada Allah dan menentang instruksiNya (ayat 8).

Jika ayat 10b adalah isu paling dasar untuk mendiagnosa kesalahan Musa dan bukan pada tindakan memukul batu (ayat 11), pertanyaannya adalah apakah hubungan antara kemarahan Musa dengan tindakannya “lalu memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali” (ayat 11)? Inilah premis dasar sebelum menjawab pertanyaan tersebut: Apa yang ada di dalam pikiran Musa dibalik kemarahan dan tindakannya adalah ia meragukan Allah. Tindakan Musa “memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali” adalah konsekuensi lanjutan dari kemarahannya kepada Israel. Sekalipun memukul batu bukanlah pelanggaran (bdk. Kel. 17 dan Bil. 17), tetapi dengan memukul batu “dua kali,” Musa, dalam kemarahannya, hendak menegaskan kepada Israel bahwa air tidak dapat keluar dari batu oleh karena kedurhakaan Israel (bdk E. G. White 4SG, 39; PP, 418) .

Yang menarik adalah sekalipun Musa gagal untuk percaya kepada Allah, tetapi Ia, di hadapan Israel, membuktikan kebesaran dan kekuasaanya dengan mengeluarkan air dari bukit batu: “maka keluarlah banyak air” (ayat 11b). Fakta ini menegaskan penolakan yang serius terhadap perkataan dan tindakan Musa, dan Ia sendiri yang mengungkapkan kekuasaan dan kesuciannya di hadapan Israel. Ayat 13 menunjukan paralel dari tindakan Allah dalam ayat 11b, “Ia menunjukan kekudusannya di antara mereka” ini bertentangan dengan tindakan Musa dan Harun pada ayat 12b: “tidak menghormati kekudusanku di depan orang Israel.” Pada poin ini Musa gagal tetapi Allah tidak gagal. Air keluar dari batu  karena konsistensi Allah dalam menyelesaikan problem Israel sekalipun pemimpin mereka gagal untuk percaya kepada Tuhan.

Dalam kaitan dengan memukul batu, teks mengatakan “then Moses lifted up his hand” (11a NAS). Ide tentang mengangkat tangan dalam Bil. 15:30 adalah ekspresi metafora untuk menggambarkan tindakan seseorang yang melawan hukum, atau melawan Allah dan raja yang dirupi Allah (Ul. 32:27; 2 Sam. 20:21). Dalam konteks Bil. 20:11 Musa melawan Allah.  Jadi tindakan dan perkataan Musa mendemonstrasikan pemberonatakan dan ketidakpercayaannya kepada Allah. Karena alasan itulah mereka dihukum oleh Allah.

 

Hukuman Allah Untuk Musa dan Harun

Alasan penghukuman Allah dalam ayat 12 adalah: “Karena kamu tidak percaya kepadaKu dan tidak menghormati kekuduskanKu di depan mata orang Israel…” Frase “tidak percaya”  adalah tema sentral penghukuman Allah atas Israel (Bil. 14:11), alasan yang sama Allah menghukum Musa dan Harun (20:12). Ini erat kaitannya dengan perkat`aan dan tindakan Musa pada ayat 10b dan 11. Melalui perkataannya dan tindakannya, Musa gagal mendemonstrasikan iman yang benar kepada Allah di hadapan Israel.

Allah mengharapakan Musa dan Harun sebagai mediator mengubah sikap mereka dalam menghadapi pemberontakan Israel dengan menyingkapkan kebesaran dan kekuasaan Allah supaya Israel dalam perjalanan menuju Tanah Kanaan tetap percaya. Percaya kepada Allah adalah dimensi yang paling penting di Padang gurun dalam mempersiapkan diri untuk memasuki tanah Kanaan. Tetapi mereka gagal untuk melakukan hal ini. Penghukuman Allah selalu berhubungan dengan ketidakpercayaan, untuk hal ini Yohanes menegaskan: “…sin because they do not believe” (Yoh. 16:9). Orang Israel dihukum karena tidak percaya kepada Allah (14:11), nabi juga dihukum karena ketidakpercayaan kepada Allah. Musa dan Harun sebagai pemimpin dan imam dihukum karena ketidakpercayaan mereka kepada Allah (Bil. 20:1-13).

 

Kesimpulan dan Refleksi Praktis

Pembaca Bil. 20:1-13 dapat menarik aplikasi dari perspektif yang berbeda, tetapi berdasarkan analisis literal di atas, berikut ini adalah kesimpulan dan refleksi praktis. Buku Bilangan penuh dengan informasi pemberontakan dan ketidaktaatan (Bil. 11-21). Semua alasan pemberontakan dan persungutan diformulasi dalam bahasa yang sederhana: Ketidakpercayaan. Kematian di Padang gurun adalah konsekuensi logis dari ketidakpercayaan. Generasi pertama Israel mati, Miriam sebagi nabiah mati, Musa dan Harun sebagai pemimpin dan Imam juga binasa karena alasan yang sama: Ketidakpercayaan. Dari perspektif Israel, ide tentang kematian di padang gurun lebih dari generic term yang biasa kita gunakan. Bagi Israel kematian artinya tidak dapat memasuki tanah perjanjian, yang sudah dijanjikan Allah ribuan tahun sebelumnya.

Musa dan Harun adalah mediator anatara Allah dan Israel. Allah mengharapkan mereka menunjukan iman yang teguh di hadapan Israel dalam menghadapi persungutan. Iman adalah satu-satunya instrumen yang diberikan Allah agar resistensi Israel dalam menghadapi problem dapat teruji, dan Israel tetap percaya kepada Allah. Tetapi faktanya mereka sebagai pemimpin dan gembala gagal untuk memenuhi harapan Allah, dan mereka dihukum karena hal ini.

Dosa Musa dan Harun tidak dapat dilihat secara parsial, hanya karena kemarahan atau hanya karena tindakan memukul batu. Semua ungkapan verbal dan tindakan  hendak menegaskan bahwa mereka tidak percaya kepada Allah atau paling tidak ragu terhadap kekuasaan Allah untuk mengeluarkan air dari batu. Ini dianggap sebagai sikap oposisi  dan pemberontakan Musa dan Harun sebagai pemimpin. Tujuan untuk mengeluarkan air dari batu sudah tercapai dan problem Israel dapat diatasi, tapi hukuman Allah terhadap Musa menegaskan hal yang sangat penting untuk Israel, Musa dan Harun bahwa Tuhan tidak berfokus pada hasil dari pelayanan, tetapi berfokus pada  menghormati Allah di hadapan Israel dalam menjalankan misi. Jika premis ini diterima, maka ukuran keberhasilan pelayanan Musa dan Harun tidak terletak pada hasil “air keluar dari bukit batu” tetapi terletak pada sikap konsistensi iman di hadapan Allah dan Umat. Ekspresi verbal dan tindakan seorang pelayan Tuhan adalah produk dari initimitasnya dengan Allah atau dari ketidakpercayaan kepada Allah.

Dalam level praktis, hal ini sangat sulit untuk dilihat oleh “Israel,” ini sama sulitnya untuk melihat dosa Musa dalam Bil. 20:1-13. Jika saya membuat proyeksi dosa Musa dengan “Aku” sebagai pelayan maka akan sangat muda bagi jemaat dan bagi “Aku”  untuk mendaftar keberhasilan dalam pelayanan. Cerita ini mengatakan keberhasilan “air keluar dari bukit batu” tidak berbanding lurus dengan sikap iman Musa dan Harun di hadapan Allah. Buku bilangan bermain dengan “number” atau “kuantitas” tatapi Allah menuntut kualitas iman dari umat Israel maupun para pemimpin dalam perjalanan eksodus. Parameter mengukur keberhasilan “Aku” sebagai pelayan selalu bermain dengan jumlah yang dapat didaftar dalam ingatan seorang pelayan. Teks kita, Ul. 20:1-13 dengan muda membaca hukuman yang diberikan Allah kepada Musa dan Harun, tapi sulit untuk menemukan alasan penghukuman. Sebaliknya, pada level praktis sangat mudah untuk melihat keberhasilan “Aku” sehingga tidak mudah untuk melihat dosa dan pelanggaran sebagai alasan bagi Tuhan memberikan penghukuman.

Tulisan ini mendorong “Aku” untuk mengajukan beberapa pertanyaan refleksi: Apa kesalahan “Aku” sebagai hamba Tuhan dalam pelayanan? Pada akhirnya, apa yang akan dikatakan oleh Tuhan kepada “Aku” berkat atau deklarasi penghukuman? Jawaban kita terhadap pertanyaan kedua tidak semudah menjawab pertanyaan pertama. Tapi cerita mengenai kegagalan Musa dalam Bil. 20:1-13 memberikan gambaran bahwa totalitas iman seorang dapat diungkapkan melalui perkataan dan tindakan. Tujuan utama hidup dan misi kita adalah menyingkapkan kepada dunia tentang kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Misi ini membutuhkan konsistensi iman yang hidup. Iman yang hidup dalam praktek dan dapat disaksikan melalui ekspresi verbal dan tindakan. Produk dari ini semua adalah nama Tuhan dimuliakan, dan jiwa datang kepada Allah dan akhirnya “Israel” dan semua orang layak memasuki Tanah Perjanjian.

 



Bersambung ke bagian 2 




 

Orang Muda Bernama Daud

 

ORANG MUDA BERNAMA DAUD

Oleh : Pdt. Dr. Moldy R. Mambu

Dari sekian cerita pembentukan tabiat yang sangat berkesan dan selalu diingat sejak di kelas anak-anak adalah mengenai Daud. Dalam buku I Samuel 17 cerita mengenai anak muda ini dikisahkan...

 

B

erperawakan biasa, penampilan sederhana, berbicara apa adanya tapi Daud adalah seorang gembala yang menyimpan potensi luar biasa dan berhati mulia. Kenapa?  Sebagai gembala Daud mengetahui bahwa ada gembala yang lebih besar daripadanya sehingga ia tidak kekurangan apapun. Dentingan kecapi maupun alunan seruling ditengah padang Efrata Bethlehem telah membentuk perangai Daud yang piawai memainkan alat musik menjadi lemah lembut dan tenang. Daud bertumbuh sebagai seorang muda yang percaya diri dan berpemandangan luas. Alkitab memaparkan kehidupan hitam putihnya dengan jelas. Sehingga kelebihan, kekurangan dan pertobatan Raja Besar bangsa israel ini bagai cermin untuk kita menarik mamfaat dalam pelayanan kepada Tuhan.  

Alkitab menulis dalam 1 Semuel 17:28Ketika Eliab, kakaknya yang tertua, mendengar perkataan Daud kepada orang-orang itu, bangkitlah amarah Eliab kepada Daud sambil berkata: "Mengapa engkau datang? Dan pada siapakah kautinggalkan kambing domba yang dua tiga ekor itu di padang gurun? Aku kenal sifat pemberanimu dan kejahatan hatimu: engkau datang ...
29 Tetapi jawab Daud: "Apa yang telah kuperbuat? Hanya bertanya saja!". 32.  Berkatalah Daud kepada Saul: Janganlah seseorang menjadi tawar hati karena dia; hambamu ini akan pergi melawan orang Filistin itu. 34.  Tetapi Daud berkata kepada Saul: "Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayah …
 

Dari keterangan firman Tuhan diatas, jelas sifat baik Daud adalah: Pertama,  Sibuk bekerja.  Daud adalah pekerja keras ’self made’ yang sambil bekerja sambil meningkatkan kemampuannya.  Ia mengetahui benar tugas pekerjaan oleh memperhatikan dengan cermat keadaan domba dan yang lalu dibawah tongkat gembalaannya. Mengembangkan diri dari hari kehari Daud bertumbuh menjadi pemuda yang berisi.  Orang yang terbiasa sibuk akan membuahkan ide baru dan kemahiran  bagai Muh. Yunus dengan Grameen Banknya. ”Saya tidak punya mimpi pada mulanya tapi vision itu datang ketika saya sibuk dalam pekerjaan” ungkap pemenang Noble Prize 2006 dari Bangladesh itu.  Ketika murid-murid Yesus dipanggil bergabung dipilihnya dari mereka yang sibuk, ada yang lagi menjala menangkap ikan, ada yang berada di kantor sibuk bekerja seperti Matius.  Mengapa? Karena mereka yang suka sibuk akan terbiasa mencari sesuatu yang dapat dikerjakan.  Dalam suatu dialek ada ungkapan ’tau lia karja’ menggambarkan mereka yang tidak hanya menggunakan otot tapi biasa memutar otak.  Hal ini merujuk kepada sedikit supervision karena sudah dibiasakan, tak perlu disuruh-suruh. 

Kedua, Berani.  Diketahuinya bunyi domba yang terancam binatang buas dan memerlukan pertolongan.  Langsung saja Daud menunjukan tanggung jawab oleh memberi kelepasan. Hal ini  membuat ia mahir membanting musuh yang mengganggu.  Kenapa Daud berani menjamin Raja Saul bahwa ia akan melawan orang Filistin itu?  Karena ia telah mengalaminya sehingga tidak ada bayang keraguan akan pimpinan Tuhan. Lembah kekelaman telah di laluinya walau umur masih belia.  Bukan saja berani mati tapi berani hidup,  berani  mencapai tujuan, berani meminta nasihat, berani berubah, berani memimpin ataupun di pimpin dan berani mengakui kekeliruan, yah berani mengatakan I am sorry dan berani memperbaiki diri.   Sifat berani ini tidak datang  sendirinya tetapi melalui pengalaman pribadi dengan Tuhan  bahwa ia tidak pernah ditinggalkan. 

Ketiga, gembira.   Ketika Eliab saudara tuanya marah dan mengejek, Daud tidak menanggapi dengan cara yang sama.  Hanya dengan airmuka tenang dan gembira suasana sulit dan keras dapat di atasi seperti yang dibuat Daud.   Pernyataan tidak bersaudara yang disampaikan sang kakak mencair karena api jauh dari bensin.  Bagaimana kita menghadapi masalah atau bertemu dengan orang yang mudah meledak? Perlukah kita manjadi seperti dia, atau apakah persoalan dapat diselesaikan dengan membalas dengan cara yang sama?  Ingat, ekspresi wajah membentuk perasaan. Dengan maksud menyelesaikan masalah tapi muka keras dan tidak bersahabat yang dipasang akan berakibat kontra produktip. Pasti menyusahkan diri sendiri bila kemarahan dibalas kebencian dan dendam.  Coba perhatikan bila marah, pori akan menutup lalu terasa panas, napas memendek, denyut jantung mengencang dan kalimat yang diucapkan akan susut dari yang panjang menjadi pendek.  Bila tinggal satu kata yang akan diucapkan, hati-hati! Lebih baik tidak usah mengucapkan sesuatu.  Dilain pihak bila memilih senyum maka tubuh tetap dingin, akan mudah mengontrol kata dan tindakan bahkan membuka jalan bagi selesainya masalah. Smile is a curve that helped a things straight.  Kegembiraan Daud telah mengalahkan semua ketakutan bahkan dendam setelah ia memerintah. 

Orang berusia lanjut maupun belia tapi berhati muda ada di mana-mana dan alangkah indahnya juga bila mempunyai hati yang mulia.


Jumat, 07 Februari 2025

Kado Hari Ini

 

KADO HARI INI

Oleh: Ellen Manueke-Mangkey

 

 


A

da satu tanda mata dari guru mata pelajaran sejarah di SMA yang tidak pernah saya lupa. Tanda mata itu berupa definisi tentang sejarah yang selalu diulang-ulangi sang guru di setiap tatap muka sehingga siapapun muridnya kemungkinan besar akan menghafalkannya. 

Beberapa hari yang lalu, sebuah kutipan yang tertera dalam sebuah produk popok mengingatkan saya tentang kata ’sejarah’. Kutipan yang merupakan rumusan seorang wanita bersahaja yang sangat dikenal dalam sejarah dunia, Eleanor Roosevelt yang juga isteri presiden terkenal Amerika, Franklin D. Roosevelt; mengatakan seperti ini: yesterday is a history ’kemarin merupakan sejarah’ ..Sebenarnya, ada begitu banyak paham atau interpretasi tentang sejarah dalam dunia kita. Namun apapun itu, saya coba memaknai ’sejarah’ menurut Eleanor, bahwa apapun yang kita buat pada waktu yang lalu, itu tinggal sejarah dan itu tidak akan pernah kembali lagi. 

Ketika sedang berkuliah atau telah bekerja, banyak orang akan merindukan masa-masa SMA yang penuh dengan keceriaan dan kenangan. Itu sebabnya, beragam kegiatan reuni dibuat untuk mengenang masa-masa tersebut, namun semua itu tentu saja tidak akan mengembalikannya. Masa-masa itu telah berlalu dan tinggal sejarah saja. 

Sejarah hidup hidup setiap orang bisa diwarnai hitam dan putih atau abu-abu, tergantung bagaimana dia mengistilahkannya. Banyak kali, seseorang terbebani oleh kesalahan atau kelalaian di masa lalu sehingga menghambat dia untuk melakukan banyak hal-hal penting yang sedang dijumpai. Sayang sekali jika masa lalu yang sudah tidak ada lagi saat ini alias sudah berlalu, masih mengganggu dan membebani insan manusia yang memang tidak luput dari kesalahan. Human error sudah diakui dunia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Satu hal yang lebih penting dari sebuah kesalahan, sebenarnya ada pada seberapa besar seseorang bisa belajar dari kesalahannya dan mampu mengambil hikmah sesudah itu. 

Tak dapat dipungkiri, seseorang banyak kali harus belajar dari kesalahan. Orang suksespun belajar dari kegagalan. Hal ini menunjukkan bahwa tak ada yang tidak penting dari sejarah hidup seseorang, baik kegagalan, kesalahan atau kesuksesannya. Anak yang terlambat datang ke sekolahpun akan belajar dari kerugian yang dia rasakan akibat keterlambatannya sehingga pengalaman datang terlambat akan menjadi acuannya untuk tidak terlambat pada waktu-waktu mendatang, dan semuanya bisa dilakukan pada waktu kini. 

Kemarin sudah berlalu dan tidak kita miliki lagi. Apa yang kita miliki yaitulah hari ini. Menjadi pertanyaan, bagaimana kita akan melewati hari ini agar tidak ada penyesalan di masa depan. Apa yang kita bisa buat saat ini agar menjadi kenangan yang indah dan ukiran sejarah di masa depan. 

Kata-kata dari Eleanor di atas barulah sepenggal dari keseluruhannya: tomorow is a mystery ‘besok merupakan misteri’ dan today is a gift, that’s why it is called present ‘hari ini merupakan kado, itulah sebabnya disebut present (waktu kini)’. 

Mari renungi bagaimana untuk mengukir sejarah hidup mulai saat ini. Apa yang kita jumpai, mungkin pekerjaan di rumah, di kantor atau di masyarakat; siapa-siapa mereka, anggota keluarga, tetangga, jemaat atau sanak saudara dan apa yang bisa kita buat untuk menjadikannya berkesan sehingga menjadi sejarah yang indah untuk dikenang oleh semua pihak. Pengkhotbah 9:10 mengajarkan kita bagaimana mengisi waktu saat ini: ”Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi.” 

Kesempatan yang kita miliki hari ini, menurut Eleanor, merupakan kado. Kado yang bisa digunakan buat mengukir pengalaman-pengalaman sarat makna; hingga di masa depan nanti, yang dikatakan masih misteri, kita bisa memiliki sejarah indah yang mulai diukir saat kini. 

Masih dalam suasana tahun baru, mari memaknai waktu ”hari ini” sebagai kado karena kepada kita masih diberikan waktu untuk mengukir kejadian-kejadian yang akan menjadi sejarah bagi masa depan; sebagaimana definisi sejarah di SMA, ”sejarah adalah mempelajari masa lalu, menerapkan masa kini dan merekonstruksikan di masa yang akan datang”. (**)