BAIT Ministry

HUT BAIT ke 1 di Megamendung Bogor

Kunjungan ke Jemaat Sentul dan Panti Asuhan di Bogor dalam rangka HUT BAIT Ministry ke 1.

BAIT Ministry di Toraja

Kunjungan BAIT Ministry ke SLA Mebali dan berbagai tempat wisata dalam rangka HUT BAIT ke 3.

Kunjungan BAIT Ministry ke Palu

Kunjungan BAIT Ministry ke Palu Dalam Rangka HUT BAIT Ministry ke 4.

KKR Bait Ministry di Kotamobagu

KKR BAIT Ministry di Kotamobagu Dalam Rangka HUT BAIT Ministry ke 5.

Baptisan BAIT Ministry di Kotamobagu

Baptisan Setelah KKR Dalam Rangka HUT BAIT Ministry ke 5 di Kotamobagu.

Sabtu, 31 Juli 2021

Kontekstualisasi dan Identitas Kristen: Satu Kajian Theologi-Aplikasi Secara Singkat dan Sederhana

Pdt. Dr. Swineys Tandidio, M-AR, M.Th.

 

Pendahuluan

                Kontekstualisasi disebut juga successful contextualization  kontekstualisasi yang sukses” atau double transformation “transformasi ganda.”  Kontekstualisasi dalam pembicaraan ini adalah usaha menerjemahkan Yesus dan ajaran-Nya kepada satu masyarakat dalam ruang-lingkup kebudayaan tertentu.  Identitas Kristen adalah Yesus Kristus—Yesus Kristus-lah identitas orang Kristen.  Kontekstualisasi bertujuan untuk memperkenalkan Yesus, identitas Kristen, dan ajaran-Nya kepada orang non-Kristen. James D. G. Dunn, emeritus professor dari Univesity of Durham, menyatakan bahwa kontekstualisasi penting dalam menjalankan Tugas Mulia (Matius 28:19-20; Kisah 1:8).       

Apakah kontekstualisasi mengancam identitas Kekristenan? Jürgen Moltmann, seorang professor kontekstual theologi di Universität Tübingen, Deutschland—mengindikasikan bahwa masalah-masalah akan mengikuti kontekstualisasi.  Bengt Sundkler, seorang yang pernah menjadi misionaris di Afrika, lalu  menjadi professor sejarah gereja di University of Uppsala, Sweden—berkata bahwa kontekstualisasi dapat menimbulkan masalah dalam menerjemahkan Kristus.  Martien E. Brinkman, seorang professor sejarah gereja dan theologi di Vrije Universiteit van Amsterdam (Free University of Amsterdam), Holland—menyatakan bahwa jika dilakukan sesuai proporsi Alkitabiah, kontekstualisasi tidak akan berbenturan dengan identitas Kristen.  

 

Kontekstualisasi dalam Katholisitas

                Agaknya, mayoritas dari Kekristenan era moderen dan post-moderen merupakan hasil pekabaran Injil orang Barat yang sangat dipengaruhi oleh theologi kontekstualisasi Barat.  Kembali ke masa reformasi dan kolonisasi, para pakar theologi Barat telah menciptakan beragam kontekstualisasi untuk diterapkan di ladang-ladang evangelisasi mereka.  Hal ini dirasa perlu karena menyadari bahwa theologi mereka harus diterjemahkan agar mudah dimengerti.  Maksudnya supaya Yesus dapat diterima dan memiliki arti bagi masyarakat yang mereka Injili.  Oleh sebab budaya yang mereka injili beragam banyaknya, maka penerapan kontekstualisasi bagi satu masyarakat tertentu belum tentu tepat untuk diterapkan bagi budaya lainnya.  Seiring dengan berjalannya waktu, ada kecenderungan yang kemudian muncul dan mempersalahkan theologi kontekstualisasi Barat karena kontekstualisasi tersebut memberi peluang pada sinkretisme. 

Walaupun demikian, sejarah membuktikan bahwa kontekstualisasi adalah cara yang paling sering digunakan untuk memenangkan jiwa bagi Kristus. Demi mengantisipasi munculnya masalah sinkretisme pasca kontekstualisasi, maka kontekstualisasi memerlukan bingkai— katholisitas adalah bingkai kontekstalisasi.  Katholisitas telah dipandang sebagai satu jalan keluar bagi masalah yang bisa muncul pasca kontekstualisasi.  Walaupun demikian, katholisitas harus memiliki landasan.  Bagi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK), Alkitab dan hanya Alkitab saja—bukan tulisan Ellen G. White (Letter 12, 1890; Manuscript 7, 1894; Evangelism, hal. 256; Seventh-day Adventists Believe . . . , hal. 227)—yang harus menjadi landasan doktrin gereja! Tapi, siapakah yang akan menjelaskan Alkitab?  Tentu Roh Kudus!  Dengan cara bagaimana?  Inspirasi!  Sebagaimana Alkitab tidak bisa melebihi Allah Trinitas, begitu pula tulisan Ellen G. White tidak bisa melebihi Alkitab.  Walaupun banyak kritikan yang ditujukan kepada tulisan Ellen G. White sehubungan dengan penginspirasian, proses pengumpulan sumber, penulisan, dan pemeliharaannya; namun semua kritikan itu justru menguatkan tulisan Ellen G. White.  Analisa yang mendalam akan menunjukkan bahwa kritik yang ditujukan kepada tulisan-tulisan Ellen G. White, bisa juga dialamatkan kepada Alkitab.  Singkatnya, tulisan Ellen G. White adalah hasil inspirasi Roh Kudus.  Adapun demikian, Alkitab merupakan terang besar, sedangkan tulisan Ellen G. White adalah terang kecil, sesuai pernyataan Roh Kudus lewat pena inspirasi (Colporteur Ministry, hal. 125).  Sebab itu, landasan katholisitas dari kontekstualisasi GMAHK adalah terang besar—Alkitab!—dan tulisan Ellen G. White, dalam perihal ini, haruslah dipandang sebagai terang kecil yang memberikan penjelasan otoritatif bagi Alkitab.   

 

Alkitab dan Kontekstualisasi

                Dalam Perjanjian Lama (PL), kontekstualisasi telah digunakan.  Satu dari sekian banyak contoh terdapat dalam Bilangan 21:8-9.  Dalam ayat-ayat tersebut, YHWH (’ādōnāy)  berkata kepada Musa untuk membuat replika ular dari tembaga (Ibrani: śārāp—bisa juga diterjemahkan sebagai “ular bersayap”) dan menempatkannya di atas tiang, bisa jadi berupa tongkat miniatur salib yang tinggi, supaya setiap orang yang telah dipatuk oleh ular tedung karena memberontak melawan Tuhan tidak binasa melainkan beroleh hidup.  Ular kobra Nil telah mendapat tempat istimewa dalam sejarah Mesir.  Ular adalah satu dari sekian dewa orang Mesir yang dianggap bisa memberikan kesembuhan.  Salah satu perhiasan mahkota Firaun adalah replika ular kobra Nil.  Tuhan memerintahkan Musa menggunakan lambang-lambang yang sudah familiar bagi orang-orang Israel, yang mereka lihat di Mesir, untuk menerjemahkan bahwa satu saat nanti, Yesus akan datang dan membawa kesembuhan rohani bagi manusia sehingga yang percaya kepadanya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16; Alfa dan Omega, jil. 2, hal. 20-23).  Kabar baik disebarkan bahwa replika ular itu akan membawa kesembuhan jika dipandang.  Mereka yang telah memandang replika ular itu dan percaya disembuhkan.  Tapi mereka, yang walaupun memandangnya, namun tidak percaya karena merasa tidak mungkin hanya dengan memandang mereka dapat disembuhkan, mati karena bisa sengatan ular tedung (Markus 16:15-6; Alfa dan Omega, jil. 2, hal. 19-20).   Ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh successful contextualization dalam PL.  Lambang-lambang ular untuk kesembuhan dapat dilihat dalam mithologi orang Yunani, yaitu cawan hygieia dengan ular yang melingkarinya (sekarang jadi lambang Farmasi), tongkat bersayap Caduceus dengan ular yang melingkari batangnya (sekarang jadi lambang korps medis angkatan bersenjata USA), dan tongkat Asclepius yang ujungnya bercabang mirip salib dengan ular yang melingkari seputar cabangnya (sekarang jadi lambang pengobatan secara umum).

Kontekstualisasi terdapat dalam Perjanjian Baru (PB), contohnya dalam Yohanes 1:1.  Yesus diterjemahkan sebagai Lógos (Yunani).  Dalam agama politeistik-kafir Yunani, lógos  adalah entiti pengantara antara para dewa-dewi dan manusia.  Dalam ajaran filosofis proto-Platonisme, middle-Platonisme, dan neo-Platonisme,  lógos diartikan sebagai “model ilahi,” “rencana ilahi” atau “pemikiran ilahi” yang merupakan “model dari ciptaan ilahi”  (Op Mund 18, 20, 24, 25; Plant 18-19; Fug 94-102; Tim 30c-31a, 34a, 36-37, 38c; Leg All 1:24).  Merujuk kembali kepada ajaran dasar politeistik-kafir Yunani, Platonisme merujuk kepada pengertian bahwa lógos adalah pengantara ilahi yang memediatori makhluk dewata dan manusia biasa.  Menurut Homer sang Filsuf, logos adalah satu ekspresi pemikiran.  Menurut Heraclitus sang Filsuf, lógos adalah sesuatu yang mengontrol alam semesta.  Dalam filsafat Stoa, logos dimengerti sebagai jiwanya dunia.  Menurut ajaran Markus Aurelius, lógos adalah spermatikos lógos atau prinsip perkembangbiakan dalam alam.  Walaupun demikian, faham Lógos dalam Yohanes 1:1 bukanlah filsafat Yunani.  Dari sudut pandang kontekstualisasi, Yohanes memasukkan faham PL tentang “Hikmat Kekal” (Amsal 8:1, 22-23; Wahyu 1:8; 21:6; 22:12) ke dalam konsep lógos Yunani untuk tujuan apologi dan evangelisasi.  Dengan kontekstualisasi ini, Yohanes menangkis faham orang-orang proto-Gnostik yang mengklaim bahwa gnôsis “pengetahuan” tidak dapat menerima sang Pencipta semesta alam yang baka lahir dalam daging yang fana.  Dari sudut pandang missiologi, Yohanes sedang memberikan satu successful contextualization untuk memenangkan mereka yang berkecimpung dengan filsafat Yunani bagi Kristus.  Hasil dari kontekstualisasi Yohanes dalam menerjemahkan Oknum Kedua dari Allah Trinitas yang diperkenalkan lewat kata Lógos tidak menghasilkan Yesus-sinkretistik, tapi Yesus, sang Alfa dan Omega, yang Awal dan Akhir (Wahyu 1:8; 21:6; 22:12; Amsal 8:1, 22-23).

Bukan hanya Yohanes, Paulus juga menggunakan kontekstualisasi dalam menerjemahkan Yesus kepada orang-orang Yunani di kota Athena (Kisah 17:16-24).  Dalam Kisah 17:23, Paulus berkata (Yunani): …heúron kaí bômón en hố epegégrapto agnốstô theô hó oún agnôúntes eusebeíte toúto egố katangéllô humín “…lalu aku menemukan mezbah yang padanya bertuliskan, untuk Allah yang tak dikenal, yang kamu tidak kenal [namun] kamu perlihatkan kesetiaan, Mahluk itulah yang aku mau beritakan kepada kalian.”  Kata penghubung kaí “dan” atau “juga” diterjemahkan sebagai “lalu” karena sintaks narasinya bukan menghubungkan dua entiti, tetapi menunjukkan kontinuasi cerita.  Ini karena mezbah yang Paulus amati adalah satu dari sebásmata (Yunani) [noun accusative neuter plural] yang dilihat Paulus.   sebásmata secara literal berarti “objek-objek penyembahan” bisa merujuk kepada patung-patung dewa-dewi, dll. yang banyak di Athena.  Tapi, dalam konteks ini, kata itu sepertinya merujuk kepada mezbah-mezbah yang Paulus lihat.  Mezbah yang dia amati bertuliskan “…bagi Allah yang tak dikenal…”  Pausanias yang adalah orang Athena, dalam tulisannya, Pausanias 1.1, 4—menceritakan bahwa di Athena ada terdapat mezbah-mezbah, yang padanya terdapat tulisan bômoi theôn agnôstôn “mezbah-mezbah untuk Allah yang tak dikenal.”  Mengapa ada mezbah-mezbah sedemikian?  Salah satu jawaban yang plausible adalah bangsa Yunani merupakan bangsa Politeistik. Mereka memberikan kesempatan pada para penyembah untuk mempersembahkan domba-domba di atas mezbah-mezbah tersebut bagi dewa asing.  Tapi, diceritakan bahwa seorang sastrawan dan ahli filsafat Yunani yang hidup di abad ke 6 BC, Ephimenides, berkata jika seorang mempersembahkan korban kepada dewa asing di mezbah-mezbah tersebut tapi dewa tersebut bukanlah dewa yang tepat, akan timbul murka dari dewa-dewa asli Yunani sehingga si pemberi persembahan bisa dikutuk oleh dewa-dewa itu.  Melihat peluang ini, Paulus menggunakan kesempatan untuk memperkenalkan Tuhan yang Alkitabiah kepada orang-orang penganut filsafat Epikuros dan Stoa di Athena dengan cara memasukkan ciri-ciri dan karakter dari Allah semesta alam kepada “Allah yang tak dikenal” (Alfa dan Omega, jil. 7, hal. 200-01).  Dalam usaha kontekstualisasi tersebut, Paulus tidak menciptakan Yesus-sinkretistik, melainkan sedang berupaya menerjemahkan Yesus kepada orang-orang Athena.

Dalam Lukas 16:19-31, Yesus sendiri menggunakan kontekstualisasi untuk menerangkan ajarannya kepada orang-orang Yahudi.  Cerita yang diangkat Yesus terambil dari mitos orang Yadudi tentang “orang kaya yang (menurut tradisi Vulgata [Alkitab dalam bahasa Latin] bernama Divas) dan orang miskin yang bernama Lazarus.”  Ini adalah mitos orang Yahudi yang menyuarakan “doktrin kebakaan jiwa,” yaitu keadaan jiwa-jiwa yang berada di sheol “neraka” (bandingkan dengan doktrin kebakaan jiwa Katholik, ajaran purgatory “api penyucian”).  The International Critical Commentary, untuk komentar ayat 22 mengindikasikan bahwa mitos Yahudi ini digunakan oleh Yesus untuk mengkontekstualisasikan ajaran Alkitab bahwa seseorang dihukum di neraka berdasarkan perbuatannya yang dilakukan sebelum ia mati (lihat Matius 7:1-2; Wahyu 20:12-13) dan Yesus tidak menggunakan dongeng ini untuk mempromosikan doktrin kebakaan jiwa.  Tidak semua aspek dari mitos Yahudi tersebut mengandung kebenaran; tapi, Yesus menggunakannya.  Yesus tidak membuat satu ajaran yang sinkretistik dengan memasukkan unsur-unsur konsep kebakaan jiwa ke dalam ajaran Alkitab. Melainkan, Ia sedang berusaha untuk menerjemahkan ajaran-Nya agar mudah dimengerti oleh orang Yahudi.

 

Ellen G. White dan Kontekstualisasi

                Dua dari sekian contoh kontekstualisasi dalam tulisan Ellen G. White adalah usaha memperkenalkan kasih Yesus bagi jemaat, anak-anak, dan orang miskin lewat perayaan Hari Natal dan Tahun Baru, serta perayaan Ulang Tahun.  Natal, 25 Desember, tadinya, merupakan pesta adat orang Eropa Barat yang puncaknya adalah Tahun Baru, 1 Januari.  Di wilayah dataran rendah (umumnya daerah Belanda, Belgia, dan Luxemburg), agama kekafiran Politeistik yang di sebut Druidic menganjurkan penyembahan dan pesta-pora untuk memuja dewa-dewi pada tanggal 25 Desember-1 Januari.  Sebelum orang Eropa Barat menerima penanggalan Gregorius, tanggal 1 Januari, sesuai penanggalan mereka, telah diterima sebagai puncak perayaan pesta delapan hari tersebut.  Selama pesta, mereka mengadakan penyembahan serta pesta-pora.  Di Eropa Barat, matahari tidak bersinar dengan cerah pada bulan Desember.  Sekitar jam empat sore, matahari telah terbenam.  Pada tanggal 25 December, penyembahan kepada dewa matahari diadakan agar sang dewa muncul dan bersinar dengan baik pasca musim dingin.  Ada yang mengatakan bahwa yang disembah adalah anak sang dewa matahari, di sebut Tamus dengan lambang T.  Penggunan lilin atau lampu-lampu kecil, saling bertukar hadiah, dan pohon yang digantungi bermacam-macam lambang termasuk lambang T menyemarakkan suasana pemyembahan dan pesta-pora tersebut.  Puncak dari perayaan ini adalah tanggal 1 Januari. Meneruskan ajaran gereja, seorang missionary Kristen, namanya Eligius, mengajak orang-orang Eropa Barat untuk tidak menyembah dewa-dewi kekafiran selama perayaan itu, tidak membuat patung-pantungan wanita dan rusa, lalu menggantikan objek penyembahan dari dewa-dewi kekafiran menjadi Yesus Krisus.  Perayaan kafir itu dikontekstualisasikan menjadi perayaan Kelarihan Yesus.  

                Perayaan Ulang Tahun juga memiliki latar-belakang kekafiran.  Perayaan ini disebarkan di Eropa Barat oleh tentara-tentara Roma.  Prakteknya berasal dari ritual penyembahan Mithras yang dimulai oleh orang Persia.  Yang berulang-tahun, jika dia masih seorang gadis atau jejaka, akan diminta untuk mencium lawan jenisnya.  Jika orang dewasa, akan mencium pasangannya.  Semua ini adalah kebiasaan yang berlatar-belakan kekafiran.  Kue Ulang Tahun merupakan medium di mana lilin akan dipasang.  Ketika nyala lilin itu ditiup, maka segala harapan akan terbawa oleh nyala api yang tertiup dan diharap-kan agar harapan-harapan tersebut dikabulkan oleh dewa api. 

Ellen G. White mengatakan bahwa perayaan Natal (beserta pohon Natalnya) dan Tahun baru serta perayaan Ulang Tahun boleh bagi orang-orang Advent (The Adventist Home, hal. 477-78, 482; Councils on Stewardship, hal. 296).  Pohon Natal tidak dilarang bagi orang Advent selama itu digunakan untuk menggantungkan hadiah untuk membantu gereja, anak-anak, dan orang-orang miksin.  Objek sembahannya, yaitu dewa-dewa kafir, harus diganti dan Yesus ditempatkan pada posisi mereka.  Perayaannya harus sederhana dan bernuansa Alkitab.  Upacara-upacara ini harus dijadikan sarana untuk mengkonteks-tualisasikan kasih Yesus lebih dalam lagi kepada jemaat, anak-anak, dan orang-orang miskin.  Maksudnya adalah untuk menunjukkan bahwa Yesus sangat mencintai mereka.  Perayaan Ulang Tahun juga tidak dilarang selama itu untuk mensyukuri berkat-berkat dari Tuhan dan umur yang Ia tambahkan.  Perayaannya harus sederhana dan diadakan dalam suasana Kekristenan.  Hal ini akan menjadi alat peraga untuk mengerti kasih Yesus.

 

Antara dan Opo Wananatas/Mananatas

Dalam menerjemahkan Yesus kepada masyarakat yang memegang konsep Ketimuran (Konfusianisme, Buddhisme, Hinduisme, Animisme, dll.), perlu ditanyakan apakah kontekstualisasi yang akan dijalankan bersifat Alkitabiah atau sinkretistik.  Jika kontekstualisasi itu dijalankan diatas koridor yang benar, kontekstualisasi tidak akan menelorkan dokmatika sinkretisme atau Yesus-sinkretistik.  Usaha yang diupayakan dalam successful syncretism atau double transformation adalah menggunakan Perjanjian Lama [PL] dan Perjanjian Baru [PB] (Alkitab) di satu sisi dan aspek-aspek budaya di sisi lain untuk tujuan analogis dalam menerjemahkan Kristus agar Dia mudah dimengerti.  Berikut beberapa contoh singkat dan sederhana dari kontekstualisasi:

Untuk menerjemahkan Kristus kepada orang-orang India, Yesus dianalogikan sebagai Avatara.  Avatara hidup di Nirwana (alam para dewa), lalu turun ke dunia, merasakan apa yang manusia rasakan, dan menjadi pengantara, karena dia mencintai mereka.  Sampai di sini, sepertinya ada persamaan antara mitos Avatara dan kehidupan nyata Yesus.  Dalam PB, Yesus turun dari tempat tinggal Ilahi-Nya untuk mengambil tempat manusia yang fana (Filipi 2:5-7), Dia adalah Immanuel (Yesaya 7:14; 8:8; Matius 1:23), dan merasakan apa yang manusia rasakan (Ibrani 4:15).  Di saat menerjemahkan Yesus lewat cerita Avatara, maka akan didapati bahwa kedua tokoh tersebut tidaklah sama—karena Yesus bukanlah Avatara.  Kontekstualisasi ini adalah satu penganalogian untuk memudahkan orang-orang India mengerti bahwa Yesus mencintai mereka juga.  Untuk menghindari sinkretisme, maka aspek yang berada diluar bingkai katholisitas jangan dimasukkan.

Lammin Sanneh, seorang professor missiology dari Yale University, yang tadinya berasal dari Agama Sepupu, mengatakan bahwa bagi masyarakat Animisme yang percaya terhadap faham proto-Ancestor “moyang yang pertama,” isme mereka memberi peluang bagi penterjemahan Yesus. Di Minahasa contohnya, Tuhannya Alkitab disebut Opo Wananatas dalam bahasa lokal.  Kata opo mengandung makna “pemilik,” “penguasa,” “pengatur.”  Dalam konteks Minahasa, ada sebutan opo Lokon, opo Soputan, opo Klabat, dst.  Salah satu sumber menerangkan bahwa masyarakat kuno Minahasa,  yang berasal dari rumpun Mongoloit, adalah penganut faham Animisme dan mempercayai bahwa proto-Ancestor mereka, yang semasa hidup adalah orang-orang yang dihormati, ketika mangkat, menjadi opo yang bersemayam di puncak-puncak gunung di wilayah mereka.  Para proto-Ancestor itu menyebabkan keseimbangan alam, melindungi masyarakat Minahasa yang terkadang dimanifestasikan melalui pemberian kekuatan atau ilmu gaib, dan memberkati keturunan mereka.  Walaupun demikian, masyarakat Minahasa kuno juga telah menyebutkan nama Opo Wananatas/Mananatas, satu entiti yang mereka sendiri tidak kenal dengan jelas.  Kata wana/mana berarti “di” dan [n]atas berarti “atas”—Opo Wananatas/Mananatas berarti Pemilik, Penguasa, Pengatur—yang berada di atas.”  Dari hal lokasi, Opo Wananatas/Mananatas bersemanyam ditempat yang lebih tinggi dari tempat para opo pengunungan.  Dari hal kuasa,  sudah tentu Ia memiliki kuasa yang melebihi kuasa para opo rendahan tadi.  Dalam konsep Animisme Mihanasa, ciri-ciri dan karakter dari Opo Wananatas/Mananatas tersebut belum dikenal dengan jelas.  Dengan kontekstualisasi, kekaburan pengertian akan identitas dari Opo Wananatas/Mananatas menjadi peluang besar bagi Kekristenan untuk mengkontekstualisasikan Tuhan Yesus kepada orang Minahasa.  Caranya adalah dengan memasukkan ciri-ciri dan karakter Kristus ke dalam sebutan yang sudah familiar kepada mereka,  Opo Wananatas/Mananatas. 

 

Kesimpulan

Kontekstualisasi sangat diperlukan dalam penginjilan.  Mengkontekstualisasikan Yesus kepada satu budaya tertentu tidaklah salah selama berada dalam bingkai katholisasi.  Identitas orang Kristen, yaitu Yesus Kristus, tidak akan rusak oleh karena kontekstualisasi.  Tanpa kontekstualisasi, adalah sulit untuk menerjemahkan Yesus dan ajaran-Nya kepada mereka yang belum mendengar apalagi mengenal kebenaran Alkitab.  Implikasi sosial dari kontekstualisasi adalah Kristus merupakan transformator dari budaya non-Alkitabiah kepada budaya yang Alkitabiah.  Motif yang murni haruslah menjadi pendorong bagi seorang Kristen dalam mengkontekstualisasikan Yesus dan ajaran-Nya bagi yang belum mendengar apalagi mengenal Dia. Motivasi untuk mengkontekstualisasikan Yesus adalah Tugas Mulia-Nya (Matius 28:19-20; Kisah 1:8). 

Untuk menghindari sinkretisme, semua bentuk kontekstualisasi harus berada dalam bingkai katholisasi—yaitu, Alkitab!  Prinsip Sola Scriptura harus dijunjung tinggi!  Tulisan Ellen G. White adalah hasil inspirasi Roh Kudus yang dapat menuntun para pelaku kontekstualisasi kepada tindakan yang benar dalam usaha penginjilan. 

 

Himbauan dan Ajakan

Jangan menjadi picik dalam hal kontekstualisasi.  Mari menginjil untuk mempersiapkan jiwa-jiwa bagi kerajaan Allah. 

***


AYUB dan KESETIAAN

 

Pdt. Ted Jones Lauda Woy

 

      Mana yang anda lebih suka, hujan atau panas?  Mungkin jawaban saya dan anda tidak terlalu berbeda jauh; yaitu lebih baik panas dari pada hujan. Yah, jawaban itu sudah menjadi jawaban klasik.

      Ada orang berkata oh disana ada satu tempat yang menyenangkan, diantara pegunungan dan lautan pasifik.  Disana setiap hari mendapatkan cahaya matahari 100%.  Anda dapat melihat badai yang jauh di laut, tetapi cahaya matahari tetap bersinar di tempat itu. Apakah anda ingin tinggal disana? Bagi saya tidak.  Karena tempat itu walaupun bersih tetapi merupakan padang pasir tampa mata air.  Tidak ada yang tumbuh disana.

      Yah, kita meinginkan cuaca yang sempurna.  Kita menginginkan kehidupan yang kesusahan dan tanpa perasaan sakit.  Tapi saudaraku, firman Tuhan melalui Rasul Petrus berkata, “Saudara-saudara yang kekasih, janganlah kamu heran akan nyala api siksaan yang datang kepadamu sebagi ujian, seolah-olah ada sesuatu yang luar biasa terjadi atas kamu.  Sebaliknya, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaanNYa. (1 Pet. 4:12-13)

      Apakah kita pernah merasakan perasaan yang sama seperti Ayub?  Menghadapi kesusahan yang hebat?


Tapi sebelumnya mari kita lihat lebih dekat akan Ayub:


1. Ayub adalah orang yang benar

      Ayub adalah orang yang benar. Kita bisa lihat itu dalam Ayub 1:1, “Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjahui kejahata.”


2. Ayub adalah orang yang kaya

      Ayub adalah kaya dalam hal karakter, kaya dalam hal keuangan.  Memiliki anak-anak yang hebat.  Dia adalah orang yang terkaya dari semua orang di sebelah timur (1:3).


3. Ayub adalah orang yang suka berdoa

      Didalam Ayub 1:5, “Setiap kali, apabila hari-hari pesta telah berlalu, Ayub memanggil mereka, dan menguduskan mereka; keesokan harinya, pagi-pagi, bangunlah Ayub, lalu mempersembahkan korban bakaran sebanyak jumlah mereka sekalian, sebab pikirnya:”mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati.”  Demikianlah dilakukan Ayub senantiasa.” 


      Dia menjadi Imam untuk keluarganya.  Kerohanian keluarga sangat terjaga.

      Hal-hal yang indah ini mendapatkan tantangan di dalam keluarga Ayub.  Peristiwa yang menakutkan menimpa keluarga yang berbahagia ini.  Setan datang dengan ganasnya mau mengalahkan kesetian Ayub kepada Allah.  Dia kehilangan anak-anaknya, dia kehilangan kekayaannya, dan terisolir dari dunia social.

      Tetapi apa hasil dari usaha setan:

1.        Ayub tetap orang benar dihadapan Allah.  Walaupun peristiwa yang menyakitkan dia tidak marah kepada Allah.

2.        Ayub tetap orang kaya.  Walaupun semua kekayaanya hilang tapi semuanya itu terganti melebihi apa yang dia miliki sebelumnya (42:12).

3.        Ayub tetap orang yang suka berdoa. (42:7-10)  Ayub juga mendoakan teman- temannya.  Dan doanya didengar oleh Allah.

      Saudara-saudari ku yang kekasih didalam Yesus Kristus, pengalaman yang dirasakan Ayub mungkin sudah pernah kita alami atau mungkin belum pernah kita alami.  Tetapi yang penting disini adalah apakah kita akan tetap kokoh sama seperti Ayub?  Ketika peristiwa seperti itu menimpa kita.

      Ingat Tuhan Yesus sangat mengasihi kita, Dia menginginkan kita untuk selalu mengandalkan Dia didalam segalah sesuatu. Mari kita berkata sama seperti Rasul Paulus didalam Filipi 4:13, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaKu.”  Ayub sudah menang kita pun pasti menang di dalam Yesus. Amin

 


Asal Mula pekabaran GMAHK Di Sulawesi Tengah

 Dilaporkan oleh : Christian Siwy

Narasumber  : Pdt. Kawet-Pdt District Poso Kota dan Tentena

Diceritakan oleh : Sdr. A. Kolengan


Jauh sebelum Misi Gereja Masehi Advent Hari 7 masuk di Sulawesi Tengah. Zending Protestan Belanda telah menjajaki penginjilan di Sulawesi Tengah. Tahun 1893  Zending Protestant Belanda dari Nederland telah mengirim 2 misionari ke Sulawesi Tengah, bernama Dr, Albert. C. Kruyt dan Dr. N. Andriani untuk mempelajari bahasa dan adat istiadat setempat sebelum memulai penginjilan.  Pemahaman bahasa dan adat istiadat setempat dan pendekatan-pendekatan melalui bahasa daerah dan masyarakat itulah kedua misionari itu menyampaikan injil. Dalam kurun waktu 12 Tahun (1893-1905) sebanyak 180 orang penduduk telah menjadi Kristen di sekitar danau Poso dan Tentena yang kemudian hari menjadi pusat gereja Kristen protestan Sulawesi Tengah (GKST ).  Dengan masuknya agama Kristen di daerah Sulawesi Tengah telah terbuka pandangan baru oleh masyarakat terhadap agama Kristen dan ajaran Alkitab yang kemudian akan diperjelas oleh evangelis literature dari Gereja Masehi Advent Hari 7   melalui buku-buku rohani dan kesehatan.

 

Awal perintisan

                Sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia perintisan pekerjaan Gereja Masehi Advent Hari ke 7  di Sulawesi Tengah dimulai oleh evangelis literature, diantara tahun 1925-1926. Dua orang evangelis literature tersebut bernama R. Rolangon dan M. Malingkas yang baru menyelesaikan pendidikan dari Singapura ( training school ). Mereka datang ke Sulawesi Tengah menjual buku-buku rohani dan majalah kesehatan yang kemudian dikenal dengan majalah Rumah Tangga dan Kesehatan.  Majalah itu tersebar luas di sekitar Poso dimana pekerjaan injil dari gereja protestan telah dimulai sebelumnya. Perintisan melalui buku-buku rohani itu  menjadi jembatan bagi pekabaran injil di Sulawesi Tengah dan sekitarnya sampai ke desa-desa yang jauh dijangkau.

                Sementara itu satu keluarga dari Telap-Minahasa datang ke poso dan menetap di sana yaitu keluarga Ferdinand Rumayar. Keluarga ini datang karena sebelumnya kakaknya yaitu Harmen Rumayar telah berada di Tentena beberapa tahun sebelumnya tapi kakaknya ini belum menjadi anggota Gereja Masehi Advent Hari ketujuh. Di tengah situasi yang tidak bersahabat karena tidak mendapatkan ijin dari pemerintah untuk mengabarkan injil dan membentuk perkumpulan, sSaudara Herman Rumayar tetap mengabarkan injil pada kakaknya sendiri dan kenalan-kenalan lainnya.

                Sebuah kelompok kecil kemudian diadakan dengan menggunakan pondok kecil di kebun milik Herman Rumayar. Setelah belajar sungguh-sungguh anggota kelompok kecil itu minta dibaptiskan tetapi pendeta tidak ada yang bertugas. Karena situasi yang tidak memungkinan, surat permohonan ke Tondano di Sulawesi Utara di kirim oleh Ferdinand Rumayar untuk memohon kesediaan pendeta membaptiskan orang–orang yang telah diajar itu.

                Perang dunia ke II yang pecah di Eropa berakibat besar ke jajahan Hindia Belanda atau Indonesia sehingga tidak ada seorang pun pendeta yang siap dikirim ke poso dan baptisan pun harus tertunda. Dalam suasana yang sulit itu, Jepang pun mendarat di Minahasa bulan Januari 1942 dan menawan beberapa misionari.

                Pdt D.S Kime seorang yang berkebangsaan Amerika yang menjadi ketua daerah Sulawesi Utara melarikan diri melalui jalan darat berjalan kaki bersama F. Mandolang dan tiba di poso-Tentena hari Jumat 17 January 1942. Kedatangan Pdt. D.S Kime di Poso-Tentena merupakan kesukaan bagi orang-orang yang menantikan baptisan yang telah lama rindu untuk di baptiskan Di antara beberapa baptisan ada Kel. Kolengen dan istri dan semuanya berjumlah 12 orang yang dibaptiskan oleh Pdt. D.S Kime tanggal 18 January 1942.

                Meskipun dalam suasana genting dan keadaan tidak aman, pada sore harinya mereka mengadakan perjamuan kudus sebelum meninggalkan Poso/Tentena dengan mobil yang sudah di persiapkan dan telah menunggu yang akan membawa rombongan Pdt. D.S. Kime ke Makassar dan seterusnya akan naik pesawat ke Bandung bersama Pdt. W.R. Holley dan keluarga kemudian ke Cilacap dimana sebuah kapal sedang menunggu.

 

 

Terbentuknya Kumpulan

                Perpindahan anggota jemaat dari Minahasa ke Sulawesi Tengah dengan sendirinya terbentuk kelompok-kelompok kecil yang  menjadi cikal bakal terbentuknya jemaat-jemaat di wilayah Sulawesi Tengah. Kelompok-kelompok kecil itu bertambah besar keanggotanya dan kemudian menjadi satu Jemaat yang diorganisir (terbentuknya jemaat-jemaat akan di bahas kemudian).

                Sejak Tahun 1948 kesempatan menjadi semakin luas mengabarkan injil di Sulawesi Tengah, Kebaktian Kebangunan Rohani yang dilakukan oleh; Pdt. A. Sakul, Pdt. A. Londa, Guru Injil Tirayoh Pdt. R. S. Rantung dan Guru injil Lie Sun. Goam di Tentena telah membawa lebih banyak orang kedalam lingkungan GMAHK di Sulawesi Tengah sehingga perkumpulan baru makin banyak yang terbentuk.***


Pendidikan Advent : Masih adakah semangat mula-mula itu ?

 

Yoshen Danun

Berbicara mengenai dunia pendidikan Advent, hal tersebut tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Gereja Advent dan pertumbuhannya.   Sebenarnya Sekolah Dasar  sudah disuarakan mulai dari era tahun 1850an – 1860an. Pada tahun 1853 seorang wanita muda bernama Martha Bryington yang baru berusia 19 tahun yang tinggal di Bucks Bridge, New York sangat tertarik dengan pekerjaan Pendidikan.  Ia kemudian mendirikan sebuah Sekolah di rumahnya dengan 17 murid, dibantu oleh Lucinda Paine dan John Fletcher Byington.  Tahun 1857 Louisa M.  Morton membuka sekolah lagi di Battle Creek, tetapi hanya berdiri selama satu tahun. Tahun 1860 sekolah itu dibuka kembali oleh John Fletcher, namun ditutup kembali karena Fletcher melanjutkan pendidikannya dibidang kedokteran. 


Tahun 1960 E.G. White memberikan perhatian khusus kepada pendidikan karena dibutuhkan pekerja-pekerja Injil untuk ladang yang masih luas. Pada bulan Juni 1872 sebuah sekolah telah dimulai di Battle Creek, Michigan di bawah asuhan Goodloe Harper Bell di sebuah rumah kayu kecil. [1].  Sejak itu berkembang dari tahun ke tahun sampai sekarang Gereja Masehi Advent Ketujuh telah  mengoperasikan 7.200 sekolah, Perguruan Tinggi dan Universitas dengan jumlah siswa dan mahasiswa 1.400.000 dan diajar oleh 75.000 guru, tersebar di lebih dari 145 negara.  Dengan jumlah tersebut, Gereja Masehi Advent Ketujuh menjadi pengelola sekolah dan universitas terbesar kedua setelah Gereja Roma Katolik di seluruh dunia. Program Pendidikan Advent  adalah menyeluruh (comprehensive), mencakup “mental, fisik, sosial dan rohani” dengan” pertumbuhan intelektual dan pelayanan kepada sesama manusia” yang merupakan tujuan pendidikannya [2]

 

Sejarah Pendidikan Advent di  Indonesia

Pekabaran Gereja Advent masuk ke Indonesia pada tahun 1834 oleh dua misionari yaitu Henry Lyman dan Samuel Munson, yang kemudian mati sahid dalam perjalanan ke Tanah Batak, kemudian menjadi tonggak sejarah masuknya pekabaran Advent ke Indonesia, yang kemudian berkembang dengan didirikannya gereja di beberapa tempat, juga sekolah-sekolah dan Lembaga Pendidikan Advent lainya atas kerinduan para pemimpin gereja pada waktu itu.

 

Setelah sekian puluh tahun meninggalnya dua misionari di Tanah Batak tersebut, maka pada tahun 1899 seorang Pendeta Metodis (yang menerima kebenaran Gereja Advent saat dirawat di RS Advent Battle Creek), memilih menjadi misionari ke Indonesia walaupun dengan biaya sendiri.  Saat  tiba di Padang pada tahun 1900 langsung membeli tanah dengan dua rumah diatas tanah yang dibelinya.  Munson kemudian mendirikan Sekolah Bahasa Inggris dengan 53 murid pertamanya, dengan penghasilan dari sekolah inilah mereka hidup dan membiayai penginjilan.  Walaupun menghadapi banyak tantangan dari pemerintah Belanda, namun semangat misionari berkobar terus sehingga pekabaran Advent meluas ke seluruh nusantara beberapa puluh tahun kemudian. [3].

 

Sekolah Advent pertama di Indonesia Timur

Seorang pemuda bernama Samuel Rantung, yang masih menjadi guru di Singapura kembali ke kampungnya di Lowu, Ratahan pada tahun 1921, untuk beristirahat karena menderita penyakit.  Walaupun kondisi kesehatannya tidak prima, tapi semangat untuk menyampaikan kebenaran yang sudah diyakininya kepada kaum keluarganya tidak terbendung lagi.  Dari malam ke malam Samuel Rantung mengajarkan Alkitab di rumahnya dan itu berlangsung selama 3 bulan.  Samuel Rantung kemudian kembali ke Singapura untuk melanjutkan pekerjaannya dan meninggalkan kaum keluarganya yang haus akan Firman Tuhan.  Dari Singapura, Samuel Rantung kemudian pergi ke Garut, dan terus ke kampung halamannya di Lowu bersama istri dan seorang anak muda bernama Minan Direja.  Pada 30 Desemer 1921, sebanyak 22 orang penduduk desa Lowu dibaptiskan menjadi Advent oleh Pdt. F. A. Detamore, Ketua Uni Malaysia.  Besoknya pada tanggal 31 Desember 1921 diorganisirlah jemaat pertama di Sulawesi dengan 25 orang anggota, yang terdiri dari 22 orang yang baru dibaptis ditambah Samuel Rantung dan istri, serta guru Injil Minan Direja.  Inilah Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh yang pertama di Indonesia kawasan Timur

 

Dengan iman dari para anggota yang telah menerima kebenaran Sabat, maka dimulai pulalah pengalaman penderitaan mereka.  Mereka diejek, dipersulit di sekolah dan tidak sedikit yang dicambuk setiap hari Senin karena tidak masuk pada hari Sabtu, namun iman mereka tidak luntur, karena mereka lebih takut kepada Allah daripada kepada manusia.  Karena perlakuan yang tidak adil itu, dan adanya perintah dari Pemerintah Hindia Belanda bahwa setiap murid yang absen pada hari Sabtu harus dihukum, hal ini mendorong para anggota gereja untuk membuka sekolah sendiri agar membebaskan mereka untuk tidak bersekolah pada hari Sabtu (sekolah 5 hari).  Di bawah kepemimpinan Pdt. Albert Munson, maka sebuah sekolah diijinkan dibuka di Lowu, Ratahan dengan guru pertama adalah Sarah Takapente, seorang guru berijazah Normal School dari Amurang.  Sebanyak 25 orang anak anggota jemaat terdaftar sebagai murid kelas 1 – 3.  Lefran Pasuhuk dari Lowu membantu Sarah Takapente memulai pekerjaan itu. Demikian seterusnya sehingga sekolah ini berjalan dengan silih berganti personil dalam kepemimpinan, dan kemudian berkembang lagi dengan berdirinya sekolah-sekolah gereja di tempat lain beberapa tahun kemudian. [4].  Pada tanggal 16 Agustus 1948 resmilah dibuka North Celebes Training School di Jalan Tompaso II, Minahasa.  NCTS sempat ditutup pada masa pemberontakan Permesta, dan dibuka kembali pada tahun 1962 sekaligus berubah nama menjadi North Sulawesi Academy (Sekolah Lanjutan Advent Tompaso). Setelah itu  Sekolah-sekolah berasrama kemudian mulai berdiri antara lain SLA Doyobaru-Irian, SLA Mebali-Toraja, SLA Waimame-Ambon dan beberapa sekolah gereja lain di berbagai tempat di Indonesia.

 

Dari sekolah sekolah inilah dihasilkan pekerja-pekerja Injil yang ulet sehingga pekerjaan Tuhan di Indonesia Kawasan Timur semakin berkembang.  Selain pekerja-pekerja Injil, juga pekerja-pekerja di dunia bisnis, yang juga merupakan kontributor pekerjaan Tuhan melalui perpuluhan dan persembahan mereka.

 

Masih menyalakah obor itu?

Sekolah yang mula-mula diajar oleh guru-guru yang penuh pengabdian.  Tidak sedikit mereka tidak mendapat gaji yang pasti.  Kalau ada uang dibayar, kalau tidak ada ya sabar.  Istilah populernya "guru damai-damai".  Walaupun dibayar dengan damai-damai, tetapi semangat mereka tidak pernah surut, sampai anak didik di bawah asuhan mereka berhasil.  Itu terbukti, dengan begitu banyaknya lulusan sekolah-sekolah Advent yang berkarya di pekerjaan Tuhan (Mission) dan juga di luar mission.  Mereka-mereka inilah yang menjadi kontributor gereja.

 

Sejalan dengan berkembangnya perekonomian di Indonesia, dan kesempatan untuk menjadi guru terbuka luas, maka pilihan menjadi guru di Sekolah Advent mulai surut.  Bahkan Fakultas Keguruan  di Universitas Advent sangat sedikit diminati mahasiswa.  Selain itu jurusan guru sangat terbatas di Universitas Advent.  Karena persoalan hari Sabat bukan lagi jadi penghalang di Perguruan Tinggi Negri (PTN) sekarang ini, maka pilihan orang Advent untuk menjadi guru jatuh pada PTN.  Untunglah lulusan PTN  sebagian besar masih memiliki jiwa pengabdian di mission sehingga beberapa lulusan PTN masih mau mengajar di sekolah Advent.  Oleh karena itu obor ini masih tetap menyala.

 

Sekolah Advent menjadi pilihan kedua

Indonesia yang berkembang perekonomiannya di era tahun 80-90an, menjadikan banyak dari anggota Advent menikmati penghasilan diatas rata-rata.  Saat yang sama terbuka juga sekolah-sekolah modern dengan fasilitas lengkap dan berbahasa Inggris, hal ini menyebabkan sebagian anggota yang sudah mapan ekonominya memilih mendaftarkan anak-anak mereka di sekolah modern tersebut.  Belum lagi yang langsung mengirim anaknya ke luar negeri. Sehingga yang tinggal terdaftar di sekolah Advent  adalah mereka yang pada umumnya berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah, sehingga persoalan dana operasional tetap menjadi kendala di sekolah-sekolah Advent.  Inilah yang menjadi tantangan bagi organisasi gereja dan para pengelola sekolah (Dewan Sekolah). Mereka harus kreatif dan bahkan mungkin inovatif untuk menjadikan sekolah Advent mejadi sekolah berprestasi dan semakin bermutu dalam kualitas sehingga menjadi pilihan utama seluruh anggota gereja.

 

Support Mission (Daerah) / Confrence (Konferens)

Diakui memang bahwa Mission / Confrence tidak tinggal diam melihat perkembangan sekolah-sekolah Advent.  Hanya memang masih belum optimal menurut kacamata penulis (kecuali itu Boarding School).  Tapi sekolah gereja (Church School) kebanyakan dilepaskan ke gereja dan Dewan Sekolah.  Sehingga tidak sedikit sekolah gereja dibuat hanya untuk meciptakan lapangan kerja yang sebenarnya secara finansial belum mampu.  Ujung-ujungnya digaji lagi dengan ‘damai-damai’, dan hasil lulusannya tentulah damai-damai juga.

 

Hal yang kurang mendapat dukungan dari organisasi Gereja adalah, terutama dari tingkat "mentri" (Direktur Pendidikan Uni).  Seperti kita ketahui bahwa tahun ajaran ini SD dengan UASBS+UAS ada yang jatuh pada hari Sabat.  Penulis sangat menyesali kejadian yang terulang kembali tentang  kesulitan izin untuk pelaksanaan yang jatuh pada Hari Sabat itu.  Jika sekiranya para petinggi kita datang mengadakan kunjungan (silahturahmi) kepada pemerintah dalam hal ini Mentri Pendidikan dan jajarannya, terutama pada saat penggantian mentri, selain berkenalan juga sekaligus menyampaikan keyakinan kita tentang pemeliharaan hari Sabat sebagai salah satu dari butir ‘Iman’ kita, maka kasus ujian yang dilaksanakan pada hari Sabtu tidak akan membuat Kepala Sekolah bekerja keras dalam pengurusan untuk meminta dispensasi dengan menggantinya dengan hari lain.  Untunglah sekolah di mana penulis menjadi salah seorang pengurus Dewan Sekolah telah mendapatkan dispensasi tersebut, walaupun sebelumnya ditolak.  Di sinilah doa itu sangat berperan.  Semoga dikemudian hari, sebelum UAN/UAS dilakukan, petinggi kita dari 2 Uni sudah lebih dahulu berinisiatif menghadap Menteri Pendidikan dan  jajarannya untuk menyampaikan permohonan agar UAN/UAS tidak jatuh lagi pada hari Sabat.

 


Referensi:

1.         E. H. Tambunan, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Indonesia, Perintisan dan Pengembangannya, 1999. IPH Bandung, hal. 401-404

2.        http://en.wikipedia.org/wiki/Seventh-day_Adventist_Church#Education

3.        E. H. Tambunan, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Indonesia, Perintisan dan Pengembangannya, 1999. IPH Bandung, hal. 94-97

4.        Nyalakanlah Obormu, Buku Kenangan Menyambut Konvensi Guru Nasional I, Dua Uni 1996, hal. 225

.


Tes Kesehatan yang Penting bagi Wanita

 

dr. Marthin Walean, SpOG

Spesialis Kebidanan dan Penyakit Kandungan


Banyak wanita yang menemukan dirinya mengidap penyakit pada organ kewanitaan mereka. Penyakit tersebut bervariasi dari yang ringan sampai berat dan dapat dideteksi secara dini. Bila dapat dideteksi secara dini banyak hal yang dapat dilakukan untuk kelangsungan hidup. Yang sangat disesalkan penyakit yang ditemukan pada wanita tersebut sangat sering sudah pada stadium lanjut.

 

Mencegah lebih baik daripada mengobati. Penyakit seberat apapun dapat dihindari dengan pencegahan sejak dini, termasuk penyakit khas wanita. Penyakit-penyakit ini perlu diwaspadai karena kerap berujung pada kematian.

 

Namun wanita  perlu mengetahui waktu yang paling tepat untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Tes kesehatan yang dilakukan pada saat yang tidak tepat akan menunjukkan hasil yang tidak memuaskan. Dalam hal ini, pemeriksaan dini akan selalu lebih baik.

 

 

 


1. PAP’S SMEAR

Pada tahun 1928 Dr. George Papanicolaou, dokter yang pertama kali menganjurkan suatu sistem pemeriksaan dini kanker leher rahim, menemukan cara yang mudah dan efektif untuk mendeteksi kanker melalui pemeriksaan lendir atau getah di dinding vagina. Pemeriksaan ini disebut pap’s smear.

 

Sebenarnya pemeriksaan pap’s smear sangat mudah dan tidak menimbulkan rasa sakit, prosesnyapun hanya berlangsung beberapa menit, dan dalam waktu satu minggu hasilnya sudah dapat diketahui. Tidak hanya itu, pemeriksaan pap’s smear relatif murah dibandingkan dengan pendeteksian kanker lain. Namun meski sangat besar manfaatnya, banyak wanita yang tidak pernah melakukan pemeriksaan ini.

 

Setiap wanita yang sudah pernah berhubungan intim seharusnya melakukan pemeriksaan pap’s smear  secara berkala, dianjurkan setahun sekali. Namun, bagi wanita yang berisiko tinggi terkena kanker leher rahim, sebaiknya melakukannya setiap enam bulan. Yang tergolong kelompok tersebut meliputi wanita yang mengidap penyakit menular seksual (misalnya: gonorrhoea, syphilis, chlamydia), human papiloma virus, adanya riwayat keluarga yang terkena kanker, memulai hubungan seks di usia kurang dari 20 tahun, perokok, atau yang melakukan hubungan intim dengan lebih dari satu pasangan, menggunakan pil KB atau IUD dalam jangka waktu lama dan wanita yang lahir dari ibu yang sering mengkonsumsi alkohol saat mengandung.

 

Untuk melakukan pemeriksaan pap’s smear, anda perlu melakukannya disaat yang tepat, dan dengan persiapan khusus. Hindari penggunaan antiseptik vagina sebelum pemeriksaan. Sssstt….dokter sudah terbiasa dengan organ intim ini, oleh karena itu anda tidak perlu malu. Selain itu, jangan melakukan hubungan intim setidaknya 3 hari sebelum pemeriksaan, karena dapat mengaburkan hasil pemeriksaan.

 

Dari hasil pap’s smear  dapat diketahui ada tidaknya sel-sel yang tidak normal. Jika ada, anda akan diminta melakukan pemeriksaan ulangan atau pemeriksaan lanjutan dengan kolposkopi (alat seperti mikroskop yang bisa diatur pembesaran dan cahayanya untuk melihat mulut rahim). Kolposkopi digunakan untuk mengetahui hal yang lebih pasti. Jika terdapat infeksi maka dilakukan perawatan agar tidak menjadi parah.

 

Saat ini pelayanan pemeriksaan pap”s smear dapat dilakukan di berbagai rumah sakit, bahkan di kota kecil sekalipun. Oleh karena itu jangan tunda lagi, segera lakukan pemeriksaan pap’s smear dan anda akan selamat dari kanker leher rahim yang mematikan.

 

 

2.  MAMOGRAFI

Mamografi merupakan suatu pemeriksaan yang dapat menemukan adanya kanker atau kelainan payudara. Di Indonesia kanker payudara menduduki urutan kedua terbanyak penyebab kematian pada wanita sesudah kanker leher rahim. Biasanya kanker payudara terjadi di atas usia 30 tahun dan terbanyak di usia 45 tahun ke atas.

 

Lebih dari 80% kanker payudara ditemukan secara tidak sengaja oleh penderita sendiri atau pada waktu  berkunjung ke dokter. Namun biasanya sudah pada tahap  yang lebih parah. Dengan pemeriksaan mamografi, anda dapat mengetahui kelainan ini di fase yang lebih awal.

 

Pemeriksaan mamografi menggunakan sinar roentgen dosis rendah untuk melihat bagian dalam payudara. Alatnya berupa foto roentgen  yang dimodifikasi sehingga bisa diperoleh gambaran jaringan payudara pada foto roentgen. Anda tidak perlu khawatir saat melakukan pemeriksaan ini karena tidak akan menimbulkan rasa sakit. Juga tidak perlu cemas akan timbul kanker akibat radiasi yang diakibatkan pemeriksaan ini. Saat ini, mamografi modern berhasil menekan jumlah radiasi, sehingga lebih aman.

 

The American Cancer Society merekomendasikan wanita usia 35 - 49 tahun sebaiknya melakukan pemeriksaan setiap 2 tahun, sementara wanita 50 tahun keatas, sebaiknya melakukan pemeriksaan setahun sekali.

 

Ada beberapa kelainan pada payudara yang perlu diwaspadai sebagai tanda kemungkinan kanker payudara. Kelainan yang mungkin terjadi, seperti benjolan di payudara yang terasa sakit atau tidak, keluarnya cairan dari putting susu, puting susu yang tertarik ke dalam, rasa sakit di payudara yang terus menerus, payudara mengeluarkan cairan (nanah atau darah), kelainan kulit di atas payudara yang menahun, atau ada sejarah kanker payudara dalam anggota keluarga (nenek, ibu, tante, atau saudara kandung).

 

Untuk melakukan pemeriksaan mamografi, anda tidak perlu persiapan diri secara khusus. Sebaiknya mamografi dilakukan saat tidak dalam masa menyusui. Hal ini karena saat menyusui terjadi pembesaran kelenjar susu sehingga akan mengaburkan pemeriksaan. Jika dilakukan pada saat yang benar, ketepatan pemeriksaan ini dapat mencapai 90-94 persen. Pemeriksaan mamografi juga dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan USG. Ketepatan hasilnya akan lebih baik, yaitu sekitar 98%.

 

3.  USG

 

Tentunya anda yang sudah pernah hamil tidak asing lagi dengan pemeriksaan USG (ultrasonografi). Pemeriksaan ini biasa digunakan untuk memeriksa adanya kehamilan, detak jantung janin, usia janin, berat badan janin, kelainan bawaan janin, keadaan cairan ketuban dan plasenta, hamil anggur, kehamilan diluar rahim dan banyak lagi tentang kehamilan.

 

Sebenarnya pemeriksaan USG tidak hanya diperlukan wanita hamil. Semua wanita dapat menggunakan alat pemeriksaan ini jika dianggap perlu. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan ukuran dan obyek padat tersembunyi melalui gelombang bunyi berfrekuensi tinggi yang tidak terdengar telinga orang dewasa. Gelombang bunyi dipantulkan dari obyek, menghasilkan echo, kemudian berubah menjadi citra pada layar monitor.

 

Dengan pemeriksaan ini dapat juga dideteksi adanya kelainan, seperti kista, mioma, atau tumor lainnya. Prosedur pemeriksaan USG cukup sederhana, anda tinggal berbaring dan dokter kandungan akan menempelkan alat pemeriksa USG di bagian tertentu. Biasanya di bagian perut atau melalui vagina (trans vaginal).

 

Tidak seperti pemeriksaan lain, hasil pemeriksaan USG dapat dilihat langsung pada saat itu juga. Anda dapat menanyakan hasilnya pada  dokter sementara dokter melakukan pemeriksaan. Biasanya dokter akan menunjukkan  hasil yang tergambar di layar monitor.

 

Pemeriksaan USG sangat baik dilakukan, terutama jika anda merasakan keluhan yang tidak biasa di sekitar perut. Mungkin keluhan ini menunjukkan  adanya kelainan pada alat reproduksi atau perut anda. Namun banyak dokter yang menganjurkan pemeriksaan ini dilakukan terutama jika anda memasuki usia 35 tahun meskipun tidak merasakan keluhan yang berarti. Lakukan dengan interval pemeriksaan satu tahun sekali. ***