BAIT Ministry

Sabtu, 15 Maret 2025

Tuhan Adalah Gembalaku : Arti & maknanya Untuk Kita

 

TUHAN ADALAH GEMBALAKU:

ARTI DAN MAKNANYA UNTUK KITA

Oleh: Pdt. Blasius Abin


Puisi Daud dalam Mazmur 23

Ekspresi metafora Raja Daud dalam Mazmur 23 tidak memiliki referensi langsung dengan peristiwa sejarah aktual Israel, baik kehidupan sosial, sipil, maupun kultural (sekalipun istilah seperti gembala dan beberapa ungkapan verbal sangat familiar dengan Israel). Alasannya, karena peristiwa dan konsepsi yang diungkapkan dalam bahasa puisi ini sesuatu yang tidak biasa bagi Israel. Lebih dari itu, peristiwa dan konsepsi Mazmur 23 dapat diaktualisasi tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Tulisan ini mendiagnosa pengertian ekspresi puisi Daud dan interkoneksi dari berbagai ungkapan metafora Mazmur 23 ini dihubungkan dengan tema utama dalam puisi. Dari sana kita menarik kesimpulan dan aplikasi.

Mazmur 23 secara sederhana dapat dibagi dalam tiga bagian: pendahuluan (vs.1), tema utama (vs.4), dan penutup (vs. 6). Setiap bagian mengikat tema keseluruhan dari Mazmur 23. Ayat yang lain, seperti ayat 2, 3, 5  adalah elaborasi dan penjelasan dari tema utama pada pasal ini. Sebagai contoh ayat 1 dan 4 memiliki persamaan tematis, dan keduanya berfungsi sebagai pendahuluan dari expresi pada ayat 2, 3 dan ayat 5, 6. Jadi ekspresi bahasa Ibrani seperti:

lo ehsar = Aku tak akan kekurangan  (vs. 1b)

lo irara = Aku tak akan takut bahaya (vs. 4b)

berfungsi sebagai penjelasan dan afirmasi dari peran: “Tuhan adalah gembalaku” (vs. 1a), dan “Engkau besertaku” (vs. 4c). Kedua ungkapan ini secara semantik menegaskan kesetiaan Allah pada manusia sebagai inisiator perjanjian, dan menyingkapkan iman pemazmur kepada Allah sebagai gembala yang sesungguhnya.

Jika tema mazmur ini tidak  dapat dipisahkan dari pendahuluan dan penutup, maka contoh seperti pernyataan ayat 1a dan 1b tidak dapat berdiri sendiri,  dan pada level ini keduanya berdiri di atas hubungan sebab akibat: “karena Tuhan adalah gembalaku, maka saya tidak akan kekurangan.” Konsekuensi logis dari keyakinan ini diulang kembali pada bagian penutup: “karena Tuhan adalah gembalaku” (vs.1),  maka saya tidak pernah absen berada di hadapan Allah.” (vs.6). Ini menegaskan bahwa fokus utama dari puisi ini adalah peran Tuhan sebagai gembala, dan tema sentral dari puisi adalah keteguhan iman dalam kehidupan nyata (vs. 4).

 

Fokus Utama: Tuhan adalah Gembalaku

Pernyataan yhwh roi (“Tuhan adalah gembalaku”) dalam konteks sejarah Mesir sering digunakan untuk menggambarkan peran raja dalam menjalankan pemerintahan. Untuk menjadi seorang raja atau firaun yang baik dan bijaksana, para firaun yang duduk di takhta wajib memberikan ma’at (“social justice”) kepada para dewa dan manusia.  Kemudian konsep ini diformulasi dan digunakan sebagai label untuk pekerjaan gembala, terutama untuk gembala yang baik. Artinya, pernyataan “Tuhan adalah gembalaku” dalam Mazmur 23 bukanlah deskripsi tentang pekerjaan gembala biasa, mengungkapkan gelar ilahi, peran Allah dan fungsi kekuasaannya (bandingkan ekspresi yang sama dalam Kel. 15:3; Maz. 24:10; Amos 4:13; Hakim 5:5; Kej. 33:20). Pemazmur menggunakan gelar yang sama untuk Allah dalam berbagai kesempatan (seperti el roi  Kej. 16:13). Gelar “Tuhan adalah gembalaku” mengungkapkan karakter dan tanggung jawab dari individu yang memiliki kekuasaan dan tanggung jawab terhadap orang lain atau bangsa.

Metafora “Tuhan adalah gembalaku” sebagai fokus dari puisi ini, membentuk kualitas tema utama puisi (vs. 4), jadi gambaran tentang gembala-kawanan (vss. 1-4), ayah-anak (vs. 5) adalah ungkapan sinonim untuk menjelaskan karakter utama dari metafora tentang “Tuhan adalah gembalaku.” Deskripsi tentang “gembala yang baik”  dan “air yang tenang” sesungguhnya mengulang kembali ide utama di ayat satu, selanjutnya gambaran itu diganti dengan tersedianya makanan” (vs. 5)  dan tempat tinggal yang permanen “rumah Tuhan” (vs. 6). Dalam konteks tinggal di rumah Bapa, E. G. White berkata:

“Faith now took possession of my heart. I felt an inexpressible love for God, and had the witness of His Spirit that my sins were pardoned. My views of the Father were changed. I now looked upon Him as a kind and tender parent, rather than a stern tyrant compelling men to a blind obedience. My heart went out toward Him in a deep and fervent love. Obedience to His will seemed a joy; it was a pleasure to be in His service. No shadow clouded the light that revealed to me the perfect will of God…and realized the truth of what Christ had said: "He that followeth Me shall not walk in darkness, but shall have the light of life." John 8:12. (LS 39)

Ayat 1 dan 6 memiliki persamaan, keduanya dimulai dengan subyek orang ketiga tunggal (“Tuhan”), dan ayat 6 diakhiri dengan subyek orang pertama tunggal (“saya”), fakta ini menjelaskan ikatan kesatuan dari keseluruhan puisi dan menegaskan parameter dari puisi. Pernyataan “Aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa” tidak hanya memberi kesimpulan pada puisi ini tetapi janji yang mengandung prospek dan pengharapan. Ayat 6 adalah orientasi tentang masa depan, ini ditandai oleh munculnya partikel penghubung ak  “sesungguhnya”  segala sesuatu yang sudah terjadi sebelumnya, yang dibuat oleh sang Gembala (bdk. “therefore” Maz. 1:5) akan membawa efek positif untuk kehidupan yang akan datang. Dengan kata lain, Mazmur 23 mengingatkan kembali tentang makna “hidup” dalam konteks hubungan dengan Tuhan. Kesimpulan pada ayat 6a and janji pada ayat 6b harus dimengerti dari isi keseluruhan puisi (vss. 1-6). Hubungan ayat 1 dan 6 harus dilihat pada hubungan sebab-akibat, seperti berikut:

Ayat 6: karena kebaikan dan kemurahan akan mengikuti aku seumur hidupku (vs. 6a),   Maka aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa (vs. 6b). Ayat 1: Karena Tuhan adalah gembalaku (1a), maka aku tak akan kekurangan (1b).

Dalam konteks hubungan sebab akibat: Ayat 6a dan 1a adalah alasan dan ayat 6b dan 1b adalah konsekuensi atau akibat. Bahasa puitis ini hendak meyakinkan audiens atau pembaca tentang janji perlindungan Allah. Sejak “Tuhan adalah gembalaku” (vs.1) maka “kebaikan dan kemurahan akan mengiukti aku seumur hidupku (vs.6a). Pernyataan “aku akan diam dalam rumah Tuhan  sepanjang masa” (vs. 6b) adalah alasan mengapa “aku tak akan kekurangan” (vs. 1b). Jadi formula ayat 1a yang mendeskripsi tentang Allah “Tuhan adalah gembalaku” diulang kembali pada ayat 6b “aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa.” 

Gambaran kontinuitas perlindungan Allah pada ayat 1 dan 6 dijelaskan secara rinci melalui metafora tentang “gembala” dan “pertanian” pada ayat 2-5. Dari kehidupan yang semi-nomadik (berpindah tempat)  seperti seorang gembala (vs. 1) kepada kehidupan permanent seperti seorang petani (vs. 6). Secara gramatikal, kata kerja yang digunakan dalam ayat 1 dan 6 adalah deskripsi tentang kehidupan sekarang (present) dan kehidupan yang akan datang (future “sepanjang masa” vs. 6b).

 

Deskripsi Praktis Mazmur 23:2-3

Ayat 2 dan 3 memiliki pekabaran yang tak dapat dipisahkan dari ayat 1. Fungsi ayat 1a sama dengan ayat 1b-3. Perbedaannya, ayat 1 menggunakan subyek orang pertama “saya” (pemazmur) dan ayat 2 dan 3 menggunakan subyek orang ketiga tunggal “ia” (Tuhan) yang aktif melakukan sesuatu.  Aktivitas Allah sebagai subyek dari kata kerja pada ayat 2a-3b dan ayat 5a-b memberikan alasan utama terbentuknya premis iman dari pemazmur: mengapaaku tak akan kekurangan” (vs. 1b) jika “Tuhan adalah gembalaku” (vs. 1b);  mengapaaku tidak takut bahaya” (vs.4b) jika  “engaku besertaku” (vs. 4c). Dengan kata lain pertanyaan “mengapa” secara sederhana dijawab, karena Allah adalah gembalaku yang bertindak untuk aku. Pemazmur hendak mengatakan kepada pembaca bahwa eksistensi kehidupan manusia semata-mata karena providensia Tuhan, dan ide ini dapat dilihat dari subyek kata kerja pada ayat 2, 3, di mana Tuhan adalah inisiator untuk semua tujuan yang baik dalam kehidupan: “Ia membaringkan aku,” “Ia membimbing aku,” “Ia menyegarkan jiwaku,” dan “Ia menuntun aku.”

Dari semua aktivitas di atas, pernyataan “Ia menyegarkan jiwaku” (vs. 3) adalah pekabaran yang sangat penting dalam Mazmur Daud. Lebih penting dari “aku tak akan kekurangan” (vs.1b). Pernyataan “aku tak akan kekurangan” diformulasi tanpa obyek penderita (kata kerja transitif), dan probabilitas obyek dalam kalimat ini tidak terbatas “tak akan kekurangan sesuatu” (bdk. Maz. 34:11; Ul. 2:7) , bisa sesuatu yang bersifat material atau immaterial, tetapi pada ayat 3a, kata kerja yang digunakan diikuti oleh obyek penderita: “ia menyegarkan jiwaku.” Gambaran ayat 3a ini tidak dapat dipisahkan dari konteks klasik mengenai domba yang hilang. Domba yang hilang ditemukan,  dan selanjutnya sang gembala memenuhi kebutuhan yang paling fundamental, seperti yang digambarkan pada ayat 2.

Kombinasi antara “aku tak akan kekurangan” dan “ia menyegarkan jiwaku” menuntun pembaca pada ide tentang seseorang yang mati. Jika kita kekurangan segala sesuatu dari Tuhan dan jiwa kita tanpa restorasi, akibatnya: “kematian.”  Hal ini dikuatkan dengan penggunaan kata salmawet lembah kekelaman”  atau lembah kematian pada ayat 4a. Kata jiwa atau nepes dalam cerita Sinai (Im. 19:28 dan 21:1) digambarkan sebagai entitas yang telah mati karena ketidaktaatan, dan dalam buku Ratapan nepes dijelaskan sesuatu yang tidak terlindung atau sesuatu yang kosong (bdk. Ratap. 1:16).  Kata nepes dalam Maz. 23 digunakan oleh pemazmur dalam konteks pembaharuan. Restorasi jiwa hanya bisa terjadi bukan saja melalui tuntutan loyalitas tetapi juga intimitas hubungan dengan Allah sebagai gembala. Gelar Allah sebagai gembala, selalu menjadi alasan utama untuk memperoleh kekuatan (vs. 1b),  petunjuk (vss. 2a, 3b) dan memuliakan Allah (vs. 3c).

Pernyataan pada ayat 3c “oleh karena namaNya” tidak menggunakan subyek orang ketiga tunggal. Hal ini hendak menekankan kembali fokus utama dari puisi: “Tuhan adalah gembalaku.” Semua aktivitas pada ayat 2-3b dikerjakan oleh sang Gembala. Pernyataan “oleh karena namaNya” adalah afirmasi penting siapa Tuhan kita dalam menghadapi kompetitor dari gembala sejati. Aktivitas pada ayat 2-3b seperti “ia membaringkan aku di rumput yang hijau…ia menuntun aku di air yang tenang…ia menyegarkan jiwaku…dapat dilakukan oleh oknum lain dengan menggunakan nama yang lain (bdk. Hakim2 8; 1 Sam. 17; 25; 2 Raja2 19; Neh. 4; 6; Maz. 31; 42; 69; 74; 89:51-52). Semua perikop ini, terutama Maz. 89:51-52 secara eksplisit menggambarkan penderitaan orang yang setia oleh karena musuh jiwa. Artinya gambaran metafora tentang karakter Allah di ayat 2-3b mempertegas keyakinan pemazmur tentang eksistensi Allah dan apa yang Ia lakukan (vss. 1-3) sebagai individu yang memiliki otoritas dan kekuasaan penuh dalam menggembalakan jemaatNya.

 

Deskripsi Praktis Mazmur 23:5-6

Dalam literatur purba, kata “piala” (vs. 5c) digunakan berhubungan dengan peran para dewa. Di hadapan para penyembah, para dewa dalam literatur Babel, memegang piala dan menyampaikan berkat atau kutuk (UT 128. II. 11-28; CTA 15.II. 16-18). Orang Ibrani dalam PL, terutama pemazmur menggambarkan Allah memegang piala ketika ia memberikan keadilan atau mengumumkan penghukuman (Maz. 75:9; Hab. 2:16). Menurut Musa, piala melambangkan kekuasaan Allah (Kel. 15:6, 12).

Dalam Mazmur 23 pernyataan “pialaku penuh berlimpah” secara struktural berhubungan dengan ayat 3c “oleh karena namanya.” Pemazmur menekankan bahwa berkat yang limpah (vs. 5c) terjadi sebagai akibat logis dari peran Allah sebagai gembala (vs. 3c). Berkat ini dihubungkan dengan “ia menyediakan hidangan atau table (vs. 5a), ia mengurapi kepalaku dengan minyak (vs. 5b). “Minyak”  oleh para gembala digunakan sebagai obat bagi para kawanan yang terluka, dan “piala” digunakan oleh gembala untuk menampung air bagi kawanan yang haus. Jadi di sini piala tidak berhubungan dengan gambaran kekuasaan tetapi providensia kelimpahan Allah bagi umatNya. Fokus utama dalam puisi ini adalah “Tuhan adalah gembalaku.” Kata-kata seperti “air,” “piala,” “hidangan,” dan “minyak” adalah gambaran minor tentang Allah sebagai gembala.

Ungkapan simbolik ayat 5 dan 6 diakhiri dengan gambaran tentang Allah sebagai seorang gembala yang memilik rumah: “rumah Allah” (vs.6b). Di sini Allah digambarkan sebagai ayah dalam keluarga yang menyiapkan tempat tinggal atau rumah. Sebagai pembaca, kita dapat melihat ide pemazmur tentang perkembangan hubungan antara Allah dan manusia dalam Mazmur 23. Dari seorang gembala yang memelihara (vs. 1-3) kepada undangan untuk tinggal secara permanen di rumahnya, dan ia mengadopsi setiap orang untuk menjadi anggota keluarga: Aku akan tinggal di rumah Tuhan selamanya (vs. 6b). Pemazmur menegaskan hal yang penting dalam level praktikal, bahwa tinggal di rumah Allah harus memiliki hubungan dengan Allah, dan mau dituntun dan diajar oleh Gembala. Sekalipun  bet yhwh rumah Allah”  bagi orang Israel dihubungkan dengan kaabah di Jerusalem, tetapi ekspresi simbolik ini digunakan untuk berbagai aspek dari kehidupan. Kaabah orang Israel adalah tempat Allah tinggal dan Israel diangkat sebagai anak-anakNya. Intensitas dan kualitas hubungan dengan Allah, melalui aktivtias rohani dalam keluarga dan gereja adalah aspek lain untuk aplikasi “rumah Allah.” Tetapi aspek eskatologis, memberi keyakinan yang sahih tentang surga yang menjadi rumah yang sesungguhnya. Surga adalah tempat untuk didiami oleh orang-orang yang sudah digembalakan  Yesus.

 

Deskripsi Praktis Mazmur 23: 4

Ayat empat dianggap bagian yang menarik dari Mazmur 23. Selain perubahan subyek kata kerja, juga perikop ini dimulai dengan gam kisekalipun” yang membuatnya berbeda dengan eksperesi sebelum dan sesudah ayat 4. Frase gam ki selain berfungsi untuk mengontraskan sesuatu tetapi juga untuk mempertegas keyakinan dan iman pemazmur pada Allah. (bdk. Yes. 1:15; Hos. 8:10).  Ayat 4 memberi informasi penting dalam puisi ini karena pemazmur mendeklarasi keteguhan imannya. Jika ayat 3 mengungkapkan tujuan hidup, yakni bersatu dengan Allah, maka ayat 4 memberi fokus pada aktivitas yang nyata atau situasi real dari kehidupan. Pada level ini, pengakuan tentang iman dan kepercayaan mendapatkan tempat yang penting sebagai tema dari Mazmur 23. Hal ini penting, karena pengakuan iman secara publik seperti pada ayat 1-3 adalah perlu, tetapi pengakuan iman pribadi dalam ayat 4-6 adalah sangat penting. Sistem sekuritas iman untuk menghadapi kehidupan yang nyata, hanya datang dari totalitas iman individu kepada Allah. Deklarasi tentang keyakinan dan iman peribadi lebih dari “aku tak akan kekurangan” (vs. 1). Kelimpahan hidup yang dikaruniakan oleh Allah tidak resistan terhadap problem yang real, oleh karena itu komitmen iman pribadi sangat penting dalam realitas.

Ekspresi bahasa pada ayat 4-5a adalah sama dengan gambaran tentang keselamatan yang diwartakan oleh Yesaya (baca Yes. 41:8-13, 14-16; 43:1-4, 5-7; 44:1-5). Khotbah Yesaya didahului oleh panggilan: “jangan takut” dilanjutkan dengan janji keselamatan. Panggilan dalam Maz. 23 untuk jangan takut bersifat implisit melalui tindakan Allah dalam ayat 2 dan 3. Respons pemazmur pada ayat 4b “aku tidak takut bahaya” dan diikuti oleh “karena engaku besertaku” merupakan afirmasi terhadap janji perlindungan Allah.

Jadi partikel penghubung dalam bahasa Ibrani gam kisekalipun” pada ayat 4 menegaskan kembali tema deklarasi tentang iman dan kepercayaan, dan inilah alasannya “I fear no evil, for” (saya tidak akan takut kejahatan karena….).  Di sini artikel ki karena/sebab” berperan sebagai transisi  untuk subyek “you” dalam “engaku besertaku.” Jadi yang hendak ditekankankan oleh pemazmur adalah intimitas hubungan antara “I” dan “you” (Allah), lebih bersifat personal dan intensitas hubungan yang lebih dekat dengan Allah. Pemazmur, dalam ayat 4, membangun skenario yang berlawanan. Kelimpahan hidup pada ayat 2-3 dan kehidupan kekal pada ayat 5-6 tidak dapat diancam oleh kehadiran salmawet lembah kekelaman /kematian” pada ayat 4. Bagi para gembala salmawet adalah ancaman fisik yang nyata, tetapi dalam konteks kita, itu lebih dari ancaman fisik. Tapi apapun konteksnya, kehadiran Tuhan adalah dasar dari sistem sekuritas fisik dan rohani kawanan Allah. Pernyataan “ia menyegarkan jiwaku” (vs.3) dan “tinggal di rumah Tuhan selamanya” (vs.6) adalah interkoneksi yang penting untuk mengerti komitmen iman dalam menghadapi ancaman yang real pada ayat 4.

 

Kesimpulan dan Aplikasi

Pernyataan “Tuhan adalah gembalaku” adalah gambaran peran Allah yang penuh kuasa dengan membangun perjanjian (covenant) dengan umatnya, perjanjian itu dimeteraikan melalui ritual simbolik “Engaku menyediakan hidangan bagiku” (vs. 5). Ritual simboli ini menuntut jawaban iman dari umatNya. Allah sebagai “Gembala” adalah gambaran yang penting tentang Allah bagi kehidupan semua orang di masa sekarang dan akan datang.

Dalam level praktis, pernyataan “Tuhan adalah gembalaku” adalah gambaran tentang eksistensi Allah yang penuh kuasa dalam menuntun umatnya. Gelar inilah yang menjadi alasan mengapa pemazmur dan semua pembaca  tidak perlu takut terhadap kekurangan dan terhadap bahaya yang mengancam setiap saat. Membaca mazmur 23, memberikan efek positif terhadap perspektif theology mengenai keselamatan. Allah tidak hanya inisiator untuk menyiapkan keselamatan melalui ungkapan metafora dari pemazmur 23, tetapi ia juga menuntut totalitas komitment iman. Komitmen itu lebih dari pengakuan verbal,  realita yang sulit akan menguji komitmen iman pemazmur.

Metafora tentang tuntunan dan tindakan Allah sebagai gembala dalam Maz. 23:2-3 dan ayat 5-6 menempatkan manusia sebagai obyek pasif dari keselamatan yang dikerjakan oleh Allah. Tetapi lebih dari itu Allah, dalam ayat 4, menuntut respon aktif dari manusia, respon iman yang konsisten. Hal ini penting karena realitas hidup selalu paradoks, ada janji pengharapan tetapi ada realitas yang sulit dalam kehidupan nyata.  Iman dalam realita lebih sulit dari iman yang diakui  secara verbal di kebaktian.  Melalui pengalaman raja Daud, yang diekspresikan dalam Mazmur 23, tetap menjadi inspirasi untuk perjalanan kita sebagai kawanan Allah:  “aku berjalan dalam lembah kematian, aku tidak takut karena Allah besertaku.” (vs. 4), karena “Tuhan adalah gembalaku.” ***

 


0 komentar:

Posting Komentar