NABAL: “WHO IS DAVID?” ABIGAIL: DAVID IS...: SEBUAH PARADOKS
MORAL ANTARA NABAL DAN ABIGAIL
Oleh : Pdt. Dr. Blasius Abin
|
Pertanyaan Nabal
Pertanyaan Nabal
kepada utusan Daud “Who is David?” (1 Sam. 25:10). Pertanyaan
untuk pertanyaan ini adalah: Sekalipun Nabal belum mengenal Daud, apakah Nabal
sama sekali tidak mengetahui siapa Daud?
Dalam literal konteks yang lebih luas, superioritas Daud sebagai pahlawan
sampai 1 Samual 25 sudah dikenal oleh Israel sejak dia diurapi sabagai raja
oleh Samuel, lebih tepat sejak Roh Allah meninggalkan Saul dan memilih tinggal
dalam Daud (1 Sam. 16:13, 14; cf. 10:9).
Spirit heroik Daud dalam mengalahkan Goliat (1 Sam. 17:1-58) tidak hanya dicatat sebagai permulaan dari
klimaks pelayanannya tapi juga menandai eksistensi siapa Daud di hadapan Israel
dan Filistin, ia berkata keapda Goliat: “I come to you in the name of the
Lord of hosts, the God of the armies of Israel” (1 Sam. 17:45).
Jadi jika benar
Nabal sama sekali tidak mengetahui “Who is David” maka ia satu-satunya orang
Israel tidak hanya hidup dalam lingkungan bisnis yang sempit: antara Maon
dan Carmel sebagai bisnis man (1 Sam. 25:2), tetapi juga ia tidak mengikuti
sejarah keselamatan yang dibuat Allah untuk Israel melalui orang pilihanNya
pada era tersebut. Tapi apakah asumsi ini benar? Diagnosa 1 Sam. 25 memberikan
sudut pandang yang lain. Reportasi yang dibuat oleh hamba dari Nabal dalam 1
Sam. 25:15-17 menegaskan bahwa mereka mengenal Daud dengan deskripsi: “the
men were very good to us” (vs. 15 NAS); “they were a wall to us
both by night and by day” (vs. 16 NAS). Bahkan istrinya, Abigail
mengetahui siapa Daud, ketika ia pergi menemui Daud, Abigail meringkas cerita
dalam pasal 24 tentang karakter Daud “since the Lord has restrained you from
shedding blood, and from avenging yourself by your own hand, now then let your
enemies and those who seek evil against my lord, be as Nabal.” (vs. 26).
Jadi Nabal
mengetahui siapa Daud, pertanyaan Nabal: Who is David
dilanjutkan dengan pertanyaan kedua “who is the son of Jesse?”
(vs. 10). Pertanyaan yang kedua, tentang Jesse, ayah Daud, disebutkan oleh Nabal dalam ayat 10, tetapi
tidak diperkenalkan oleh utusan Daud pada ayat 6-8, artinya jika Nabal
mengetahui siapa Jesse, ia juga mengetahui asal-usul Daud. Dalam konteks ini
Nabal menekankan asal-usul dan strata sosial seseorang sebagai dasar untuk
membangun apresiasi dan penghormatan: “Shall I take my bread and my water
and my meat...and give it to men whose origin I do not know.”?
(vs.11). Sampai pada level ini, pranata
sosial yang dibangun oleh Nabal bertentangan dengan moralitas Abraham yang
menerima orang asing datang ke rumahnya (Kejadian 18), kata-kata seperti bread,
water dan meat dalam 1 Sam. 25: 11, disebutkan ketika Abraham
menjamu orang asing “water..wash your feed, bread..refresh
yourselves, (meat of) calf.” (Kej. 18:4-7). Ekspresi verbal yang
ironi dari Nabal adalah ia mengetahui Jesse, ayah dari Daud tapi ia tidak
mengetahui asal-usul Daud, ini menegaskan bahwa problem utama dari Nabal tidak
terletak pada ia mengetahui atau tidak mengetahui siapa Daud. Pertanyaan “who
is David” lebih dari sekedar pertanyaan retorik atau keingintahuan
Nabal. Pertanyaan itu lahir dari presuposisi moral yang mengalami regresi sejak
penciptaan.
Nabal dan Problem
Moral
Cerita Nabal dalam 1
Samuel 25 dimulai dengan informasi tentang kematian Samuel (vs. 1), dan
dilanjutkan dengan daftar kekayaan Nabal sebagai salah satu orang terkaya pada
zaman itu (vs. 2). Penting untuk diketahui ayat 2 dan 3 sang narator membuat
dua daftar parallel dengan penekanan yang berbeda: daftar kekayaan dan
daftar kebaikan karakter (vss. 2, 3. Dalam komunitas dengan menerapkan
sistem paternalistik, maka kekayaan yang didaftar adalah milik Nabal sebagai
tuan: the man was very rich, and he had three thousand sheep and
a thousand goats.” (vs. 2). Daftar kebaikan karakter adalah
milik Abigail istrinya: “The woman was intelligent and beautiful
in appearance” (vs. 3). Terjemahan literal bahasa Ibrani lebih
tepat untuk mengerti kualitas moral Abigail, sebagai berikut: “The woman
is good in intelligent, in beautiful, and in appearance.” Kata
sifat tov dalam bahasa
Ibrani (“good”) digunakan dalam minggu penciptaan untuk
menegaskan kualitas dan sifat dari substansi ciptaan Allah (cf. Kej. 1:4, 12,
18), dan ketika manusia diciptakan, Allah memberikan label kualitas karakter
dalam bentuk superlatif “it was very good” (Kej. 1:31 NAS).
Karakter Abigail mencirikan originalitas dari karakter sejak penciptaan.
Daftar Kekayaan Nabal dan
Abigail |
|
Nabal (vs. 2) |
Abigail (vs. 3) |
He had
three thousand sheep |
The woman was
good in inteligent |
He had a
thousand goats |
The woman was
good in beautiful And was
good in appearance |
Klausa yang kedua
pada ayat 3, narator mengungkapkan karakter kontrast dari Nabal: “but the
men was harsh and evil in his dealing and he was a Calebite.” Pembaca
bahasa Indonesia dan Inggris hanya melihat secara literal tentang aktivitas
eksternal dari Nabal: “kasar dan jahat perbuatannya.” Informasi dari
frase ini hanya bisa dimengerti dari sumber problematik yang sesungguhnya pada
frase yang terakhir dalam bahasa Ibrani: wehu kelibu kalibi terjemahan dalam semua
bahasa Inggris “he was a Calebite.” Kata “lev” dalam kelibu
diterjemakan “hati” atau “pikiran,” “inner man.” Abigail dalam permohonanya
kepada Daud, ia membuat deskripsi tentang Nabal “Nabal is his name
and folly is with him” (vs. 25).
Nama “Nabal” berarti “foolish one,” (cf. Prov. 17:21, 25)
selalu dihubungkan dengan kebodohan spiritual,
moral, dan intelektual. Dari konteks spiritual, jika hal ini terjadi akan
mengakibatkan defisiensi mental. Efek yang lebih luas adalah relasi yang
inharmoni dengan komunitas atau lingkungan. Kata nebala sinonim
dengan nabal yang digunakan sebagai label untuk aktivitas sexual
di luar nikah, dan istilah yang sama
digunakan dalam cerita tentang Dinah (Kej. 34:7; cf. Hak. 19:23; 20:6, 10; Deut. 22:21); dan
cerita tentang Ammon dan Tamar (2 Sam. 13:12, 13). Nabal tidak termasuk dalam
kategori ini, tetapi Nebala dalam perspektif yang lain yakni “breaking
the custom.” Teks berkata:
a) Ayat 7: “now your shepherds have been with us and we
have not insulted them, nor have they missed anything all
the days they were in Carmel (Perlindungan harta milik Nabal oleh Daud)
b)
Ayat 8, cf. 21: “therefore let my young men find
favor in your eyes, for we have come on festive day. Please give
whatever you find at hand to your servants and to your san David.”
(Jasa yang harus dibayar oleh Nabal).
Menurut adat dan
kebiasaan jaman itu, Daud layak mendapatkan bayaran untuk perlindungn terhadap
harta milik Nabal (vs. 7), tetapi ia menolak untuk membayar (vs. 8). Penolakan
Nabal adalah refleksi dari nebala (baca “kebebalan” atau “kebodohan”). Jadi “nabal” atau “nebala”
dalam konteks ini lebih dari sekedar tidak mengenal Allah tapi seorang yang
menolak Allah. Ekspresi penolakan Nabal membawa efek negatif terhadap tindakan
dan respon verbal dalam kehidupan praktis. Pertanyaan retorik dari Nabal “who
is David” (vs. 10) lebih dari sekedar
keingintahuan Nabal tentang asal-usul Daud. Daud dipilih dan diurapi
Allah, menggantikan Sual. Sekalipun secara de facto Saul masih berkuasa, tetapi
pengurapan Daud oleh Allah telah menjadi rumor yang besar di antara orang
Israel. Nabal tidak hanya menolak pengurapan Daud tetapi juga menolak Allah
yang mengurapi Daud. Konsekuensi tragis dari penolakannya adalah penghukuman
dan pembinasaan (cf. vss. 13, 22).
Moralitas Abigail
dan Peran Mediasi
Integritas moral
Abigail diungkapkan oleh dua sumber, orang lain dan ekspresi verbal serta
aktivitas dari Abigail. Sumber eksternal adalah sang narator dalam cerita, dan
Daud yang diurapi Allah.
§ Narator: The woman is good in intelligent, in beautiful, and in appearance (vs.3).
§ Daud: “blessed be the Lord God of Israel, who sent you this day to meet me” (vs.32).
§ Daud: “blessed be your discernment, and blessed be you, who have kept this day from bloodshed and from avenging myself by my own hand” (vs. 33; cf. vs, 26).
Kata benda abstrak ta’am
(“discernment”/“kecerdasan”) adalah kata kunci yang digunakan oleh Daud untuk
menggambarkan konsistensi karakter moral dari Abigail. Ia memiliki kecerdasan
spiritual, kecerdasan persepsi, dan kecerdasan hati nurani. Kualitas ini,
menurut Daud (vss. 26, 33), adalah kualitas atribut yang mendorong Allah
mengutus Abigail mencegah Daud untuk membunuh (vs. 33). Pada level ini kita dapat membangun asumsi
dasar yang ideal bahwa utusan Allah memiliki karakter Allah, itu dimiliki oleh
Abigail.
Tindakan dan
ungkapan verbal Abigail juga menunjukan kecerdasan moral dan spiritual. Kata
kerja “alah”(to go up)
dan “salah” (to sent) pada ayat 5 menggambarkan
Daud dan utusannya datang kepada Nabal dengan maksud baik. Tapi penolakan Nabal
yang membuat Daud “alah” (went up) pada ayat 13 untuk menumpahkan
darah Nabal. Secara moral apa yang dilakukan oleh Nabal melawan hukum, tapi
maksud dari Daud untuk membunuh Nabal juga bertentangan dengan hukum.
Satu-satunya
instrument yang digunakan oleh Allah untuk menangani masalah serius ini adalah
Abigail. Bagimana Abigail menyelesaikan masalah ini dicatat dalam 1 Sam 15:19,
20, 36,
§ “she did not tell her husband” (vs. 19).
§ “she met them [Daud and pasukannya] (vs. 20).
§ “then Abigail came to Nabal” (vs. 36).
Lalulintas aktivitas
dari Abigail adalah menemui Daud dan menemui Nabal. Daud ingin menemui Nabal
tapi justru bertemu dengan Abigail. Dalam lalulintas aktivitas ini Nabal berada
pada posisi pasif, tidak pernah keluar dari tempatnya untuk bertemu dengan Daud
atau pergi untuk menemui Abigail, sekali lagi ini adalah bukti dari
kebodohannya, apa yang ia buat adalah ciri dari arogansi dan kebodohan:
“he was
holding the feast in his house, like the feast of a king and Nabal’s
heart was merry with him, for he was very drunk” (vs. 36). Daud
dan Abigail yang pergi bertemu dengan Nabal. Tapi maksud Daud cacat karena
melanggar hukum “jangan membunuh.”
Peran intersesi dan
mediasi Abigail adalah produk dari kebaikan dan kecerdasan rohani yang dibangun
oleh Abigail dalam hubungannya dengan Allah. Sekalipun ia hidup serumah dengan
Nabal, tapi relasi yang mutual dengan Allah memberinya imunitas rohani yang
kuat. Apa yang dibuat oleh Abigail menegaskan dua hal penting: Pertama, melalui Abigail Allah memproklamasikan
kemerdekaan dari dosa tapi Nabal menolak untuk membuat restorasi “and his
heart died within him so that he became as a stone” (vs. 37). Kedua, melalui pemberian persembahan kepada
Daud pada ayat 18, dan menceritakan kembali kejahatan Nabal kepada Suaminya,
yakni Nabal pada ayat 36, 37 dan diikuti oleh kematian Nabal, sesungguhnya
Abigail memberitakan kepada Daud dan Nabal bahwa Allah memiliki hak prerogatif
untuk mengampuni dosa dan membalas kejahatan orang jahat: “The Lord
sturck Nabal and he died” (vs. 38).
Pelajaran Praktis
dan Aplikasi
Paradoks karakter
Nabal dan Abigail tidak semata-mata diaplikasi pada level hubungan suami istri.
Potret Nabal dan Abigail adalah representasi dari dua tendensi moral yang
berbeda. Nabal lahir untuk menjadi besar dalam material dan itu baik, tapi
Tuhan mengharapkan lebih dari itu. Nabal membangun nilai untuk hidup pada dasar
yang superfisial (kekayaan, strata sosial). Di mata Allah ini adalah kebodohan,
dan itulah arti dari namanya. Penolakannya terhadap Daud dan Allah adalah
akibat logis dari kebodohannya. Nabal pergi terlalu jauh dari komunitas Israel
dan Allah, sehingga nilai positif tidak dapat dilihat dengan jelas. Mungkin
nama kita bukan “Nabal” tapi tendensi hidup untuk berbuat dosa adalah “nabal.”
Jika kita adalah bagian dari tujuan hidup Nabal tulisan ini mengajak kita untuk
membuat restorasi hubungan dengan Tuhan dan sesama.
Hubungan yang mutual
dengan Tuhan adalah kata kunci dari konsistensi moral Abigail. Ia hidup setiap
hari dengan Nabal tetapi ia tetap Abigail dan Nabal tetap menjadi Nabal.
Sekalipun perempuan pada waktu itu diposisikan sebagai masyarakat marginal,
tapi memegang teguh nilai hidup dari Allah adalah tujuah hidup Abigail.
Kecantikan, kebaikan dibangun di atas kecerdasan moral dan spiritual. Semua itu
lahir dari dasar yang kokoh yakni hubungannya dengan Tuhan. Kita masih berjuang
untuk menjadi Abigail, Jusuf dan tokoh yang lainnya, karena komunitas kita:
lingkungan, tempat kerja, masyarakat bukan tempat yang ideal. Namun kita perlu
menjadi seperti “Abigail” figur yang ideal bagi Nabal dan Daud. Semua itu hanya
diperoleh dari sumber dari mana semua umat Allah dalam Alkitab mendapatkannya,
itulah Allah.
0 komentar:
Posting Komentar