BAIT Ministry

Sabtu, 15 Februari 2025

DOSA MUSA: REFLEKSI PRAKTIS UNTUK PELAYANAN

DOSA MUSA: REFLEKSI PRAKTIS UNTUK PELAYANAN

PASTORAL DARI BILANGAN 20:1-13

Oleh : Pdt.  Blasius Abin

 

Pendahuluan

Kitab Bilangan pasal 11-19 mencatat pemberontakan Israel dan para imam terhadap Allah dan Musa.  Para pembaca dengan mudah mendiagnosa  dosa atau pemberontakan yang dilakukan oleh umat Israel dan para imam, karena diungkapkan secra eksplisit dalam teks (11:4; 12:1; 14:3; 16:3). Pemberontakan dan ketidaktaatan mereka menjadi alasan utama Allah menghukum generasi eksodus (baca: generasi pertama) yakni mereka mati di Padang gurun (14:29-33). Deskripsi yang digunakan oleh narator untuk alasan dari penghukuman Allah adalah ketidakpercayaan Israel: “Berapa lama lagi bangsa initidak mau percaya kepadaKU…” (14:11).

Bilangan 20:1-13 mencatat hukuman Allah untuk Musa dan Harun dengan formulasi alasan yang sama, yakni ketidakpercayaan: “Karena kamu tidak percaya kepadaKu…” (20:12). Pertanyaan yang penting berdasarkan konteks narasi Bil. 20:1-13 adalah: Apakah dosa Musa? Hukumannya jelas yakni kematian di padang gurun  (20:12b), tetapi teks tidak secara eksplisit memberitahukan para pembaca tentang dosa Musa. Pertanyaan ini dijawab oleh para ilmuwan alkitab dengan berbagai proposal interpretasi. Ada yang mengatakan dosa Musa adalah karena memukul batu (20:11), perintah Allah adalah berbicara kepada batu (20:8) jadi memukul batu artinya melawan perintah Allah, inilah dosa Musa. Yang lain mengatakan dosa Musa adalah karena ekspresi verbal dari kemarahan yang dibuat di depan umat Israel dan Allah (20:10).[i] Semua interpretasi yang lain dibangun di atas dua perspektif ini. Tulisan ini tidak berusaha untuk mendiagnosa berbagai perspektif dari berbagai interpretasi, tetapi mencoba untuk melihat dari perspektif yang lain dengan analisis teks, dan berusaha menarik aplikasi praktis sebagai refleksi dalam pelayanan.

 

Konteks dan Teks: Mendiagnosa Dosa Musa

Bil. 20:1-13 dimulai dengan informasi kematian Miriam “matilah Miriam di situ” (20:1) dan kematiannya sebagai nabiah adalah pengingat bagi pendengar Musa bahwa kematian Miriam adalah konsekuensi dari pemberontkannya melawan Allah dan Musa (Bilangan 12).  Kemudian Bil. 20:2-5 adalah informasi tentang persungutan Israel melawan Allah karena kekurangan makanan dan minuman (bdk. 21:5). Formulasi pemberontakan Israel pada perikop ini sama dengan yang mereka buat dalam  Bil. 11:4-6, yakni mereka takut mati karena kekurangan minum dan makanan.

Asumsi dasar persungutan Israel dalam Bil. 20:2-5 adalah padang gurun identik dengan kematian “Mengapa kamu membawa jemaat Tuhan ke padang gurun ini, suapaya…mati di situ?” Musa dan Harun sebagai pemimpin harus menyelesaikan problem ini berdasarkan petunjuk Tuhan (ayat 6-8). Tapi pada bagian akhir dari narasi ini justru Musa dan Harun yang harus mati “kamu tidak akan membawa jemaat ini masuk…” artinya Musa harus mati, dan “lalu matilah Harun di puncak gunung itu…” (20:12, 28). Pertanyaannya adalah apakah sesungguhnya dosa Musa dan Harun sebagai pemimpin sehingga mereka tidak diisinkan memasuki tanah Perjanjian. Informasi ayat 8-11 mengungkapkan alasan penghukuman Musa dan Harun.

Perintah Allah pada ayat 8 jelas: ambil tongkat, kumpulkan umat Israel, dan berbicara kepada bukit batu di hadapan Israel. Musa menjalankan perintah ini dalam ayat 9, 10, 11. Pada ayat 9 dan 10a Musa bertindak persis seperti yang diperintahkan Allah pada ayat 8. Pada titik ini tidak ada konstradiksi antara maksud Allah dan tindakan Musa, teks menegaskan “just as (Ibrani: kaaser) he had commanded him” (ayat 9a NAS). Partikel kaaser (artinya “seperti,” “sama,” “sama seperti”) menegaskan persistensi dari tindakan Musa di hadapan Allah berdasarkan instruksi.

Problem muncul pada ayat 10b dan ayat 11,

[[“Lalu Musa mengambil tongkat itu dari hadapan Tuhan...berkatalah ia kepada mereka, ‘dengarlah kepadaku hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?][ Sesudah itu Musa mengangkat tangannya, lalu memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali’”]]

 

Frase preposisi “di depan bukit batu” dalam Bahasa Ibrani (ayat 10a) paralel dengan  “dari hadapan Tuhan” (ayat 9), ini memberikan implikasi bahwa Musa sebagai mediator Allah, berdiri di hadapan Israel dan Allah dengan tongkat Allah di tangannya dan diikuti oleh pernyataan: “berkatalah ia kepada mereka.”  Umat Israel yang sudah ia kumpulkan siap untuk mendengar Musa, tetapi apa yang mereka dengar hanyalah celaan yang penuh dengan kemarahan: “dengarlah kepadaku hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?” Kemarahan Musa yang diungkapkan melalui pertanyaan retorik sesungguhnya ia memberikan respons terhadap persungutan Israel pada ayat 2-5. Label “durhaka” untuk orang Israel pada ayat ini adalah ringkasan dari sikap pemberontakan Israel dalam Bil. 14-19 maupun Bil. 30:2-5.

Bahasa Ibrani untuk “durhaka” adalah marah,  digunakan oleh Allah dalam Ul. 20:24; 27:14 untuk menegaskan dosa Musa dan Harun. Tugas Musa dalam konteks ayat 8 adalah berbicara kepada Israel tentang kekuasaan Allah dan memberikan solusi terhadap problem Israel dengan mengeluarkan air dari bukit batu. Musa tidak berada dalam posisi untuk mencela Israel. Pada poin ini Musa, sebagai pemimpin, tidak hanya mengambil sikap oposisi terhadap Allah tetapi menentang Allah secara serius dan ini kesalahan yang sangat fatal. Jadi pertanyaan retorik Musa (ayat 10b) “shall we…? adalah ekspresi keraguannya terhadap kekuasaan Allah untuk menyelesaikan problem Israel. Kata ganti orang shall we tidak ditujukan kepada subyek Musa dan Harun, tetapi kepada Musa dan Allah, sejak peran Harun di hadapan Musa dalam Kel. 4:14-17; 7:1, 2 adalah “translator” atau asisten Musa. Sekalipun ia memiliki peran minor tetapi fungsinya sangat penting. Maka pertanyaan Musa “”shall we” sesungguhnya mengungkapkan keraguan dan ketidakpercayaan Musa kepada Allah. Pemazmur mengingatkan kemabli alasan penghukuman “he speak rashly” (Maz. 106:33 NAS). Dengan kata lain pertanyaan retorik Musa menegaskan bahwa Allah tidak memiliki kuasa dan Musa tidak ditugaskan untuk mengeluarkan air dari batu. Di sini jelas, Musa tidak percaya kepada Allah dan menentang instruksiNya (ayat 8).

Jika ayat 10b adalah isu paling dasar untuk mendiagnosa kesalahan Musa dan bukan pada tindakan memukul batu (ayat 11), pertanyaannya adalah apakah hubungan antara kemarahan Musa dengan tindakannya “lalu memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali” (ayat 11)? Inilah premis dasar sebelum menjawab pertanyaan tersebut: Apa yang ada di dalam pikiran Musa dibalik kemarahan dan tindakannya adalah ia meragukan Allah. Tindakan Musa “memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali” adalah konsekuensi lanjutan dari kemarahannya kepada Israel. Sekalipun memukul batu bukanlah pelanggaran (bdk. Kel. 17 dan Bil. 17), tetapi dengan memukul batu “dua kali,” Musa, dalam kemarahannya, hendak menegaskan kepada Israel bahwa air tidak dapat keluar dari batu oleh karena kedurhakaan Israel (bdk E. G. White 4SG, 39; PP, 418) .

Yang menarik adalah sekalipun Musa gagal untuk percaya kepada Allah, tetapi Ia, di hadapan Israel, membuktikan kebesaran dan kekuasaanya dengan mengeluarkan air dari bukit batu: “maka keluarlah banyak air” (ayat 11b). Fakta ini menegaskan penolakan yang serius terhadap perkataan dan tindakan Musa, dan Ia sendiri yang mengungkapkan kekuasaan dan kesuciannya di hadapan Israel. Ayat 13 menunjukan paralel dari tindakan Allah dalam ayat 11b, “Ia menunjukan kekudusannya di antara mereka” ini bertentangan dengan tindakan Musa dan Harun pada ayat 12b: “tidak menghormati kekudusanku di depan orang Israel.” Pada poin ini Musa gagal tetapi Allah tidak gagal. Air keluar dari batu  karena konsistensi Allah dalam menyelesaikan problem Israel sekalipun pemimpin mereka gagal untuk percaya kepada Tuhan.

Dalam kaitan dengan memukul batu, teks mengatakan “then Moses lifted up his hand” (11a NAS). Ide tentang mengangkat tangan dalam Bil. 15:30 adalah ekspresi metafora untuk menggambarkan tindakan seseorang yang melawan hukum, atau melawan Allah dan raja yang dirupi Allah (Ul. 32:27; 2 Sam. 20:21). Dalam konteks Bil. 20:11 Musa melawan Allah.  Jadi tindakan dan perkataan Musa mendemonstrasikan pemberonatakan dan ketidakpercayaannya kepada Allah. Karena alasan itulah mereka dihukum oleh Allah.

 

Hukuman Allah Untuk Musa dan Harun

Alasan penghukuman Allah dalam ayat 12 adalah: “Karena kamu tidak percaya kepadaKu dan tidak menghormati kekuduskanKu di depan mata orang Israel…” Frase “tidak percaya”  adalah tema sentral penghukuman Allah atas Israel (Bil. 14:11), alasan yang sama Allah menghukum Musa dan Harun (20:12). Ini erat kaitannya dengan perkat`aan dan tindakan Musa pada ayat 10b dan 11. Melalui perkataannya dan tindakannya, Musa gagal mendemonstrasikan iman yang benar kepada Allah di hadapan Israel.

Allah mengharapakan Musa dan Harun sebagai mediator mengubah sikap mereka dalam menghadapi pemberontakan Israel dengan menyingkapkan kebesaran dan kekuasaan Allah supaya Israel dalam perjalanan menuju Tanah Kanaan tetap percaya. Percaya kepada Allah adalah dimensi yang paling penting di Padang gurun dalam mempersiapkan diri untuk memasuki tanah Kanaan. Tetapi mereka gagal untuk melakukan hal ini. Penghukuman Allah selalu berhubungan dengan ketidakpercayaan, untuk hal ini Yohanes menegaskan: “…sin because they do not believe” (Yoh. 16:9). Orang Israel dihukum karena tidak percaya kepada Allah (14:11), nabi juga dihukum karena ketidakpercayaan kepada Allah. Musa dan Harun sebagai pemimpin dan imam dihukum karena ketidakpercayaan mereka kepada Allah (Bil. 20:1-13).

 

Kesimpulan dan Refleksi Praktis

Pembaca Bil. 20:1-13 dapat menarik aplikasi dari perspektif yang berbeda, tetapi berdasarkan analisis literal di atas, berikut ini adalah kesimpulan dan refleksi praktis. Buku Bilangan penuh dengan informasi pemberontakan dan ketidaktaatan (Bil. 11-21). Semua alasan pemberontakan dan persungutan diformulasi dalam bahasa yang sederhana: Ketidakpercayaan. Kematian di Padang gurun adalah konsekuensi logis dari ketidakpercayaan. Generasi pertama Israel mati, Miriam sebagi nabiah mati, Musa dan Harun sebagai pemimpin dan Imam juga binasa karena alasan yang sama: Ketidakpercayaan. Dari perspektif Israel, ide tentang kematian di padang gurun lebih dari generic term yang biasa kita gunakan. Bagi Israel kematian artinya tidak dapat memasuki tanah perjanjian, yang sudah dijanjikan Allah ribuan tahun sebelumnya.

Musa dan Harun adalah mediator anatara Allah dan Israel. Allah mengharapkan mereka menunjukan iman yang teguh di hadapan Israel dalam menghadapi persungutan. Iman adalah satu-satunya instrumen yang diberikan Allah agar resistensi Israel dalam menghadapi problem dapat teruji, dan Israel tetap percaya kepada Allah. Tetapi faktanya mereka sebagai pemimpin dan gembala gagal untuk memenuhi harapan Allah, dan mereka dihukum karena hal ini.

Dosa Musa dan Harun tidak dapat dilihat secara parsial, hanya karena kemarahan atau hanya karena tindakan memukul batu. Semua ungkapan verbal dan tindakan  hendak menegaskan bahwa mereka tidak percaya kepada Allah atau paling tidak ragu terhadap kekuasaan Allah untuk mengeluarkan air dari batu. Ini dianggap sebagai sikap oposisi  dan pemberontakan Musa dan Harun sebagai pemimpin. Tujuan untuk mengeluarkan air dari batu sudah tercapai dan problem Israel dapat diatasi, tapi hukuman Allah terhadap Musa menegaskan hal yang sangat penting untuk Israel, Musa dan Harun bahwa Tuhan tidak berfokus pada hasil dari pelayanan, tetapi berfokus pada  menghormati Allah di hadapan Israel dalam menjalankan misi. Jika premis ini diterima, maka ukuran keberhasilan pelayanan Musa dan Harun tidak terletak pada hasil “air keluar dari bukit batu” tetapi terletak pada sikap konsistensi iman di hadapan Allah dan Umat. Ekspresi verbal dan tindakan seorang pelayan Tuhan adalah produk dari initimitasnya dengan Allah atau dari ketidakpercayaan kepada Allah.

Dalam level praktis, hal ini sangat sulit untuk dilihat oleh “Israel,” ini sama sulitnya untuk melihat dosa Musa dalam Bil. 20:1-13. Jika saya membuat proyeksi dosa Musa dengan “Aku” sebagai pelayan maka akan sangat muda bagi jemaat dan bagi “Aku”  untuk mendaftar keberhasilan dalam pelayanan. Cerita ini mengatakan keberhasilan “air keluar dari bukit batu” tidak berbanding lurus dengan sikap iman Musa dan Harun di hadapan Allah. Buku bilangan bermain dengan “number” atau “kuantitas” tatapi Allah menuntut kualitas iman dari umat Israel maupun para pemimpin dalam perjalanan eksodus. Parameter mengukur keberhasilan “Aku” sebagai pelayan selalu bermain dengan jumlah yang dapat didaftar dalam ingatan seorang pelayan. Teks kita, Ul. 20:1-13 dengan muda membaca hukuman yang diberikan Allah kepada Musa dan Harun, tapi sulit untuk menemukan alasan penghukuman. Sebaliknya, pada level praktis sangat mudah untuk melihat keberhasilan “Aku” sehingga tidak mudah untuk melihat dosa dan pelanggaran sebagai alasan bagi Tuhan memberikan penghukuman.

Tulisan ini mendorong “Aku” untuk mengajukan beberapa pertanyaan refleksi: Apa kesalahan “Aku” sebagai hamba Tuhan dalam pelayanan? Pada akhirnya, apa yang akan dikatakan oleh Tuhan kepada “Aku” berkat atau deklarasi penghukuman? Jawaban kita terhadap pertanyaan kedua tidak semudah menjawab pertanyaan pertama. Tapi cerita mengenai kegagalan Musa dalam Bil. 20:1-13 memberikan gambaran bahwa totalitas iman seorang dapat diungkapkan melalui perkataan dan tindakan. Tujuan utama hidup dan misi kita adalah menyingkapkan kepada dunia tentang kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Misi ini membutuhkan konsistensi iman yang hidup. Iman yang hidup dalam praktek dan dapat disaksikan melalui ekspresi verbal dan tindakan. Produk dari ini semua adalah nama Tuhan dimuliakan, dan jiwa datang kepada Allah dan akhirnya “Israel” dan semua orang layak memasuki Tanah Perjanjian.

 



Bersambung ke bagian 2 




 

0 komentar:

Posting Komentar