BAIT Ministry

Sabtu, 31 Juli 2021

Kontekstualisasi dan Identitas Kristen: Satu Kajian Theologi-Aplikasi Secara Singkat dan Sederhana

Pdt. Dr. Swineys Tandidio, M-AR, M.Th.

 

Pendahuluan

                Kontekstualisasi disebut juga successful contextualization  kontekstualisasi yang sukses” atau double transformation “transformasi ganda.”  Kontekstualisasi dalam pembicaraan ini adalah usaha menerjemahkan Yesus dan ajaran-Nya kepada satu masyarakat dalam ruang-lingkup kebudayaan tertentu.  Identitas Kristen adalah Yesus Kristus—Yesus Kristus-lah identitas orang Kristen.  Kontekstualisasi bertujuan untuk memperkenalkan Yesus, identitas Kristen, dan ajaran-Nya kepada orang non-Kristen. James D. G. Dunn, emeritus professor dari Univesity of Durham, menyatakan bahwa kontekstualisasi penting dalam menjalankan Tugas Mulia (Matius 28:19-20; Kisah 1:8).       

Apakah kontekstualisasi mengancam identitas Kekristenan? Jürgen Moltmann, seorang professor kontekstual theologi di Universität Tübingen, Deutschland—mengindikasikan bahwa masalah-masalah akan mengikuti kontekstualisasi.  Bengt Sundkler, seorang yang pernah menjadi misionaris di Afrika, lalu  menjadi professor sejarah gereja di University of Uppsala, Sweden—berkata bahwa kontekstualisasi dapat menimbulkan masalah dalam menerjemahkan Kristus.  Martien E. Brinkman, seorang professor sejarah gereja dan theologi di Vrije Universiteit van Amsterdam (Free University of Amsterdam), Holland—menyatakan bahwa jika dilakukan sesuai proporsi Alkitabiah, kontekstualisasi tidak akan berbenturan dengan identitas Kristen.  

 

Kontekstualisasi dalam Katholisitas

                Agaknya, mayoritas dari Kekristenan era moderen dan post-moderen merupakan hasil pekabaran Injil orang Barat yang sangat dipengaruhi oleh theologi kontekstualisasi Barat.  Kembali ke masa reformasi dan kolonisasi, para pakar theologi Barat telah menciptakan beragam kontekstualisasi untuk diterapkan di ladang-ladang evangelisasi mereka.  Hal ini dirasa perlu karena menyadari bahwa theologi mereka harus diterjemahkan agar mudah dimengerti.  Maksudnya supaya Yesus dapat diterima dan memiliki arti bagi masyarakat yang mereka Injili.  Oleh sebab budaya yang mereka injili beragam banyaknya, maka penerapan kontekstualisasi bagi satu masyarakat tertentu belum tentu tepat untuk diterapkan bagi budaya lainnya.  Seiring dengan berjalannya waktu, ada kecenderungan yang kemudian muncul dan mempersalahkan theologi kontekstualisasi Barat karena kontekstualisasi tersebut memberi peluang pada sinkretisme. 

Walaupun demikian, sejarah membuktikan bahwa kontekstualisasi adalah cara yang paling sering digunakan untuk memenangkan jiwa bagi Kristus. Demi mengantisipasi munculnya masalah sinkretisme pasca kontekstualisasi, maka kontekstualisasi memerlukan bingkai— katholisitas adalah bingkai kontekstalisasi.  Katholisitas telah dipandang sebagai satu jalan keluar bagi masalah yang bisa muncul pasca kontekstualisasi.  Walaupun demikian, katholisitas harus memiliki landasan.  Bagi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK), Alkitab dan hanya Alkitab saja—bukan tulisan Ellen G. White (Letter 12, 1890; Manuscript 7, 1894; Evangelism, hal. 256; Seventh-day Adventists Believe . . . , hal. 227)—yang harus menjadi landasan doktrin gereja! Tapi, siapakah yang akan menjelaskan Alkitab?  Tentu Roh Kudus!  Dengan cara bagaimana?  Inspirasi!  Sebagaimana Alkitab tidak bisa melebihi Allah Trinitas, begitu pula tulisan Ellen G. White tidak bisa melebihi Alkitab.  Walaupun banyak kritikan yang ditujukan kepada tulisan Ellen G. White sehubungan dengan penginspirasian, proses pengumpulan sumber, penulisan, dan pemeliharaannya; namun semua kritikan itu justru menguatkan tulisan Ellen G. White.  Analisa yang mendalam akan menunjukkan bahwa kritik yang ditujukan kepada tulisan-tulisan Ellen G. White, bisa juga dialamatkan kepada Alkitab.  Singkatnya, tulisan Ellen G. White adalah hasil inspirasi Roh Kudus.  Adapun demikian, Alkitab merupakan terang besar, sedangkan tulisan Ellen G. White adalah terang kecil, sesuai pernyataan Roh Kudus lewat pena inspirasi (Colporteur Ministry, hal. 125).  Sebab itu, landasan katholisitas dari kontekstualisasi GMAHK adalah terang besar—Alkitab!—dan tulisan Ellen G. White, dalam perihal ini, haruslah dipandang sebagai terang kecil yang memberikan penjelasan otoritatif bagi Alkitab.   

 

Alkitab dan Kontekstualisasi

                Dalam Perjanjian Lama (PL), kontekstualisasi telah digunakan.  Satu dari sekian banyak contoh terdapat dalam Bilangan 21:8-9.  Dalam ayat-ayat tersebut, YHWH (’ādōnāy)  berkata kepada Musa untuk membuat replika ular dari tembaga (Ibrani: śārāp—bisa juga diterjemahkan sebagai “ular bersayap”) dan menempatkannya di atas tiang, bisa jadi berupa tongkat miniatur salib yang tinggi, supaya setiap orang yang telah dipatuk oleh ular tedung karena memberontak melawan Tuhan tidak binasa melainkan beroleh hidup.  Ular kobra Nil telah mendapat tempat istimewa dalam sejarah Mesir.  Ular adalah satu dari sekian dewa orang Mesir yang dianggap bisa memberikan kesembuhan.  Salah satu perhiasan mahkota Firaun adalah replika ular kobra Nil.  Tuhan memerintahkan Musa menggunakan lambang-lambang yang sudah familiar bagi orang-orang Israel, yang mereka lihat di Mesir, untuk menerjemahkan bahwa satu saat nanti, Yesus akan datang dan membawa kesembuhan rohani bagi manusia sehingga yang percaya kepadanya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16; Alfa dan Omega, jil. 2, hal. 20-23).  Kabar baik disebarkan bahwa replika ular itu akan membawa kesembuhan jika dipandang.  Mereka yang telah memandang replika ular itu dan percaya disembuhkan.  Tapi mereka, yang walaupun memandangnya, namun tidak percaya karena merasa tidak mungkin hanya dengan memandang mereka dapat disembuhkan, mati karena bisa sengatan ular tedung (Markus 16:15-6; Alfa dan Omega, jil. 2, hal. 19-20).   Ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh successful contextualization dalam PL.  Lambang-lambang ular untuk kesembuhan dapat dilihat dalam mithologi orang Yunani, yaitu cawan hygieia dengan ular yang melingkarinya (sekarang jadi lambang Farmasi), tongkat bersayap Caduceus dengan ular yang melingkari batangnya (sekarang jadi lambang korps medis angkatan bersenjata USA), dan tongkat Asclepius yang ujungnya bercabang mirip salib dengan ular yang melingkari seputar cabangnya (sekarang jadi lambang pengobatan secara umum).

Kontekstualisasi terdapat dalam Perjanjian Baru (PB), contohnya dalam Yohanes 1:1.  Yesus diterjemahkan sebagai Lógos (Yunani).  Dalam agama politeistik-kafir Yunani, lógos  adalah entiti pengantara antara para dewa-dewi dan manusia.  Dalam ajaran filosofis proto-Platonisme, middle-Platonisme, dan neo-Platonisme,  lógos diartikan sebagai “model ilahi,” “rencana ilahi” atau “pemikiran ilahi” yang merupakan “model dari ciptaan ilahi”  (Op Mund 18, 20, 24, 25; Plant 18-19; Fug 94-102; Tim 30c-31a, 34a, 36-37, 38c; Leg All 1:24).  Merujuk kembali kepada ajaran dasar politeistik-kafir Yunani, Platonisme merujuk kepada pengertian bahwa lógos adalah pengantara ilahi yang memediatori makhluk dewata dan manusia biasa.  Menurut Homer sang Filsuf, logos adalah satu ekspresi pemikiran.  Menurut Heraclitus sang Filsuf, lógos adalah sesuatu yang mengontrol alam semesta.  Dalam filsafat Stoa, logos dimengerti sebagai jiwanya dunia.  Menurut ajaran Markus Aurelius, lógos adalah spermatikos lógos atau prinsip perkembangbiakan dalam alam.  Walaupun demikian, faham Lógos dalam Yohanes 1:1 bukanlah filsafat Yunani.  Dari sudut pandang kontekstualisasi, Yohanes memasukkan faham PL tentang “Hikmat Kekal” (Amsal 8:1, 22-23; Wahyu 1:8; 21:6; 22:12) ke dalam konsep lógos Yunani untuk tujuan apologi dan evangelisasi.  Dengan kontekstualisasi ini, Yohanes menangkis faham orang-orang proto-Gnostik yang mengklaim bahwa gnôsis “pengetahuan” tidak dapat menerima sang Pencipta semesta alam yang baka lahir dalam daging yang fana.  Dari sudut pandang missiologi, Yohanes sedang memberikan satu successful contextualization untuk memenangkan mereka yang berkecimpung dengan filsafat Yunani bagi Kristus.  Hasil dari kontekstualisasi Yohanes dalam menerjemahkan Oknum Kedua dari Allah Trinitas yang diperkenalkan lewat kata Lógos tidak menghasilkan Yesus-sinkretistik, tapi Yesus, sang Alfa dan Omega, yang Awal dan Akhir (Wahyu 1:8; 21:6; 22:12; Amsal 8:1, 22-23).

Bukan hanya Yohanes, Paulus juga menggunakan kontekstualisasi dalam menerjemahkan Yesus kepada orang-orang Yunani di kota Athena (Kisah 17:16-24).  Dalam Kisah 17:23, Paulus berkata (Yunani): …heúron kaí bômón en hố epegégrapto agnốstô theô hó oún agnôúntes eusebeíte toúto egố katangéllô humín “…lalu aku menemukan mezbah yang padanya bertuliskan, untuk Allah yang tak dikenal, yang kamu tidak kenal [namun] kamu perlihatkan kesetiaan, Mahluk itulah yang aku mau beritakan kepada kalian.”  Kata penghubung kaí “dan” atau “juga” diterjemahkan sebagai “lalu” karena sintaks narasinya bukan menghubungkan dua entiti, tetapi menunjukkan kontinuasi cerita.  Ini karena mezbah yang Paulus amati adalah satu dari sebásmata (Yunani) [noun accusative neuter plural] yang dilihat Paulus.   sebásmata secara literal berarti “objek-objek penyembahan” bisa merujuk kepada patung-patung dewa-dewi, dll. yang banyak di Athena.  Tapi, dalam konteks ini, kata itu sepertinya merujuk kepada mezbah-mezbah yang Paulus lihat.  Mezbah yang dia amati bertuliskan “…bagi Allah yang tak dikenal…”  Pausanias yang adalah orang Athena, dalam tulisannya, Pausanias 1.1, 4—menceritakan bahwa di Athena ada terdapat mezbah-mezbah, yang padanya terdapat tulisan bômoi theôn agnôstôn “mezbah-mezbah untuk Allah yang tak dikenal.”  Mengapa ada mezbah-mezbah sedemikian?  Salah satu jawaban yang plausible adalah bangsa Yunani merupakan bangsa Politeistik. Mereka memberikan kesempatan pada para penyembah untuk mempersembahkan domba-domba di atas mezbah-mezbah tersebut bagi dewa asing.  Tapi, diceritakan bahwa seorang sastrawan dan ahli filsafat Yunani yang hidup di abad ke 6 BC, Ephimenides, berkata jika seorang mempersembahkan korban kepada dewa asing di mezbah-mezbah tersebut tapi dewa tersebut bukanlah dewa yang tepat, akan timbul murka dari dewa-dewa asli Yunani sehingga si pemberi persembahan bisa dikutuk oleh dewa-dewa itu.  Melihat peluang ini, Paulus menggunakan kesempatan untuk memperkenalkan Tuhan yang Alkitabiah kepada orang-orang penganut filsafat Epikuros dan Stoa di Athena dengan cara memasukkan ciri-ciri dan karakter dari Allah semesta alam kepada “Allah yang tak dikenal” (Alfa dan Omega, jil. 7, hal. 200-01).  Dalam usaha kontekstualisasi tersebut, Paulus tidak menciptakan Yesus-sinkretistik, melainkan sedang berupaya menerjemahkan Yesus kepada orang-orang Athena.

Dalam Lukas 16:19-31, Yesus sendiri menggunakan kontekstualisasi untuk menerangkan ajarannya kepada orang-orang Yahudi.  Cerita yang diangkat Yesus terambil dari mitos orang Yadudi tentang “orang kaya yang (menurut tradisi Vulgata [Alkitab dalam bahasa Latin] bernama Divas) dan orang miskin yang bernama Lazarus.”  Ini adalah mitos orang Yahudi yang menyuarakan “doktrin kebakaan jiwa,” yaitu keadaan jiwa-jiwa yang berada di sheol “neraka” (bandingkan dengan doktrin kebakaan jiwa Katholik, ajaran purgatory “api penyucian”).  The International Critical Commentary, untuk komentar ayat 22 mengindikasikan bahwa mitos Yahudi ini digunakan oleh Yesus untuk mengkontekstualisasikan ajaran Alkitab bahwa seseorang dihukum di neraka berdasarkan perbuatannya yang dilakukan sebelum ia mati (lihat Matius 7:1-2; Wahyu 20:12-13) dan Yesus tidak menggunakan dongeng ini untuk mempromosikan doktrin kebakaan jiwa.  Tidak semua aspek dari mitos Yahudi tersebut mengandung kebenaran; tapi, Yesus menggunakannya.  Yesus tidak membuat satu ajaran yang sinkretistik dengan memasukkan unsur-unsur konsep kebakaan jiwa ke dalam ajaran Alkitab. Melainkan, Ia sedang berusaha untuk menerjemahkan ajaran-Nya agar mudah dimengerti oleh orang Yahudi.

 

Ellen G. White dan Kontekstualisasi

                Dua dari sekian contoh kontekstualisasi dalam tulisan Ellen G. White adalah usaha memperkenalkan kasih Yesus bagi jemaat, anak-anak, dan orang miskin lewat perayaan Hari Natal dan Tahun Baru, serta perayaan Ulang Tahun.  Natal, 25 Desember, tadinya, merupakan pesta adat orang Eropa Barat yang puncaknya adalah Tahun Baru, 1 Januari.  Di wilayah dataran rendah (umumnya daerah Belanda, Belgia, dan Luxemburg), agama kekafiran Politeistik yang di sebut Druidic menganjurkan penyembahan dan pesta-pora untuk memuja dewa-dewi pada tanggal 25 Desember-1 Januari.  Sebelum orang Eropa Barat menerima penanggalan Gregorius, tanggal 1 Januari, sesuai penanggalan mereka, telah diterima sebagai puncak perayaan pesta delapan hari tersebut.  Selama pesta, mereka mengadakan penyembahan serta pesta-pora.  Di Eropa Barat, matahari tidak bersinar dengan cerah pada bulan Desember.  Sekitar jam empat sore, matahari telah terbenam.  Pada tanggal 25 December, penyembahan kepada dewa matahari diadakan agar sang dewa muncul dan bersinar dengan baik pasca musim dingin.  Ada yang mengatakan bahwa yang disembah adalah anak sang dewa matahari, di sebut Tamus dengan lambang T.  Penggunan lilin atau lampu-lampu kecil, saling bertukar hadiah, dan pohon yang digantungi bermacam-macam lambang termasuk lambang T menyemarakkan suasana pemyembahan dan pesta-pora tersebut.  Puncak dari perayaan ini adalah tanggal 1 Januari. Meneruskan ajaran gereja, seorang missionary Kristen, namanya Eligius, mengajak orang-orang Eropa Barat untuk tidak menyembah dewa-dewi kekafiran selama perayaan itu, tidak membuat patung-pantungan wanita dan rusa, lalu menggantikan objek penyembahan dari dewa-dewi kekafiran menjadi Yesus Krisus.  Perayaan kafir itu dikontekstualisasikan menjadi perayaan Kelarihan Yesus.  

                Perayaan Ulang Tahun juga memiliki latar-belakang kekafiran.  Perayaan ini disebarkan di Eropa Barat oleh tentara-tentara Roma.  Prakteknya berasal dari ritual penyembahan Mithras yang dimulai oleh orang Persia.  Yang berulang-tahun, jika dia masih seorang gadis atau jejaka, akan diminta untuk mencium lawan jenisnya.  Jika orang dewasa, akan mencium pasangannya.  Semua ini adalah kebiasaan yang berlatar-belakan kekafiran.  Kue Ulang Tahun merupakan medium di mana lilin akan dipasang.  Ketika nyala lilin itu ditiup, maka segala harapan akan terbawa oleh nyala api yang tertiup dan diharap-kan agar harapan-harapan tersebut dikabulkan oleh dewa api. 

Ellen G. White mengatakan bahwa perayaan Natal (beserta pohon Natalnya) dan Tahun baru serta perayaan Ulang Tahun boleh bagi orang-orang Advent (The Adventist Home, hal. 477-78, 482; Councils on Stewardship, hal. 296).  Pohon Natal tidak dilarang bagi orang Advent selama itu digunakan untuk menggantungkan hadiah untuk membantu gereja, anak-anak, dan orang-orang miksin.  Objek sembahannya, yaitu dewa-dewa kafir, harus diganti dan Yesus ditempatkan pada posisi mereka.  Perayaannya harus sederhana dan bernuansa Alkitab.  Upacara-upacara ini harus dijadikan sarana untuk mengkonteks-tualisasikan kasih Yesus lebih dalam lagi kepada jemaat, anak-anak, dan orang-orang miskin.  Maksudnya adalah untuk menunjukkan bahwa Yesus sangat mencintai mereka.  Perayaan Ulang Tahun juga tidak dilarang selama itu untuk mensyukuri berkat-berkat dari Tuhan dan umur yang Ia tambahkan.  Perayaannya harus sederhana dan diadakan dalam suasana Kekristenan.  Hal ini akan menjadi alat peraga untuk mengerti kasih Yesus.

 

Antara dan Opo Wananatas/Mananatas

Dalam menerjemahkan Yesus kepada masyarakat yang memegang konsep Ketimuran (Konfusianisme, Buddhisme, Hinduisme, Animisme, dll.), perlu ditanyakan apakah kontekstualisasi yang akan dijalankan bersifat Alkitabiah atau sinkretistik.  Jika kontekstualisasi itu dijalankan diatas koridor yang benar, kontekstualisasi tidak akan menelorkan dokmatika sinkretisme atau Yesus-sinkretistik.  Usaha yang diupayakan dalam successful syncretism atau double transformation adalah menggunakan Perjanjian Lama [PL] dan Perjanjian Baru [PB] (Alkitab) di satu sisi dan aspek-aspek budaya di sisi lain untuk tujuan analogis dalam menerjemahkan Kristus agar Dia mudah dimengerti.  Berikut beberapa contoh singkat dan sederhana dari kontekstualisasi:

Untuk menerjemahkan Kristus kepada orang-orang India, Yesus dianalogikan sebagai Avatara.  Avatara hidup di Nirwana (alam para dewa), lalu turun ke dunia, merasakan apa yang manusia rasakan, dan menjadi pengantara, karena dia mencintai mereka.  Sampai di sini, sepertinya ada persamaan antara mitos Avatara dan kehidupan nyata Yesus.  Dalam PB, Yesus turun dari tempat tinggal Ilahi-Nya untuk mengambil tempat manusia yang fana (Filipi 2:5-7), Dia adalah Immanuel (Yesaya 7:14; 8:8; Matius 1:23), dan merasakan apa yang manusia rasakan (Ibrani 4:15).  Di saat menerjemahkan Yesus lewat cerita Avatara, maka akan didapati bahwa kedua tokoh tersebut tidaklah sama—karena Yesus bukanlah Avatara.  Kontekstualisasi ini adalah satu penganalogian untuk memudahkan orang-orang India mengerti bahwa Yesus mencintai mereka juga.  Untuk menghindari sinkretisme, maka aspek yang berada diluar bingkai katholisitas jangan dimasukkan.

Lammin Sanneh, seorang professor missiology dari Yale University, yang tadinya berasal dari Agama Sepupu, mengatakan bahwa bagi masyarakat Animisme yang percaya terhadap faham proto-Ancestor “moyang yang pertama,” isme mereka memberi peluang bagi penterjemahan Yesus. Di Minahasa contohnya, Tuhannya Alkitab disebut Opo Wananatas dalam bahasa lokal.  Kata opo mengandung makna “pemilik,” “penguasa,” “pengatur.”  Dalam konteks Minahasa, ada sebutan opo Lokon, opo Soputan, opo Klabat, dst.  Salah satu sumber menerangkan bahwa masyarakat kuno Minahasa,  yang berasal dari rumpun Mongoloit, adalah penganut faham Animisme dan mempercayai bahwa proto-Ancestor mereka, yang semasa hidup adalah orang-orang yang dihormati, ketika mangkat, menjadi opo yang bersemayam di puncak-puncak gunung di wilayah mereka.  Para proto-Ancestor itu menyebabkan keseimbangan alam, melindungi masyarakat Minahasa yang terkadang dimanifestasikan melalui pemberian kekuatan atau ilmu gaib, dan memberkati keturunan mereka.  Walaupun demikian, masyarakat Minahasa kuno juga telah menyebutkan nama Opo Wananatas/Mananatas, satu entiti yang mereka sendiri tidak kenal dengan jelas.  Kata wana/mana berarti “di” dan [n]atas berarti “atas”—Opo Wananatas/Mananatas berarti Pemilik, Penguasa, Pengatur—yang berada di atas.”  Dari hal lokasi, Opo Wananatas/Mananatas bersemanyam ditempat yang lebih tinggi dari tempat para opo pengunungan.  Dari hal kuasa,  sudah tentu Ia memiliki kuasa yang melebihi kuasa para opo rendahan tadi.  Dalam konsep Animisme Mihanasa, ciri-ciri dan karakter dari Opo Wananatas/Mananatas tersebut belum dikenal dengan jelas.  Dengan kontekstualisasi, kekaburan pengertian akan identitas dari Opo Wananatas/Mananatas menjadi peluang besar bagi Kekristenan untuk mengkontekstualisasikan Tuhan Yesus kepada orang Minahasa.  Caranya adalah dengan memasukkan ciri-ciri dan karakter Kristus ke dalam sebutan yang sudah familiar kepada mereka,  Opo Wananatas/Mananatas. 

 

Kesimpulan

Kontekstualisasi sangat diperlukan dalam penginjilan.  Mengkontekstualisasikan Yesus kepada satu budaya tertentu tidaklah salah selama berada dalam bingkai katholisasi.  Identitas orang Kristen, yaitu Yesus Kristus, tidak akan rusak oleh karena kontekstualisasi.  Tanpa kontekstualisasi, adalah sulit untuk menerjemahkan Yesus dan ajaran-Nya kepada mereka yang belum mendengar apalagi mengenal kebenaran Alkitab.  Implikasi sosial dari kontekstualisasi adalah Kristus merupakan transformator dari budaya non-Alkitabiah kepada budaya yang Alkitabiah.  Motif yang murni haruslah menjadi pendorong bagi seorang Kristen dalam mengkontekstualisasikan Yesus dan ajaran-Nya bagi yang belum mendengar apalagi mengenal Dia. Motivasi untuk mengkontekstualisasikan Yesus adalah Tugas Mulia-Nya (Matius 28:19-20; Kisah 1:8). 

Untuk menghindari sinkretisme, semua bentuk kontekstualisasi harus berada dalam bingkai katholisasi—yaitu, Alkitab!  Prinsip Sola Scriptura harus dijunjung tinggi!  Tulisan Ellen G. White adalah hasil inspirasi Roh Kudus yang dapat menuntun para pelaku kontekstualisasi kepada tindakan yang benar dalam usaha penginjilan. 

 

Himbauan dan Ajakan

Jangan menjadi picik dalam hal kontekstualisasi.  Mari menginjil untuk mempersiapkan jiwa-jiwa bagi kerajaan Allah. 

***


0 komentar:

Posting Komentar