TUHAN ADALAH GEMBALAKU:
ARTI DAN MAKNANYA UNTUK KITA
Oleh: Pdt. Blasius
Abin
Puisi
Daud dalam Mazmur 23
Ekspresi metafora Raja Daud dalam Mazmur 23 tidak memiliki referensi
langsung dengan peristiwa sejarah aktual Israel, baik kehidupan sosial, sipil,
maupun kultural (sekalipun istilah seperti gembala dan beberapa ungkapan verbal
sangat familiar dengan Israel). Alasannya, karena peristiwa dan konsepsi yang
diungkapkan dalam bahasa puisi ini sesuatu yang tidak biasa bagi Israel. Lebih
dari itu, peristiwa dan konsepsi Mazmur 23 dapat diaktualisasi tanpa dibatasi
oleh ruang dan waktu. Tulisan ini mendiagnosa pengertian ekspresi puisi Daud
dan interkoneksi dari berbagai ungkapan metafora Mazmur 23 ini dihubungkan
dengan tema utama dalam puisi. Dari sana kita menarik kesimpulan dan aplikasi.
Mazmur 23 secara sederhana dapat dibagi dalam tiga bagian: pendahuluan
(vs.1), tema utama (vs.4), dan penutup (vs. 6). Setiap bagian
mengikat tema keseluruhan dari Mazmur 23. Ayat yang lain, seperti ayat 2, 3,
5 adalah elaborasi dan penjelasan dari
tema utama pada pasal ini. Sebagai contoh ayat 1 dan 4 memiliki persamaan tematis,
dan keduanya berfungsi sebagai pendahuluan dari expresi pada ayat 2, 3 dan ayat
5, 6. Jadi ekspresi bahasa Ibrani seperti:
lo ehsar = Aku tak akan kekurangan (vs. 1b)
lo irara = Aku tak akan takut bahaya (vs. 4b)
berfungsi sebagai
penjelasan dan afirmasi dari peran: “Tuhan adalah gembalaku” (vs.
1a), dan “Engkau besertaku” (vs. 4c). Kedua ungkapan ini secara
semantik menegaskan kesetiaan Allah pada manusia sebagai inisiator perjanjian,
dan menyingkapkan iman pemazmur kepada Allah sebagai gembala yang sesungguhnya.
Jika tema mazmur ini tidak dapat
dipisahkan dari pendahuluan dan penutup, maka contoh seperti pernyataan ayat 1a
dan 1b tidak dapat berdiri sendiri, dan
pada level ini keduanya berdiri di atas hubungan sebab akibat: “karena Tuhan
adalah gembalaku, maka saya tidak akan kekurangan.” Konsekuensi
logis dari keyakinan ini diulang kembali pada bagian penutup: “karena
Tuhan adalah gembalaku” (vs.1), maka
saya tidak pernah absen berada di hadapan Allah.” (vs.6). Ini menegaskan
bahwa fokus utama dari puisi ini adalah peran Tuhan sebagai gembala, dan tema
sentral dari puisi adalah keteguhan iman dalam kehidupan nyata (vs. 4).
Fokus Utama: Tuhan adalah Gembalaku
Pernyataan yhwh roi (“Tuhan adalah gembalaku”)
dalam konteks sejarah Mesir sering digunakan untuk menggambarkan peran raja
dalam menjalankan pemerintahan. Untuk menjadi seorang raja atau firaun yang
baik dan bijaksana, para firaun yang duduk di takhta wajib memberikan ma’at
(“social justice”) kepada para dewa dan manusia. Kemudian konsep ini diformulasi dan digunakan
sebagai label untuk pekerjaan gembala, terutama untuk gembala yang baik.
Artinya, pernyataan “Tuhan adalah gembalaku” dalam Mazmur 23 bukanlah
deskripsi tentang pekerjaan gembala biasa, mengungkapkan gelar ilahi, peran
Allah dan fungsi kekuasaannya (bandingkan ekspresi yang sama dalam Kel. 15:3;
Maz. 24:10; Amos 4:13; Hakim 5:5; Kej. 33:20). Pemazmur menggunakan gelar yang
sama untuk Allah dalam berbagai kesempatan (seperti el roi Kej. 16:13). Gelar “Tuhan adalah
gembalaku” mengungkapkan karakter dan tanggung jawab dari individu yang
memiliki kekuasaan dan tanggung jawab terhadap orang lain atau bangsa.
Metafora “Tuhan adalah gembalaku” sebagai fokus dari puisi ini,
membentuk kualitas tema utama puisi (vs. 4), jadi gambaran tentang gembala-kawanan
(vss. 1-4), ayah-anak (vs. 5) adalah ungkapan sinonim untuk menjelaskan
karakter utama dari metafora tentang “Tuhan adalah gembalaku.” Deskripsi
tentang “gembala yang baik”
dan “air yang tenang” sesungguhnya mengulang kembali ide
utama di ayat satu, selanjutnya gambaran itu diganti dengan tersedianya “makanan”
(vs. 5) dan tempat tinggal yang permanen “rumah
Tuhan” (vs. 6). Dalam konteks tinggal di rumah Bapa, E. G. White
berkata:
“Faith now took possession of my heart. I felt an
inexpressible love for God, and had the witness of His Spirit that my sins were
pardoned. My views of the Father were changed. I now looked upon Him as a kind
and tender parent, rather than a stern tyrant compelling men to a blind
obedience. My heart went out toward Him in a deep and fervent love. Obedience
to His will seemed a joy; it was a pleasure to be in His service. No shadow
clouded the light that revealed to me the perfect will of God…and realized the
truth of what Christ had said: "He that followeth Me shall not walk in
darkness, but shall have the light of life." John 8:12. (LS 39)
Ayat 1 dan 6 memiliki persamaan, keduanya dimulai dengan subyek orang
ketiga tunggal (“Tuhan”), dan ayat 6 diakhiri dengan subyek orang
pertama tunggal (“saya”), fakta ini menjelaskan ikatan kesatuan dari
keseluruhan puisi dan menegaskan parameter dari puisi. Pernyataan “Aku akan
diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa” tidak hanya memberi kesimpulan pada
puisi ini tetapi janji yang mengandung prospek dan pengharapan. Ayat 6 adalah
orientasi tentang masa depan, ini ditandai oleh munculnya partikel penghubung ak “sesungguhnya” segala sesuatu yang sudah terjadi sebelumnya,
yang dibuat oleh sang Gembala (bdk. “therefore” Maz. 1:5) akan membawa
efek positif untuk kehidupan yang akan datang. Dengan kata lain, Mazmur 23
mengingatkan kembali tentang makna “hidup” dalam konteks hubungan dengan
Tuhan. Kesimpulan pada ayat 6a and janji pada ayat 6b harus dimengerti dari isi
keseluruhan puisi (vss. 1-6). Hubungan ayat 1 dan 6 harus dilihat pada hubungan
sebab-akibat, seperti berikut:
Ayat 6: karena kebaikan dan kemurahan akan mengikuti aku
seumur hidupku (vs. 6a), Maka
aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa (vs. 6b). Ayat 1: Karena
Tuhan adalah gembalaku (1a), maka aku tak akan kekurangan
(1b).
Dalam konteks hubungan
sebab akibat: Ayat 6a dan 1a adalah alasan dan ayat 6b dan 1b adalah
konsekuensi atau akibat. Bahasa puitis ini hendak meyakinkan audiens atau
pembaca tentang janji perlindungan Allah. Sejak “Tuhan adalah gembalaku”
(vs.1) maka “kebaikan dan kemurahan akan mengiukti aku seumur hidupku
(vs.6a). Pernyataan “aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa” (vs. 6b) adalah alasan
mengapa “aku tak akan kekurangan” (vs. 1b). Jadi formula ayat 1a yang
mendeskripsi tentang Allah “Tuhan adalah gembalaku” diulang kembali pada
ayat 6b “aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa.”
Gambaran kontinuitas perlindungan Allah pada ayat 1 dan 6 dijelaskan secara
rinci melalui metafora tentang “gembala” dan “pertanian” pada
ayat 2-5. Dari kehidupan yang semi-nomadik (berpindah tempat) seperti seorang gembala (vs. 1) kepada
kehidupan permanent seperti seorang petani (vs. 6). Secara gramatikal, kata
kerja yang digunakan dalam ayat 1 dan 6 adalah deskripsi tentang kehidupan
sekarang (present) dan kehidupan yang akan datang (future “sepanjang masa”
vs. 6b).
Deskripsi Praktis Mazmur 23:2-3
Ayat 2 dan 3 memiliki pekabaran yang tak dapat dipisahkan dari ayat 1.
Fungsi ayat 1a sama dengan ayat 1b-3. Perbedaannya, ayat 1 menggunakan subyek
orang pertama “saya” (pemazmur) dan ayat 2 dan 3 menggunakan subyek
orang ketiga tunggal “ia” (Tuhan) yang aktif melakukan sesuatu. Aktivitas Allah sebagai subyek dari kata
kerja pada ayat 2a-3b dan ayat 5a-b memberikan alasan utama terbentuknya premis
iman dari pemazmur: mengapa “aku tak akan kekurangan”
(vs. 1b) jika “Tuhan adalah gembalaku” (vs. 1b); mengapa “aku tidak takut
bahaya” (vs.4b) jika “engaku
besertaku” (vs. 4c). Dengan kata lain pertanyaan “mengapa”
secara sederhana dijawab, karena Allah adalah gembalaku yang bertindak untuk
aku. Pemazmur hendak mengatakan kepada pembaca bahwa eksistensi kehidupan
manusia semata-mata karena providensia Tuhan, dan ide ini dapat dilihat dari
subyek kata kerja pada ayat 2, 3, di mana Tuhan adalah inisiator untuk semua
tujuan yang baik dalam kehidupan: “Ia membaringkan aku,” “Ia
membimbing aku,” “Ia menyegarkan jiwaku,” dan “Ia
menuntun aku.”
Dari semua aktivitas di atas, pernyataan “Ia menyegarkan jiwaku”
(vs. 3) adalah pekabaran yang sangat penting dalam Mazmur Daud. Lebih penting
dari “aku tak akan kekurangan” (vs.1b). Pernyataan “aku tak
akan kekurangan” diformulasi tanpa obyek penderita (kata kerja transitif),
dan probabilitas obyek dalam kalimat ini tidak terbatas “tak akan kekurangan
sesuatu” (bdk. Maz. 34:11; Ul. 2:7) , bisa sesuatu yang
bersifat material atau immaterial, tetapi pada ayat 3a, kata kerja yang
digunakan diikuti oleh obyek penderita: “ia menyegarkan jiwaku.”
Gambaran ayat 3a ini tidak dapat dipisahkan dari konteks klasik mengenai domba
yang hilang. Domba yang hilang ditemukan,
dan selanjutnya sang gembala memenuhi kebutuhan yang paling fundamental,
seperti yang digambarkan pada ayat 2.
Kombinasi antara “aku tak akan kekurangan” dan “ia
menyegarkan jiwaku” menuntun pembaca pada ide tentang seseorang yang
mati. Jika kita kekurangan segala sesuatu dari Tuhan dan jiwa kita tanpa
restorasi, akibatnya: “kematian.”
Hal ini dikuatkan dengan penggunaan kata salmawet “lembah
kekelaman” atau lembah kematian
pada ayat 4a. Kata jiwa atau nepes dalam cerita Sinai (Im. 19:28
dan 21:1) digambarkan sebagai entitas yang telah mati karena ketidaktaatan, dan
dalam buku Ratapan nepes dijelaskan sesuatu yang tidak terlindung atau
sesuatu yang kosong (bdk. Ratap. 1:16).
Kata nepes dalam Maz. 23 digunakan oleh pemazmur dalam konteks
pembaharuan. Restorasi jiwa hanya bisa terjadi bukan saja melalui tuntutan
loyalitas tetapi juga intimitas hubungan dengan Allah sebagai gembala. Gelar
Allah sebagai gembala, selalu menjadi alasan utama untuk memperoleh kekuatan
(vs. 1b), petunjuk (vss. 2a, 3b)
dan memuliakan Allah (vs. 3c).
Pernyataan pada ayat 3c “oleh karena namaNya” tidak menggunakan
subyek orang ketiga tunggal. Hal ini hendak menekankan kembali fokus utama dari
puisi: “Tuhan adalah gembalaku.” Semua aktivitas pada ayat 2-3b
dikerjakan oleh sang Gembala. Pernyataan “oleh karena namaNya” adalah
afirmasi penting siapa Tuhan kita dalam menghadapi kompetitor dari gembala
sejati. Aktivitas pada ayat 2-3b seperti “ia membaringkan aku di rumput yang
hijau…ia menuntun aku di air yang tenang…ia menyegarkan jiwaku…dapat
dilakukan oleh oknum lain dengan menggunakan nama yang lain (bdk. Hakim2 8; 1
Sam. 17; 25; 2 Raja2 19; Neh. 4; 6; Maz. 31; 42; 69; 74; 89:51-52). Semua
perikop ini, terutama Maz. 89:51-52 secara eksplisit menggambarkan penderitaan
orang yang setia oleh karena musuh jiwa. Artinya gambaran metafora tentang
karakter Allah di ayat 2-3b mempertegas keyakinan pemazmur tentang eksistensi
Allah dan apa yang Ia lakukan (vss. 1-3) sebagai individu yang memiliki
otoritas dan kekuasaan penuh dalam menggembalakan jemaatNya.
Deskripsi Praktis Mazmur 23:5-6
Dalam literatur purba, kata “piala” (vs. 5c) digunakan berhubungan
dengan peran para dewa. Di hadapan para penyembah, para dewa dalam literatur
Babel, memegang piala dan menyampaikan berkat atau kutuk (UT 128. II. 11-28;
CTA 15.II. 16-18). Orang Ibrani dalam PL, terutama pemazmur menggambarkan Allah
memegang piala ketika ia memberikan keadilan atau mengumumkan penghukuman (Maz.
75:9; Hab. 2:16). Menurut Musa, piala melambangkan kekuasaan Allah (Kel. 15:6,
12).
Dalam Mazmur 23 pernyataan “pialaku penuh berlimpah”
secara struktural berhubungan dengan ayat 3c “oleh karena namanya.”
Pemazmur menekankan bahwa berkat yang limpah (vs. 5c) terjadi sebagai akibat
logis dari peran Allah sebagai gembala (vs. 3c). Berkat ini dihubungkan dengan
“ia menyediakan hidangan atau table (vs. 5a), ia
mengurapi kepalaku dengan minyak (vs. 5b). “Minyak” oleh para gembala digunakan sebagai obat bagi
para kawanan yang terluka, dan “piala” digunakan oleh gembala untuk
menampung air bagi kawanan yang haus. Jadi di sini piala tidak berhubungan
dengan gambaran kekuasaan tetapi providensia kelimpahan Allah bagi umatNya.
Fokus utama dalam puisi ini adalah “Tuhan adalah gembalaku.” Kata-kata
seperti “air,” “piala,” “hidangan,” dan “minyak”
adalah gambaran minor tentang Allah sebagai gembala.
Ungkapan simbolik ayat 5 dan 6 diakhiri dengan gambaran tentang Allah
sebagai seorang gembala yang memilik rumah: “rumah Allah”
(vs.6b). Di sini Allah digambarkan sebagai ayah dalam keluarga yang menyiapkan
tempat tinggal atau rumah. Sebagai pembaca, kita dapat melihat ide pemazmur
tentang perkembangan hubungan antara Allah dan manusia dalam Mazmur 23. Dari
seorang gembala yang memelihara (vs. 1-3) kepada undangan untuk tinggal secara
permanen di rumahnya, dan ia mengadopsi setiap orang untuk menjadi anggota
keluarga: Aku akan tinggal di rumah Tuhan selamanya (vs. 6b).
Pemazmur menegaskan hal yang penting dalam level praktikal, bahwa tinggal di
rumah Allah harus memiliki hubungan dengan Allah, dan mau dituntun dan diajar
oleh Gembala. Sekalipun bet yhwh
“rumah Allah” bagi orang
Israel dihubungkan dengan kaabah di Jerusalem, tetapi ekspresi simbolik ini
digunakan untuk berbagai aspek dari kehidupan. Kaabah orang Israel adalah
tempat Allah tinggal dan Israel diangkat sebagai anak-anakNya. Intensitas dan
kualitas hubungan dengan Allah, melalui aktivtias rohani dalam keluarga dan
gereja adalah aspek lain untuk aplikasi “rumah Allah.” Tetapi aspek
eskatologis, memberi keyakinan yang sahih tentang surga yang menjadi rumah yang
sesungguhnya. Surga adalah tempat untuk didiami oleh orang-orang yang sudah
digembalakan Yesus.
Deskripsi Praktis Mazmur 23: 4
Ayat empat dianggap bagian yang menarik dari Mazmur 23. Selain perubahan
subyek kata kerja, juga perikop ini dimulai dengan gam ki “sekalipun”
yang membuatnya berbeda dengan eksperesi sebelum dan sesudah ayat 4. Frase gam
ki selain berfungsi untuk mengontraskan sesuatu tetapi juga untuk
mempertegas keyakinan dan iman pemazmur pada Allah. (bdk. Yes. 1:15; Hos.
8:10). Ayat 4 memberi informasi penting
dalam puisi ini karena pemazmur mendeklarasi keteguhan imannya. Jika ayat 3
mengungkapkan tujuan hidup, yakni bersatu dengan Allah, maka ayat 4 memberi
fokus pada aktivitas yang nyata atau situasi real dari kehidupan. Pada level
ini, pengakuan tentang iman dan kepercayaan mendapatkan tempat yang penting
sebagai tema dari Mazmur 23. Hal ini penting, karena pengakuan iman secara
publik seperti pada ayat 1-3 adalah perlu, tetapi pengakuan iman pribadi dalam
ayat 4-6 adalah sangat penting. Sistem sekuritas iman untuk menghadapi
kehidupan yang nyata, hanya datang dari totalitas iman individu kepada Allah.
Deklarasi tentang keyakinan dan iman peribadi lebih dari “aku tak akan
kekurangan” (vs. 1). Kelimpahan hidup yang dikaruniakan oleh Allah tidak
resistan terhadap problem yang real, oleh karena itu komitmen iman pribadi
sangat penting dalam realitas.
Ekspresi bahasa pada ayat 4-5a adalah sama dengan gambaran tentang keselamatan
yang diwartakan oleh Yesaya (baca Yes. 41:8-13, 14-16; 43:1-4, 5-7;
44:1-5). Khotbah Yesaya didahului oleh panggilan: “jangan takut”
dilanjutkan dengan janji keselamatan. Panggilan dalam Maz. 23 untuk jangan
takut bersifat implisit melalui tindakan Allah dalam ayat 2 dan 3. Respons
pemazmur pada ayat 4b “aku tidak takut bahaya” dan diikuti oleh “karena
engaku besertaku” merupakan afirmasi terhadap janji perlindungan Allah.
Jadi partikel penghubung dalam bahasa Ibrani gam ki “sekalipun”
pada ayat 4 menegaskan kembali tema deklarasi tentang iman dan kepercayaan, dan
inilah alasannya “I fear no evil, for…” (saya tidak akan takut
kejahatan karena….).
Di sini artikel ki “karena/sebab” berperan sebagai
transisi untuk subyek “you” dalam
“engaku besertaku.” Jadi yang hendak ditekankankan oleh pemazmur adalah
intimitas hubungan antara “I” dan “you” (Allah),
lebih bersifat personal dan intensitas hubungan yang lebih dekat dengan Allah.
Pemazmur, dalam ayat 4, membangun skenario yang berlawanan. Kelimpahan hidup
pada ayat 2-3 dan kehidupan kekal pada ayat 5-6 tidak dapat diancam oleh
kehadiran salmawet “lembah kekelaman /kematian” pada ayat 4.
Bagi para gembala salmawet adalah ancaman fisik yang nyata, tetapi
dalam konteks kita, itu lebih dari ancaman fisik. Tapi apapun konteksnya,
kehadiran Tuhan adalah dasar dari sistem sekuritas fisik dan rohani kawanan
Allah. Pernyataan “ia menyegarkan
jiwaku” (vs.3) dan “tinggal di rumah Tuhan selamanya” (vs.6) adalah interkoneksi yang penting
untuk mengerti komitmen iman dalam menghadapi ancaman yang real pada ayat 4.
Kesimpulan
dan Aplikasi
Pernyataan “Tuhan
adalah gembalaku” adalah gambaran peran Allah yang penuh
kuasa dengan membangun perjanjian (covenant) dengan umatnya, perjanjian itu
dimeteraikan melalui ritual simbolik “Engaku
menyediakan hidangan bagiku” (vs. 5). Ritual simboli
ini menuntut jawaban iman dari umatNya. Allah sebagai “Gembala” adalah gambaran
yang penting tentang Allah bagi kehidupan semua orang di masa sekarang dan akan
datang.
Dalam level praktis, pernyataan “Tuhan adalah gembalaku” adalah
gambaran tentang eksistensi Allah yang penuh kuasa dalam menuntun umatnya.
Gelar inilah yang menjadi alasan mengapa pemazmur dan semua pembaca tidak perlu takut terhadap kekurangan dan
terhadap bahaya yang mengancam setiap saat. Membaca mazmur 23, memberikan efek positif terhadap perspektif
theology mengenai keselamatan. Allah tidak hanya inisiator untuk menyiapkan
keselamatan melalui ungkapan metafora dari pemazmur 23, tetapi ia juga menuntut
totalitas komitment iman. Komitmen itu lebih dari pengakuan verbal, realita yang sulit akan menguji komitmen iman
pemazmur.
Metafora tentang tuntunan dan tindakan Allah sebagai gembala dalam Maz.
23:2-3 dan ayat 5-6 menempatkan manusia sebagai obyek pasif dari keselamatan
yang dikerjakan oleh Allah. Tetapi lebih dari itu Allah, dalam ayat 4, menuntut
respon aktif dari manusia, respon iman yang konsisten. Hal ini penting karena
realitas hidup selalu paradoks, ada janji pengharapan tetapi ada realitas yang
sulit dalam kehidupan nyata. Iman dalam
realita lebih sulit dari iman yang diakui
secara verbal di kebaktian.
Melalui pengalaman raja Daud, yang diekspresikan dalam Mazmur 23, tetap
menjadi inspirasi untuk perjalanan kita sebagai kawanan Allah: “aku berjalan dalam lembah kematian, aku
tidak takut karena Allah besertaku.” (vs. 4), karena “Tuhan adalah
gembalaku.” ***
0 komentar:
Posting Komentar