BAIT Ministry

Sabtu, 05 April 2025

PARADOKS MORAL ANTARA NABAL DAN ABIGAIL

 

NABAL: “WHO IS DAVID?” ABIGAIL: DAVID IS...: SEBUAH PARADOKS MORAL ANTARA NABAL DAN ABIGAIL

Oleh  : Pdt.  Dr.  Blasius Abin

 



Perikop 1 Samuel 25 dibahas oleh profesor saya Dr. G. Klingbeil dalam format pelajaran Sekolah Sabat 23-29 Oktober 2010 dengan penekanan konsistensi moral dan karakter dalam level praktis yang berat, tapi Abigail sebagai figur utama dalam narasi ini tidak hanya memilih untuk mempertahankan moralitas yang baik, tapi juga memiliki resistansi terhadap tendensi buruk dari lingkungannya termasuk Nabal, suaminya. Tulisan ini melihat perspektif lain dari tema yang sama melalui diagnosa teks (1 Samuel 25), analisis literal untuk aplikasi praktis.

 

Pertanyaan Nabal

Pertanyaan Nabal kepada utusan Daud “Who is David?” (1 Sam. 25:10). Pertanyaan untuk pertanyaan ini adalah: Sekalipun Nabal belum mengenal Daud, apakah Nabal sama sekali tidak mengetahui siapa Daud?  Dalam literal konteks yang lebih luas, superioritas Daud sebagai pahlawan sampai 1 Samual 25 sudah dikenal oleh Israel sejak dia diurapi sabagai raja oleh Samuel, lebih tepat sejak Roh Allah meninggalkan Saul dan memilih tinggal dalam Daud (1 Sam. 16:13, 14; cf. 10:9).  Spirit heroik Daud dalam mengalahkan Goliat (1 Sam. 17:1-58)  tidak hanya dicatat sebagai permulaan dari klimaks pelayanannya tapi juga menandai eksistensi siapa Daud di hadapan Israel dan Filistin, ia berkata keapda Goliat: “I come to you in the name of the Lord of hosts, the God of the armies of Israel” (1 Sam. 17:45).

 

Jadi jika benar Nabal sama sekali tidak mengetahui “Who is David” maka ia satu-satunya orang Israel tidak hanya hidup dalam lingkungan bisnis yang sempit: antara Maon dan Carmel sebagai bisnis man (1 Sam. 25:2), tetapi juga ia tidak mengikuti sejarah keselamatan yang dibuat Allah untuk Israel melalui orang pilihanNya pada era tersebut. Tapi apakah asumsi ini benar? Diagnosa 1 Sam. 25 memberikan sudut pandang yang lain. Reportasi yang dibuat oleh hamba dari Nabal dalam 1 Sam. 25:15-17 menegaskan bahwa mereka mengenal Daud dengan deskripsi: “the men were very good to us” (vs. 15 NAS); “they were a wall to us both by night and by day” (vs. 16 NAS). Bahkan istrinya, Abigail mengetahui siapa Daud, ketika ia pergi menemui Daud, Abigail meringkas cerita dalam pasal 24 tentang karakter Daud “since the Lord has restrained you from shedding blood, and from avenging yourself by your own hand, now then let your enemies and those who seek evil against my lord, be as Nabal.” (vs. 26).

 

Jadi Nabal mengetahui siapa Daud, pertanyaan Nabal: Who is David dilanjutkan dengan pertanyaan kedua “who is the son of Jesse?” (vs. 10). Pertanyaan yang kedua, tentang Jesse, ayah Daud,  disebutkan oleh Nabal dalam ayat 10, tetapi tidak diperkenalkan oleh utusan Daud pada ayat 6-8, artinya jika Nabal mengetahui siapa Jesse, ia juga mengetahui asal-usul Daud. Dalam konteks ini Nabal menekankan asal-usul dan strata sosial seseorang sebagai dasar untuk membangun apresiasi dan penghormatan: “Shall I take my bread and my water and my meat...and give it to men whose origin I do not know.”? (vs.11).  Sampai pada level ini, pranata sosial yang dibangun oleh Nabal bertentangan dengan moralitas Abraham yang menerima orang asing datang ke rumahnya (Kejadian 18), kata-kata seperti bread, water dan meat  dalam 1 Sam. 25: 11, disebutkan ketika Abraham menjamu orang asing “water..wash your feed, bread..refresh yourselves, (meat of) calf.” (Kej. 18:4-7). Ekspresi verbal yang ironi dari Nabal adalah ia mengetahui Jesse, ayah dari Daud tapi ia tidak mengetahui asal-usul Daud, ini menegaskan bahwa problem utama dari Nabal tidak terletak pada ia mengetahui atau tidak mengetahui siapa Daud. Pertanyaan “who is David” lebih dari sekedar pertanyaan retorik atau keingintahuan Nabal. Pertanyaan itu lahir dari presuposisi moral yang mengalami regresi sejak penciptaan.

 

Nabal dan Problem Moral

Cerita Nabal dalam 1 Samuel 25 dimulai dengan informasi tentang kematian Samuel (vs. 1), dan dilanjutkan dengan daftar kekayaan Nabal sebagai salah satu orang terkaya pada zaman itu (vs. 2). Penting untuk diketahui ayat 2 dan 3 sang narator membuat dua daftar parallel dengan penekanan yang berbeda: daftar kekayaan dan daftar kebaikan karakter (vss. 2, 3. Dalam komunitas dengan menerapkan sistem paternalistik, maka kekayaan yang didaftar adalah milik Nabal sebagai tuan: the man was very rich, and he had three thousand sheep and a thousand goats.” (vs. 2). Daftar kebaikan karakter adalah milik Abigail istrinya: “The woman was intelligent and beautiful in appearance” (vs. 3). Terjemahan literal bahasa Ibrani lebih tepat untuk mengerti kualitas moral Abigail, sebagai berikut: “The woman is good in intelligent, in beautiful, and in appearance.” Kata sifat tov  dalam bahasa Ibrani (“good”) digunakan dalam minggu penciptaan untuk menegaskan kualitas dan sifat dari substansi ciptaan Allah (cf. Kej. 1:4, 12, 18), dan ketika manusia diciptakan, Allah memberikan label kualitas karakter dalam bentuk superlatif “it was very good” (Kej. 1:31 NAS). Karakter Abigail mencirikan originalitas dari karakter  sejak penciptaan.

 

Daftar Kekayaan Nabal dan Abigail

Nabal (vs. 2)

Abigail (vs. 3)

He had three thousand sheep

The woman was good in inteligent

He had a thousand goats

The woman was good in beautiful

And was good in  appearance

 

Klausa yang kedua pada ayat 3, narator mengungkapkan karakter kontrast dari Nabal: “but the men was harsh and evil in his dealing and he was a Calebite.” Pembaca bahasa Indonesia dan Inggris hanya melihat secara literal tentang aktivitas eksternal dari Nabal: “kasar dan jahat perbuatannya.” Informasi dari frase ini hanya bisa dimengerti dari sumber problematik yang sesungguhnya pada frase yang terakhir dalam bahasa Ibrani: wehu  kelibu kalibi terjemahan dalam semua bahasa Inggris “he was a Calebite.” Kata  “lev” dalam kelibu diterjemakan “hati” atau “pikiran,” “inner man.” Abigail dalam permohonanya kepada Daud, ia membuat deskripsi tentang Nabal “Nabal is his name and folly is with him” (vs. 25).

 

Nama “Nabal”  berarti “foolish one,” (cf. Prov. 17:21, 25) selalu dihubungkan dengan kebodohan spiritual,  moral, dan intelektual. Dari konteks spiritual, jika hal ini terjadi akan mengakibatkan defisiensi mental. Efek yang lebih luas adalah relasi yang inharmoni dengan komunitas atau lingkungan. Kata nebala sinonim dengan nabal yang digunakan sebagai label untuk aktivitas sexual di luar nikah,  dan istilah yang sama digunakan dalam cerita tentang Dinah (Kej. 34:7; cf.  Hak. 19:23; 20:6, 10; Deut. 22:21); dan cerita tentang Ammon dan Tamar (2 Sam. 13:12, 13). Nabal tidak termasuk dalam kategori ini, tetapi Nebala dalam perspektif yang lain yakni “breaking the custom.” Teks berkata:

 

a)      Ayat 7: “now your shepherds have been with us and we have not insulted them, nor have they missed anything all the days they were in Carmel (Perlindungan harta milik Nabal oleh Daud)

b)      Ayat 8,  cf. 21: “therefore let my young men find favor in your eyes, for we have come on festive day. Please give whatever you find at hand to your servants and to your san David.” (Jasa yang harus dibayar oleh Nabal).

 

Menurut adat dan kebiasaan jaman itu, Daud layak mendapatkan bayaran untuk perlindungn terhadap harta milik Nabal (vs. 7), tetapi ia menolak untuk membayar (vs. 8). Penolakan Nabal adalah refleksi dari nebala (baca “kebebalan” atau “kebodohan”).  Jadi “nabal” atau “nebala” dalam konteks ini lebih dari sekedar tidak mengenal Allah tapi seorang yang menolak Allah. Ekspresi penolakan Nabal membawa efek negatif terhadap tindakan dan respon verbal dalam kehidupan praktis. Pertanyaan retorik dari Nabal “who is David” (vs. 10) lebih dari sekedar  keingintahuan Nabal tentang asal-usul Daud. Daud dipilih dan diurapi Allah, menggantikan Sual. Sekalipun secara de facto Saul masih berkuasa, tetapi pengurapan Daud oleh Allah telah menjadi rumor yang besar di antara orang Israel. Nabal tidak hanya menolak pengurapan Daud tetapi juga menolak Allah yang mengurapi Daud. Konsekuensi tragis dari penolakannya adalah penghukuman dan pembinasaan (cf. vss. 13, 22).

 

Moralitas Abigail dan Peran Mediasi

Integritas moral Abigail diungkapkan oleh dua sumber, orang lain dan ekspresi verbal serta aktivitas dari Abigail. Sumber eksternal adalah sang narator dalam cerita, dan Daud yang diurapi Allah.

 

§  Narator: The woman is good in intelligent, in beautiful, and in appearance (vs.3).

§  Daud: “blessed be the Lord God of Israel, who sent you this day to meet me” (vs.32).

§  Daud: “blessed be your discernment, and blessed be you, who have kept this day from bloodshed and from avenging myself by my own hand” (vs. 33; cf. vs, 26).

 

Kata benda abstrak ta’am (“discernment”/“kecerdasan”) adalah kata kunci yang digunakan oleh Daud untuk menggambarkan konsistensi karakter moral dari Abigail. Ia memiliki kecerdasan spiritual, kecerdasan persepsi, dan kecerdasan hati nurani. Kualitas ini, menurut Daud (vss. 26, 33), adalah kualitas atribut yang mendorong Allah mengutus Abigail mencegah Daud untuk membunuh (vs. 33).  Pada level ini kita dapat membangun asumsi dasar yang ideal bahwa utusan Allah memiliki karakter Allah, itu dimiliki oleh Abigail.

 

Tindakan dan ungkapan verbal Abigail juga menunjukan kecerdasan moral dan spiritual. Kata kerja “alah”(to go up)  dan “salah” (to sent) pada ayat 5 menggambarkan Daud dan utusannya datang kepada Nabal dengan maksud baik. Tapi penolakan Nabal yang membuat Daud “alah” (went up) pada ayat 13 untuk menumpahkan darah Nabal. Secara moral apa yang dilakukan oleh Nabal melawan hukum, tapi maksud dari Daud untuk membunuh Nabal juga bertentangan dengan hukum.

 

Satu-satunya instrument yang digunakan oleh Allah untuk menangani masalah serius ini adalah Abigail. Bagimana Abigail menyelesaikan masalah ini dicatat dalam 1 Sam 15:19, 20, 36,

§  she did not tell her husband” (vs. 19).

§  she met them [Daud and pasukannya] (vs. 20).

§  then Abigail came to Nabal” (vs. 36).

 

Lalulintas aktivitas dari Abigail adalah menemui Daud dan menemui Nabal. Daud ingin menemui Nabal tapi justru bertemu dengan Abigail. Dalam lalulintas aktivitas ini Nabal berada pada posisi pasif, tidak pernah keluar dari tempatnya untuk bertemu dengan Daud atau pergi untuk menemui Abigail, sekali lagi ini adalah bukti dari kebodohannya, apa yang ia buat adalah ciri dari arogansi dan kebodohan:

he was holding the feast in his house, like the feast of a king and Nabal’s heart was merry with him, for he was very drunk(vs. 36). Daud dan Abigail yang pergi bertemu dengan Nabal. Tapi maksud Daud cacat karena melanggar hukum “jangan membunuh.”

 

Peran intersesi dan mediasi Abigail adalah produk dari kebaikan dan kecerdasan rohani yang dibangun oleh Abigail dalam hubungannya dengan Allah. Sekalipun ia hidup serumah dengan Nabal, tapi relasi yang mutual dengan Allah memberinya imunitas rohani yang kuat. Apa yang dibuat oleh Abigail menegaskan dua hal penting: Pertama,  melalui Abigail Allah memproklamasikan kemerdekaan dari dosa tapi Nabal menolak untuk membuat restorasi “and his heart died within him so that he became as a stone” (vs. 37).  Kedua, melalui pemberian persembahan kepada Daud pada ayat 18, dan menceritakan kembali kejahatan Nabal kepada Suaminya, yakni Nabal pada ayat 36, 37 dan diikuti oleh kematian Nabal, sesungguhnya Abigail memberitakan kepada Daud dan Nabal bahwa Allah memiliki hak prerogatif untuk mengampuni dosa dan membalas kejahatan orang jahat: “The Lord sturck Nabal and he died” (vs. 38).

 

Pelajaran Praktis dan Aplikasi

Paradoks karakter Nabal dan Abigail tidak semata-mata diaplikasi pada level hubungan suami istri. Potret Nabal dan Abigail adalah representasi dari dua tendensi moral yang berbeda. Nabal lahir untuk menjadi besar dalam material dan itu baik, tapi Tuhan mengharapkan lebih dari itu. Nabal membangun nilai untuk hidup pada dasar yang superfisial (kekayaan, strata sosial). Di mata Allah ini adalah kebodohan, dan itulah arti dari namanya. Penolakannya terhadap Daud dan Allah adalah akibat logis dari kebodohannya. Nabal pergi terlalu jauh dari komunitas Israel dan Allah, sehingga nilai positif tidak dapat dilihat dengan jelas. Mungkin nama kita bukan “Nabal” tapi tendensi hidup untuk berbuat dosa adalah “nabal.” Jika kita adalah bagian dari tujuan hidup Nabal tulisan ini mengajak kita untuk membuat restorasi hubungan dengan Tuhan dan sesama.

 

Hubungan yang mutual dengan Tuhan adalah kata kunci dari konsistensi moral Abigail. Ia hidup setiap hari dengan Nabal tetapi ia tetap Abigail dan Nabal tetap menjadi Nabal. Sekalipun perempuan pada waktu itu diposisikan sebagai masyarakat marginal, tapi memegang teguh nilai hidup dari Allah adalah tujuah hidup Abigail. Kecantikan, kebaikan dibangun di atas kecerdasan moral dan spiritual. Semua itu lahir dari dasar yang kokoh yakni hubungannya dengan Tuhan. Kita masih berjuang untuk menjadi Abigail, Jusuf dan tokoh yang lainnya, karena komunitas kita: lingkungan, tempat kerja, masyarakat bukan tempat yang ideal. Namun kita perlu menjadi seperti “Abigail” figur yang ideal bagi Nabal dan Daud. Semua itu hanya diperoleh dari sumber dari mana semua umat Allah dalam Alkitab mendapatkannya, itulah Allah.


0 komentar:

Posting Komentar