DOSA MUSA: REFLEKSI PRAKTIS UNTUK PELAYANAN
PASTORAL DARI BILANGAN 20:1-13
Oleh : Pdt. Blasius Abin
Pendahuluan
Kitab Bilangan pasal 11-19 mencatat pemberontakan Israel dan para imam
terhadap Allah dan Musa. Para pembaca
dengan mudah mendiagnosa dosa atau
pemberontakan yang dilakukan oleh umat Israel dan para imam, karena diungkapkan
secra eksplisit dalam teks (11:4; 12:1; 14:3; 16:3). Pemberontakan dan ketidaktaatan
mereka menjadi alasan utama Allah menghukum generasi eksodus (baca: generasi
pertama) yakni mereka mati di Padang gurun (14:29-33). Deskripsi yang digunakan
oleh narator untuk alasan dari penghukuman Allah adalah ketidakpercayaan
Israel: “Berapa lama lagi bangsa ini…tidak mau percaya kepadaKU…”
(14:11).
Bilangan 20:1-13 mencatat hukuman Allah untuk Musa dan Harun dengan
formulasi alasan yang sama, yakni ketidakpercayaan: “Karena kamu tidak
percaya kepadaKu…” (20:12). Pertanyaan yang penting berdasarkan konteks
narasi Bil. 20:1-13 adalah: Apakah dosa Musa? Hukumannya jelas yakni kematian
di padang gurun (20:12b), tetapi teks
tidak secara eksplisit memberitahukan para pembaca tentang dosa Musa.
Pertanyaan ini dijawab oleh para ilmuwan alkitab dengan berbagai proposal
interpretasi. Ada yang mengatakan dosa Musa adalah karena memukul batu (20:11),
perintah Allah adalah berbicara kepada batu (20:8) jadi memukul batu artinya
melawan perintah Allah, inilah dosa Musa. Yang lain mengatakan dosa Musa adalah
karena ekspresi verbal dari kemarahan yang dibuat di depan umat Israel dan
Allah (20:10).[i] Semua interpretasi yang lain
dibangun di atas dua perspektif ini. Tulisan ini tidak berusaha untuk
mendiagnosa berbagai perspektif dari berbagai interpretasi, tetapi mencoba
untuk melihat dari perspektif yang lain dengan analisis teks, dan berusaha
menarik aplikasi praktis sebagai refleksi dalam pelayanan.
Konteks dan Teks:
Mendiagnosa Dosa Musa
Bil. 20:1-13 dimulai dengan informasi kematian Miriam “matilah Miriam
di situ” (20:1) dan kematiannya sebagai nabiah adalah pengingat bagi
pendengar Musa bahwa kematian Miriam adalah konsekuensi dari pemberontkannya
melawan Allah dan Musa (Bilangan 12).
Kemudian Bil. 20:2-5 adalah informasi tentang persungutan Israel melawan
Allah karena kekurangan makanan dan minuman (bdk. 21:5). Formulasi pemberontakan Israel
pada perikop ini sama dengan yang mereka buat dalam Bil. 11:4-6, yakni mereka takut mati karena
kekurangan minum dan makanan.
Asumsi dasar persungutan Israel dalam Bil. 20:2-5 adalah padang gurun
identik dengan kematian “Mengapa kamu membawa jemaat Tuhan ke padang gurun
ini, suapaya…mati di situ?” Musa dan Harun sebagai pemimpin harus
menyelesaikan problem ini berdasarkan petunjuk Tuhan (ayat 6-8). Tapi pada
bagian akhir dari narasi ini justru Musa dan Harun yang harus mati “kamu
tidak akan membawa jemaat ini masuk…” artinya Musa harus mati, dan “lalu
matilah Harun di puncak gunung itu…” (20:12, 28). Pertanyaannya adalah
apakah sesungguhnya dosa Musa dan Harun sebagai pemimpin sehingga mereka tidak
diisinkan memasuki tanah Perjanjian. Informasi ayat 8-11 mengungkapkan alasan
penghukuman Musa dan Harun.
Perintah Allah pada ayat 8 jelas: ambil tongkat, kumpulkan umat Israel, dan
berbicara kepada bukit batu di hadapan Israel. Musa menjalankan perintah ini
dalam ayat 9, 10, 11. Pada ayat 9 dan 10a Musa bertindak persis seperti yang
diperintahkan Allah pada ayat 8. Pada titik ini tidak ada konstradiksi antara
maksud Allah dan tindakan Musa, teks menegaskan “just as (Ibrani:
kaaser) he had commanded him” (ayat 9a NAS). Partikel kaaser
(artinya “seperti,” “sama,” “sama seperti”) menegaskan persistensi dari
tindakan Musa di hadapan Allah berdasarkan instruksi.
Problem muncul pada ayat
10b dan ayat 11,
[[“Lalu
Musa mengambil tongkat itu dari hadapan Tuhan...berkatalah ia kepada mereka,
‘dengarlah kepadaku hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air
bagimu dari bukit batu ini?][ Sesudah itu Musa mengangkat tangannya, lalu
memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali’”]]
Frase preposisi “di
depan bukit batu” dalam Bahasa Ibrani (ayat 10a) paralel
dengan “dari hadapan
Tuhan” (ayat 9), ini memberikan implikasi bahwa Musa sebagai mediator
Allah, berdiri di hadapan Israel dan Allah dengan tongkat Allah di tangannya
dan diikuti oleh pernyataan: “berkatalah ia kepada mereka.” Umat Israel yang sudah ia kumpulkan siap
untuk mendengar Musa, tetapi apa yang mereka dengar hanyalah celaan yang penuh
dengan kemarahan: “dengarlah kepadaku hai orang-orang durhaka, apakah kami
harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?” Kemarahan Musa yang
diungkapkan melalui pertanyaan retorik sesungguhnya ia memberikan respons
terhadap persungutan Israel pada ayat 2-5. Label “durhaka” untuk
orang Israel pada ayat ini adalah ringkasan dari sikap pemberontakan Israel
dalam Bil. 14-19 maupun Bil. 30:2-5.
Bahasa Ibrani untuk “durhaka” adalah marah, digunakan oleh Allah dalam Ul. 20:24; 27:14
untuk menegaskan dosa Musa dan Harun. Tugas Musa dalam konteks ayat 8 adalah
berbicara kepada Israel tentang kekuasaan Allah dan memberikan solusi terhadap
problem Israel dengan mengeluarkan air dari bukit batu. Musa tidak berada dalam
posisi untuk mencela Israel. Pada poin ini Musa, sebagai pemimpin, tidak hanya
mengambil sikap oposisi terhadap Allah tetapi menentang Allah secara serius dan
ini kesalahan yang sangat fatal. Jadi pertanyaan retorik Musa (ayat 10b) “shall
we…? adalah ekspresi keraguannya terhadap kekuasaan Allah untuk
menyelesaikan problem Israel. Kata ganti orang shall we
tidak ditujukan kepada subyek Musa dan Harun, tetapi kepada Musa dan Allah,
sejak peran Harun di hadapan Musa dalam Kel. 4:14-17; 7:1, 2 adalah
“translator” atau asisten Musa. Sekalipun ia memiliki peran minor tetapi
fungsinya sangat penting. Maka pertanyaan Musa “”shall we” sesungguhnya
mengungkapkan keraguan dan ketidakpercayaan Musa kepada Allah. Pemazmur
mengingatkan kemabli alasan penghukuman “he speak rashly” (Maz. 106:33
NAS). Dengan kata lain pertanyaan retorik Musa menegaskan bahwa Allah tidak
memiliki kuasa dan Musa tidak ditugaskan untuk mengeluarkan air dari batu. Di
sini jelas, Musa tidak percaya kepada Allah dan menentang instruksiNya (ayat
8).
Jika ayat 10b adalah isu paling dasar untuk mendiagnosa kesalahan Musa dan
bukan pada tindakan memukul batu (ayat 11), pertanyaannya adalah apakah
hubungan antara kemarahan Musa dengan tindakannya “lalu memukul bukit
batu itu dengan tongkatnya dua kali” (ayat 11)? Inilah premis dasar
sebelum menjawab pertanyaan tersebut: Apa yang ada di dalam pikiran Musa
dibalik kemarahan dan tindakannya adalah ia meragukan Allah. Tindakan Musa “memukul
bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali” adalah konsekuensi lanjutan
dari kemarahannya kepada Israel. Sekalipun memukul batu bukanlah pelanggaran
(bdk. Kel. 17 dan Bil. 17), tetapi dengan memukul batu “dua kali,”
Musa, dalam kemarahannya, hendak menegaskan kepada Israel bahwa air tidak dapat
keluar dari batu oleh karena kedurhakaan Israel (bdk E. G. White 4SG, 39; PP,
418) .
Yang menarik adalah sekalipun Musa gagal untuk percaya kepada Allah, tetapi
Ia, di hadapan Israel, membuktikan kebesaran dan kekuasaanya dengan
mengeluarkan air dari bukit batu: “maka keluarlah banyak air”
(ayat 11b). Fakta ini menegaskan penolakan yang serius terhadap perkataan dan
tindakan Musa, dan Ia sendiri yang mengungkapkan kekuasaan dan kesuciannya di
hadapan Israel. Ayat 13 menunjukan paralel dari tindakan Allah dalam ayat 11b,
“Ia menunjukan kekudusannya di antara mereka” ini bertentangan
dengan tindakan Musa dan Harun pada ayat 12b: “tidak menghormati
kekudusanku di depan orang Israel.” Pada poin ini Musa gagal tetapi
Allah tidak gagal. Air keluar dari batu
karena konsistensi Allah dalam menyelesaikan problem Israel sekalipun
pemimpin mereka gagal untuk percaya kepada Tuhan.
Dalam kaitan dengan memukul batu, teks mengatakan “then
Moses lifted up his hand” (11a NAS). Ide tentang mengangkat tangan dalam Bil.
15:30 adalah ekspresi metafora untuk menggambarkan tindakan seseorang yang
melawan hukum, atau melawan Allah dan raja yang dirupi Allah (Ul. 32:27; 2 Sam.
20:21). Dalam konteks Bil. 20:11 Musa melawan Allah. Jadi tindakan dan perkataan Musa
mendemonstrasikan pemberonatakan dan ketidakpercayaannya kepada Allah. Karena
alasan itulah mereka dihukum oleh Allah.
Hukuman Allah Untuk Musa
dan Harun
Alasan penghukuman Allah dalam ayat 12 adalah: “Karena kamu tidak
percaya kepadaKu dan tidak menghormati kekuduskanKu di depan mata orang Israel…”
Frase “tidak percaya” adalah tema
sentral penghukuman Allah atas Israel (Bil. 14:11), alasan yang sama Allah
menghukum Musa dan Harun (20:12). Ini erat kaitannya dengan perkat`aan dan
tindakan Musa pada ayat 10b dan 11. Melalui perkataannya dan tindakannya, Musa
gagal mendemonstrasikan iman yang benar kepada Allah di hadapan Israel.
Allah mengharapakan Musa dan Harun sebagai mediator mengubah sikap mereka
dalam menghadapi pemberontakan Israel dengan menyingkapkan kebesaran dan
kekuasaan Allah supaya Israel dalam perjalanan menuju Tanah Kanaan tetap
percaya. Percaya kepada Allah adalah dimensi yang paling penting di Padang
gurun dalam mempersiapkan diri untuk memasuki tanah Kanaan. Tetapi mereka gagal
untuk melakukan hal ini. Penghukuman Allah selalu berhubungan dengan
ketidakpercayaan, untuk hal ini Yohanes menegaskan: “…sin because they do
not believe” (Yoh. 16:9). Orang Israel dihukum karena tidak percaya kepada
Allah (14:11), nabi juga dihukum karena ketidakpercayaan kepada Allah. Musa dan
Harun sebagai pemimpin dan imam dihukum karena ketidakpercayaan mereka kepada
Allah (Bil. 20:1-13).
Kesimpulan dan Refleksi Praktis
Pembaca Bil. 20:1-13 dapat menarik aplikasi dari perspektif yang berbeda,
tetapi berdasarkan analisis literal di atas, berikut ini adalah kesimpulan dan
refleksi praktis. Buku Bilangan penuh dengan informasi pemberontakan dan
ketidaktaatan (Bil. 11-21). Semua alasan pemberontakan dan persungutan
diformulasi dalam bahasa yang sederhana: Ketidakpercayaan.
Kematian di Padang gurun adalah konsekuensi logis dari ketidakpercayaan.
Generasi pertama Israel mati, Miriam sebagi nabiah mati, Musa dan Harun sebagai
pemimpin dan Imam juga binasa karena alasan yang sama: Ketidakpercayaan. Dari
perspektif Israel, ide tentang kematian di padang gurun lebih dari generic term
yang biasa kita gunakan. Bagi Israel kematian artinya tidak dapat memasuki
tanah perjanjian, yang sudah dijanjikan Allah ribuan tahun sebelumnya.
Musa dan Harun adalah mediator anatara Allah dan Israel. Allah mengharapkan
mereka menunjukan iman yang teguh di hadapan Israel dalam menghadapi
persungutan. Iman adalah satu-satunya instrumen yang diberikan Allah agar
resistensi Israel dalam menghadapi problem dapat teruji, dan Israel tetap
percaya kepada Allah. Tetapi faktanya mereka sebagai pemimpin dan gembala gagal
untuk memenuhi harapan Allah, dan mereka dihukum karena hal ini.
Dosa Musa dan Harun tidak dapat dilihat secara parsial, hanya karena
kemarahan atau hanya karena tindakan memukul batu. Semua ungkapan verbal dan
tindakan hendak menegaskan bahwa mereka
tidak percaya kepada Allah atau paling tidak ragu terhadap kekuasaan Allah
untuk mengeluarkan air dari batu. Ini dianggap sebagai sikap oposisi dan pemberontakan Musa dan Harun sebagai
pemimpin. Tujuan untuk mengeluarkan air dari batu sudah tercapai dan problem
Israel dapat diatasi, tapi hukuman Allah terhadap Musa menegaskan hal yang
sangat penting untuk Israel, Musa dan Harun bahwa Tuhan tidak berfokus pada
hasil dari pelayanan, tetapi berfokus pada
menghormati Allah di hadapan Israel dalam menjalankan misi. Jika premis
ini diterima, maka ukuran keberhasilan pelayanan Musa dan Harun tidak terletak
pada hasil “air keluar dari bukit batu” tetapi terletak pada sikap
konsistensi iman di hadapan Allah dan Umat. Ekspresi verbal dan tindakan
seorang pelayan Tuhan adalah produk dari initimitasnya dengan Allah atau dari
ketidakpercayaan kepada Allah.
Dalam level praktis, hal ini sangat sulit untuk dilihat oleh “Israel,” ini
sama sulitnya untuk melihat dosa Musa dalam Bil. 20:1-13. Jika saya membuat
proyeksi dosa Musa dengan “Aku” sebagai pelayan maka akan sangat muda bagi
jemaat dan bagi “Aku” untuk mendaftar
keberhasilan dalam pelayanan. Cerita ini mengatakan keberhasilan “air keluar
dari bukit batu” tidak berbanding lurus dengan sikap iman Musa dan Harun di
hadapan Allah. Buku bilangan bermain dengan “number” atau “kuantitas” tatapi
Allah menuntut kualitas iman dari umat Israel maupun para pemimpin dalam
perjalanan eksodus. Parameter mengukur keberhasilan “Aku” sebagai pelayan
selalu bermain dengan jumlah yang dapat didaftar dalam ingatan seorang pelayan.
Teks kita, Ul. 20:1-13 dengan muda membaca hukuman yang diberikan Allah kepada
Musa dan Harun, tapi sulit untuk menemukan alasan penghukuman. Sebaliknya, pada
level praktis sangat mudah untuk melihat keberhasilan “Aku” sehingga tidak
mudah untuk melihat dosa dan pelanggaran sebagai alasan bagi Tuhan memberikan
penghukuman.
Tulisan ini mendorong “Aku” untuk mengajukan beberapa pertanyaan refleksi:
Apa kesalahan “Aku” sebagai hamba Tuhan dalam pelayanan? Pada akhirnya, apa
yang akan dikatakan oleh Tuhan kepada “Aku” berkat atau deklarasi penghukuman?
Jawaban kita terhadap pertanyaan kedua tidak semudah menjawab pertanyaan
pertama. Tapi cerita mengenai kegagalan Musa dalam Bil. 20:1-13 memberikan
gambaran bahwa totalitas iman seorang dapat diungkapkan melalui perkataan dan
tindakan. Tujuan utama hidup dan misi kita adalah menyingkapkan kepada dunia
tentang kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Misi ini membutuhkan konsistensi iman
yang hidup. Iman yang hidup dalam praktek dan dapat disaksikan melalui ekspresi
verbal dan tindakan. Produk dari ini semua adalah nama Tuhan dimuliakan, dan
jiwa datang kepada Allah dan akhirnya “Israel” dan semua orang layak memasuki
Tanah Perjanjian.
0 komentar:
Posting Komentar