Pendahuluan
Kontekstualisasi
disebut juga successful contextualization “kontekstualisasi
yang sukses” atau double transformation “transformasi ganda.” Kontekstualisasi dalam pembicaraan ini adalah
usaha menerjemahkan Yesus dan ajaran-Nya kepada satu masyarakat dalam
ruang-lingkup kebudayaan tertentu. Identitas Kristen adalah Yesus Kristus—Yesus
Kristus-lah identitas orang Kristen.
Kontekstualisasi bertujuan untuk memperkenalkan Yesus, identitas
Kristen, dan ajaran-Nya kepada orang non-Kristen. James D. G. Dunn, emeritus
professor dari Univesity of Durham, menyatakan bahwa kontekstualisasi penting
dalam menjalankan Tugas Mulia (Matius 28:19-20; Kisah 1:8).
Apakah kontekstualisasi mengancam identitas Kekristenan? Jürgen Moltmann, seorang professor kontekstual
theologi di Universität Tübingen, Deutschland—mengindikasikan bahwa
masalah-masalah akan mengikuti kontekstualisasi. Bengt Sundkler, seorang yang pernah menjadi
misionaris di Afrika, lalu menjadi
professor sejarah gereja di University of Uppsala, Sweden—berkata bahwa
kontekstualisasi dapat menimbulkan masalah dalam menerjemahkan Kristus. Martien E. Brinkman, seorang professor
sejarah gereja dan theologi di Vrije Universiteit van Amsterdam (Free
University of Amsterdam), Holland—menyatakan bahwa jika dilakukan sesuai
proporsi Alkitabiah, kontekstualisasi tidak akan berbenturan dengan identitas
Kristen.
Kontekstualisasi dalam Katholisitas
Agaknya, mayoritas dari Kekristenan era moderen dan
post-moderen merupakan hasil pekabaran Injil orang Barat yang sangat
dipengaruhi oleh theologi kontekstualisasi Barat. Kembali ke masa reformasi dan kolonisasi,
para pakar theologi Barat telah menciptakan beragam kontekstualisasi untuk
diterapkan di ladang-ladang evangelisasi mereka. Hal ini dirasa perlu karena menyadari bahwa theologi
mereka harus diterjemahkan agar mudah dimengerti. Maksudnya supaya Yesus dapat diterima dan
memiliki arti bagi masyarakat yang mereka Injili. Oleh sebab budaya yang mereka injili beragam
banyaknya, maka penerapan kontekstualisasi bagi satu masyarakat tertentu belum
tentu tepat untuk diterapkan bagi budaya lainnya. Seiring dengan berjalannya waktu, ada
kecenderungan yang kemudian muncul dan mempersalahkan theologi kontekstualisasi
Barat karena kontekstualisasi tersebut memberi peluang pada sinkretisme.
Walaupun demikian, sejarah membuktikan bahwa kontekstualisasi adalah cara
yang paling sering digunakan untuk memenangkan jiwa bagi Kristus. Demi mengantisipasi
munculnya masalah sinkretisme pasca kontekstualisasi, maka kontekstualisasi
memerlukan bingkai— katholisitas adalah bingkai kontekstalisasi. Katholisitas telah dipandang sebagai satu
jalan keluar bagi masalah yang bisa muncul pasca kontekstualisasi. Walaupun demikian, katholisitas harus
memiliki landasan. Bagi Gereja Masehi
Advent Hari Ketujuh (GMAHK), Alkitab dan hanya Alkitab saja—bukan tulisan Ellen
G. White (Letter 12, 1890; Manuscript 7, 1894; Evangelism, hal. 256; Seventh-day Adventists Believe . . . ,
hal. 227)—yang harus menjadi landasan doktrin gereja! Tapi, siapakah yang akan
menjelaskan Alkitab? Tentu Roh
Kudus! Dengan cara bagaimana? Inspirasi!
Sebagaimana Alkitab tidak bisa melebihi Allah Trinitas, begitu pula
tulisan Ellen G. White tidak bisa melebihi Alkitab. Walaupun banyak kritikan yang ditujukan
kepada tulisan Ellen G. White sehubungan dengan penginspirasian, proses
pengumpulan sumber, penulisan, dan pemeliharaannya; namun semua kritikan itu
justru menguatkan tulisan Ellen G. White.
Analisa yang mendalam akan menunjukkan bahwa kritik yang ditujukan
kepada tulisan-tulisan Ellen G. White, bisa juga dialamatkan kepada
Alkitab. Singkatnya, tulisan Ellen G.
White adalah hasil inspirasi Roh Kudus.
Adapun demikian, Alkitab merupakan terang besar, sedangkan tulisan Ellen
G. White adalah terang kecil, sesuai pernyataan Roh Kudus lewat pena inspirasi
(Colporteur Ministry, hal. 125).
Sebab itu, landasan katholisitas dari kontekstualisasi GMAHK adalah
terang besar—Alkitab!—dan tulisan Ellen G. White, dalam perihal ini, haruslah
dipandang sebagai terang kecil yang memberikan penjelasan otoritatif bagi
Alkitab.
Alkitab dan Kontekstualisasi
Dalam Perjanjian Lama (PL), kontekstualisasi telah
digunakan. Satu dari sekian banyak
contoh terdapat dalam Bilangan 21:8-9.
Dalam ayat-ayat tersebut, YHWH (’ādōnāy) berkata kepada Musa untuk membuat replika ular
dari tembaga (Ibrani: śārāp—bisa juga diterjemahkan sebagai “ular bersayap”)
dan menempatkannya di atas tiang, bisa jadi berupa tongkat miniatur salib yang
tinggi, supaya setiap orang yang telah dipatuk oleh ular tedung karena
memberontak melawan Tuhan tidak binasa melainkan beroleh hidup. Ular kobra Nil telah mendapat tempat istimewa dalam
sejarah Mesir. Ular adalah satu dari
sekian dewa orang Mesir yang dianggap bisa memberikan kesembuhan. Salah satu perhiasan mahkota Firaun adalah replika ular
kobra Nil. Tuhan memerintahkan Musa
menggunakan lambang-lambang yang sudah familiar bagi orang-orang Israel, yang
mereka lihat di Mesir, untuk menerjemahkan bahwa satu saat nanti, Yesus akan
datang dan membawa kesembuhan rohani bagi manusia sehingga yang percaya
kepadanya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16; Alfa dan Omega, jil. 2, hal.
20-23). Kabar baik disebarkan bahwa
replika ular itu akan membawa kesembuhan jika dipandang. Mereka yang telah memandang replika ular itu
dan percaya disembuhkan. Tapi mereka,
yang walaupun memandangnya, namun tidak percaya karena merasa tidak mungkin
hanya dengan memandang mereka dapat disembuhkan, mati karena bisa sengatan ular
tedung (Markus 16:15-6; Alfa dan Omega,
jil. 2, hal. 19-20). Ini adalah salah satu dari sekian banyak
contoh successful contextualization
dalam PL. Lambang-lambang ular untuk
kesembuhan dapat dilihat dalam mithologi orang Yunani, yaitu cawan hygieia dengan ular yang melingkarinya
(sekarang jadi lambang Farmasi), tongkat bersayap Caduceus dengan ular yang melingkari batangnya (sekarang jadi
lambang korps medis angkatan bersenjata USA), dan tongkat Asclepius yang ujungnya bercabang mirip salib dengan ular yang
melingkari seputar cabangnya (sekarang jadi lambang pengobatan secara umum).
Kontekstualisasi
terdapat dalam Perjanjian Baru (PB), contohnya dalam Yohanes 1:1. Yesus diterjemahkan sebagai Lógos (Yunani). Dalam agama
politeistik-kafir Yunani, lógos adalah
entiti pengantara antara para dewa-dewi dan manusia. Dalam ajaran filosofis proto-Platonisme,
middle-Platonisme, dan neo-Platonisme, lógos diartikan sebagai “model ilahi,”
“rencana ilahi” atau “pemikiran ilahi” yang merupakan “model dari ciptaan
ilahi” (Op Mund 18, 20, 24, 25; Plant
18-19; Fug 94-102; Tim 30c-31a, 34a, 36-37, 38c; Leg All 1:24). Merujuk kembali kepada ajaran dasar
politeistik-kafir Yunani, Platonisme merujuk kepada pengertian bahwa lógos adalah pengantara ilahi yang memediatori makhluk dewata dan manusia
biasa. Menurut Homer sang Filsuf, logos adalah satu ekspresi
pemikiran. Menurut Heraclitus sang
Filsuf, lógos adalah sesuatu yang
mengontrol alam semesta. Dalam filsafat
Stoa, logos dimengerti sebagai
jiwanya dunia. Menurut ajaran Markus
Aurelius, lógos adalah spermatikos lógos atau prinsip perkembangbiakan dalam alam. Walaupun demikian, faham Lógos dalam
Yohanes 1:1 bukanlah filsafat Yunani.
Dari sudut pandang kontekstualisasi, Yohanes memasukkan faham PL tentang
“Hikmat Kekal” (Amsal 8:1, 22-23; Wahyu 1:8; 21:6; 22:12) ke dalam konsep lógos Yunani untuk tujuan
apologi dan evangelisasi. Dengan
kontekstualisasi ini, Yohanes menangkis faham orang-orang proto-Gnostik yang
mengklaim bahwa gnôsis “pengetahuan”
tidak dapat menerima sang Pencipta semesta alam yang baka lahir dalam daging
yang fana. Dari sudut pandang
missiologi, Yohanes sedang memberikan satu successful
contextualization untuk memenangkan mereka yang berkecimpung dengan
filsafat Yunani bagi Kristus. Hasil dari
kontekstualisasi Yohanes dalam menerjemahkan Oknum Kedua dari Allah Trinitas
yang diperkenalkan lewat kata Lógos
tidak menghasilkan Yesus-sinkretistik, tapi Yesus, sang Alfa dan Omega, yang
Awal dan Akhir (Wahyu 1:8; 21:6; 22:12; Amsal
8:1, 22-23).
Bukan hanya Yohanes, Paulus juga menggunakan kontekstualisasi dalam
menerjemahkan Yesus kepada orang-orang Yunani di kota Athena (Kisah
17:16-24). Dalam Kisah 17:23, Paulus
berkata (Yunani): …heúron kaí bômón en hố
epegégrapto agnốstô theô hó oún agnôúntes eusebeíte toúto egố katangéllô
humín “…lalu aku menemukan mezbah yang padanya bertuliskan, untuk Allah
yang tak dikenal, yang kamu tidak kenal [namun] kamu perlihatkan kesetiaan,
Mahluk itulah yang aku mau beritakan kepada kalian.” Kata penghubung kaí “dan” atau “juga” diterjemahkan sebagai “lalu” karena sintaks
narasinya bukan menghubungkan dua entiti, tetapi menunjukkan kontinuasi
cerita. Ini karena mezbah yang Paulus
amati adalah satu dari tá sebásmata (Yunani) [noun accusative
neuter plural] yang dilihat Paulus. Tá sebásmata
secara literal berarti “objek-objek penyembahan” bisa merujuk kepada
patung-patung dewa-dewi, dll. yang banyak di Athena. Tapi, dalam konteks ini, kata itu sepertinya
merujuk kepada mezbah-mezbah yang Paulus lihat.
Mezbah
yang dia amati bertuliskan “…bagi Allah yang tak dikenal…” Pausanias yang adalah orang Athena, dalam
tulisannya, Pausanias 1.1,
4—menceritakan bahwa di Athena ada terdapat mezbah-mezbah, yang padanya
terdapat tulisan bômoi theôn agnôstôn “mezbah-mezbah untuk Allah yang tak dikenal.” Mengapa ada mezbah-mezbah sedemikian? Salah satu jawaban yang plausible
adalah bangsa Yunani merupakan bangsa Politeistik. Mereka memberikan kesempatan
pada para penyembah untuk mempersembahkan domba-domba di atas mezbah-mezbah
tersebut bagi dewa asing. Tapi,
diceritakan bahwa seorang sastrawan dan ahli filsafat Yunani yang hidup di abad
ke 6 BC, Ephimenides, berkata jika seorang mempersembahkan korban kepada dewa
asing di mezbah-mezbah tersebut tapi dewa tersebut bukanlah dewa yang tepat,
akan timbul murka dari dewa-dewa asli Yunani sehingga si pemberi persembahan
bisa dikutuk oleh dewa-dewa itu. Melihat
peluang ini, Paulus menggunakan kesempatan untuk memperkenalkan Tuhan yang
Alkitabiah kepada orang-orang penganut filsafat Epikuros dan Stoa di Athena
dengan cara memasukkan ciri-ciri dan karakter dari Allah semesta alam kepada
“Allah yang tak dikenal” (Alfa dan Omega, jil. 7, hal. 200-01). Dalam usaha kontekstualisasi tersebut, Paulus
tidak menciptakan Yesus-sinkretistik, melainkan sedang berupaya menerjemahkan
Yesus kepada orang-orang Athena.
Dalam Lukas 16:19-31, Yesus sendiri menggunakan
kontekstualisasi untuk menerangkan ajarannya kepada orang-orang Yahudi. Cerita yang diangkat Yesus terambil dari
mitos orang Yadudi tentang “orang kaya yang (menurut tradisi Vulgata
[Alkitab dalam bahasa Latin] bernama Divas) dan orang miskin yang bernama
Lazarus.” Ini adalah mitos orang Yahudi
yang menyuarakan “doktrin kebakaan jiwa,” yaitu keadaan jiwa-jiwa yang berada
di sheol “neraka” (bandingkan dengan doktrin kebakaan jiwa Katholik,
ajaran purgatory “api penyucian”).
The International Critical Commentary, untuk komentar ayat 22 mengindikasikan
bahwa mitos Yahudi ini digunakan oleh Yesus untuk mengkontekstualisasikan
ajaran Alkitab bahwa seseorang dihukum di neraka berdasarkan perbuatannya yang
dilakukan sebelum ia mati (lihat Matius 7:1-2; Wahyu 20:12-13) dan Yesus tidak
menggunakan dongeng ini untuk mempromosikan doktrin kebakaan jiwa. Tidak semua aspek dari mitos Yahudi tersebut
mengandung kebenaran; tapi, Yesus menggunakannya. Yesus tidak membuat satu ajaran yang
sinkretistik dengan memasukkan unsur-unsur konsep kebakaan jiwa ke dalam ajaran
Alkitab. Melainkan, Ia sedang berusaha untuk menerjemahkan ajaran-Nya agar
mudah dimengerti oleh orang Yahudi.
Ellen G. White dan Kontekstualisasi
Dua dari sekian contoh kontekstualisasi dalam tulisan
Ellen G. White adalah usaha memperkenalkan kasih Yesus bagi jemaat, anak-anak,
dan orang miskin lewat perayaan Hari Natal dan Tahun Baru, serta perayaan Ulang
Tahun. Natal, 25 Desember, tadinya,
merupakan pesta adat orang Eropa Barat yang puncaknya adalah Tahun Baru, 1
Januari. Di wilayah dataran rendah
(umumnya daerah Belanda, Belgia, dan Luxemburg), agama kekafiran Politeistik
yang di sebut Druidic menganjurkan penyembahan dan pesta-pora untuk memuja
dewa-dewi pada tanggal 25 Desember-1 Januari.
Sebelum orang Eropa Barat menerima penanggalan Gregorius, tanggal 1
Januari, sesuai penanggalan mereka, telah diterima sebagai puncak perayaan
pesta delapan hari tersebut. Selama
pesta, mereka mengadakan penyembahan serta pesta-pora. Di Eropa Barat, matahari tidak bersinar
dengan cerah pada bulan Desember.
Sekitar jam empat sore, matahari telah terbenam. Pada tanggal 25 December, penyembahan kepada
dewa matahari diadakan agar sang dewa muncul dan bersinar dengan baik pasca
musim dingin. Ada yang mengatakan bahwa
yang disembah adalah anak sang dewa matahari, di sebut Tamus dengan lambang
T. Penggunan lilin atau lampu-lampu
kecil, saling bertukar hadiah, dan pohon yang digantungi bermacam-macam lambang
termasuk lambang T menyemarakkan suasana pemyembahan dan pesta-pora
tersebut. Puncak dari perayaan ini
adalah tanggal 1 Januari. Meneruskan ajaran gereja, seorang missionary Kristen,
namanya Eligius, mengajak orang-orang Eropa Barat untuk tidak menyembah
dewa-dewi kekafiran selama perayaan itu, tidak membuat patung-pantungan wanita
dan rusa, lalu menggantikan objek penyembahan dari dewa-dewi kekafiran menjadi
Yesus Krisus. Perayaan kafir itu
dikontekstualisasikan menjadi perayaan Kelarihan Yesus.
Perayaan Ulang Tahun juga memiliki latar-belakang
kekafiran. Perayaan ini disebarkan di
Eropa Barat oleh tentara-tentara Roma.
Prakteknya berasal dari ritual penyembahan Mithras yang dimulai oleh
orang Persia. Yang berulang-tahun, jika
dia masih seorang gadis atau jejaka, akan diminta untuk mencium lawan
jenisnya. Jika orang dewasa, akan
mencium pasangannya. Semua ini adalah
kebiasaan yang berlatar-belakan kekafiran.
Kue Ulang Tahun merupakan medium di mana lilin akan dipasang. Ketika nyala lilin itu ditiup, maka segala
harapan akan terbawa oleh nyala api yang tertiup dan diharap-kan agar
harapan-harapan tersebut dikabulkan oleh dewa api.
Ellen G. White mengatakan bahwa perayaan Natal (beserta pohon Natalnya) dan
Tahun baru serta perayaan Ulang Tahun boleh bagi orang-orang Advent (The Adventist Home, hal. 477-78, 482; Councils on Stewardship, hal. 296). Pohon Natal tidak dilarang bagi orang Advent
selama itu digunakan untuk menggantungkan hadiah untuk membantu gereja, anak-anak,
dan orang-orang miksin. Objek
sembahannya, yaitu dewa-dewa kafir, harus diganti dan Yesus ditempatkan pada
posisi mereka. Perayaannya harus
sederhana dan bernuansa Alkitab.
Upacara-upacara ini harus dijadikan sarana untuk mengkonteks-tualisasikan
kasih Yesus lebih dalam lagi kepada jemaat, anak-anak, dan orang-orang
miskin. Maksudnya adalah untuk
menunjukkan bahwa Yesus sangat mencintai mereka. Perayaan Ulang Tahun juga tidak dilarang
selama itu untuk mensyukuri berkat-berkat dari Tuhan dan umur yang Ia
tambahkan. Perayaannya harus sederhana
dan diadakan dalam suasana Kekristenan.
Hal ini akan menjadi alat peraga untuk mengerti kasih Yesus.
Antara dan Opo Wananatas/Mananatas
Dalam menerjemahkan Yesus
kepada masyarakat yang memegang konsep Ketimuran (Konfusianisme, Buddhisme,
Hinduisme, Animisme, dll.), perlu ditanyakan apakah kontekstualisasi yang akan
dijalankan bersifat Alkitabiah atau sinkretistik. Jika kontekstualisasi itu dijalankan diatas
koridor yang benar, kontekstualisasi tidak akan menelorkan dokmatika
sinkretisme atau Yesus-sinkretistik.
Usaha yang diupayakan dalam successful
syncretism atau double transformation
adalah menggunakan Perjanjian Lama [PL] dan Perjanjian Baru [PB] (Alkitab) di
satu sisi dan aspek-aspek budaya di sisi lain untuk tujuan analogis dalam
menerjemahkan Kristus agar Dia mudah dimengerti. Berikut beberapa contoh singkat dan sederhana
dari kontekstualisasi:
Untuk menerjemahkan Kristus kepada orang-orang India, Yesus dianalogikan
sebagai Avatara. Avatara hidup di
Nirwana (alam para dewa), lalu turun ke dunia, merasakan apa yang manusia
rasakan, dan menjadi pengantara, karena dia mencintai mereka. Sampai di sini, sepertinya ada persamaan
antara mitos Avatara dan kehidupan nyata Yesus.
Dalam PB, Yesus turun dari tempat tinggal Ilahi-Nya untuk mengambil
tempat manusia yang fana (Filipi 2:5-7), Dia adalah Immanuel (Yesaya 7:14; 8:8;
Matius 1:23), dan merasakan apa yang manusia rasakan (Ibrani 4:15). Di saat menerjemahkan Yesus lewat cerita
Avatara, maka akan didapati bahwa kedua tokoh tersebut tidaklah sama—karena
Yesus bukanlah Avatara. Kontekstualisasi
ini adalah satu penganalogian untuk memudahkan orang-orang India mengerti bahwa
Yesus mencintai mereka juga. Untuk
menghindari sinkretisme, maka aspek yang berada diluar bingkai katholisitas
jangan dimasukkan.
Lammin Sanneh, seorang professor missiology dari Yale University, yang
tadinya berasal dari Agama Sepupu, mengatakan bahwa bagi masyarakat Animisme
yang percaya terhadap faham proto-Ancestor
“moyang yang pertama,” isme mereka memberi peluang bagi penterjemahan Yesus. Di
Minahasa contohnya, Tuhannya Alkitab disebut Opo Wananatas dalam bahasa lokal. Kata opo
mengandung makna “pemilik,” “penguasa,” “pengatur.” Dalam konteks Minahasa, ada sebutan opo Lokon, opo Soputan, opo Klabat,
dst. Salah satu sumber menerangkan bahwa
masyarakat kuno Minahasa, yang berasal
dari rumpun Mongoloit, adalah penganut faham Animisme dan mempercayai bahwa proto-Ancestor mereka, yang semasa hidup
adalah orang-orang yang dihormati, ketika mangkat, menjadi opo yang bersemayam di puncak-puncak gunung di wilayah mereka. Para proto-Ancestor
itu menyebabkan keseimbangan alam, melindungi masyarakat Minahasa yang
terkadang dimanifestasikan melalui pemberian kekuatan atau ilmu gaib, dan memberkati
keturunan mereka. Walaupun demikian,
masyarakat Minahasa kuno juga telah menyebutkan nama Opo Wananatas/Mananatas,
satu entiti yang mereka sendiri tidak kenal dengan jelas. Kata wana/mana berarti “di” dan [n]atas
berarti “atas”—Opo Wananatas/Mananatas berarti “Pemilik, Penguasa, Pengatur—yang berada di
atas.” Dari hal lokasi, Opo Wananatas/Mananatas bersemanyam ditempat yang lebih tinggi dari tempat para opo pengunungan. Dari hal kuasa, sudah tentu Ia memiliki kuasa yang melebihi
kuasa para opo rendahan tadi. Dalam konsep Animisme Mihanasa, ciri-ciri dan
karakter dari Opo Wananatas/Mananatas tersebut belum dikenal dengan
jelas. Dengan kontekstualisasi,
kekaburan pengertian akan identitas dari Opo
Wananatas/Mananatas menjadi peluang besar bagi Kekristenan untuk
mengkontekstualisasikan Tuhan Yesus kepada orang Minahasa. Caranya adalah dengan memasukkan ciri-ciri
dan karakter Kristus ke dalam sebutan yang sudah familiar kepada mereka, Opo
Wananatas/Mananatas.
Kesimpulan
Kontekstualisasi sangat diperlukan dalam penginjilan. Mengkontekstualisasikan Yesus kepada satu
budaya tertentu tidaklah salah selama berada dalam bingkai katholisasi. Identitas orang Kristen, yaitu Yesus Kristus,
tidak akan rusak oleh karena kontekstualisasi.
Tanpa kontekstualisasi, adalah sulit untuk menerjemahkan Yesus dan
ajaran-Nya kepada mereka yang belum mendengar apalagi mengenal kebenaran
Alkitab. Implikasi sosial dari
kontekstualisasi adalah Kristus merupakan transformator dari budaya
non-Alkitabiah kepada budaya yang Alkitabiah.
Motif yang murni haruslah menjadi pendorong bagi seorang Kristen dalam
mengkontekstualisasikan Yesus dan ajaran-Nya bagi yang belum mendengar apalagi
mengenal Dia. Motivasi untuk mengkontekstualisasikan Yesus adalah Tugas
Mulia-Nya (Matius 28:19-20; Kisah 1:8).
Untuk menghindari sinkretisme, semua bentuk kontekstualisasi harus berada
dalam bingkai katholisasi—yaitu, Alkitab!
Prinsip Sola Scriptura harus
dijunjung tinggi! Tulisan Ellen G. White
adalah hasil inspirasi Roh Kudus yang dapat menuntun para pelaku
kontekstualisasi kepada tindakan yang benar dalam usaha penginjilan.
Himbauan dan Ajakan
Jangan menjadi picik dalam
hal kontekstualisasi. Mari menginjil
untuk mempersiapkan jiwa-jiwa bagi kerajaan Allah.
***
0 komentar:
Posting Komentar