BAIT Ministry

Rabu, 14 Juli 2021

Bangga atau Sombong

 


Herschel Najoan

Setiap manusia memerlukan rasa bangga dalam hidupnya. Rasa bangga adalah motivasi pribadi untuk memacu seseorang berkarya lebih dari apa yang sebelumnya pernah dia lakukan. Tanpa rasa bangga, seseorang akan terus hidup dalam bayang-banyang orang lain, akan hidup tanpa prestasi, tanpa rasa percaya diri dan akan sangat sulit baginya melepaskan diri dari kehidupannya di bawah ”tempurung”.

Berdiri di samping si ”bangga”, adalah saudara kembarnya ”si sombong”. Banyak orang tidak bisa membedakan, siapa sebenarnya ”si bangga” dan mana ”si sombong” tetapi adalah penting untuk mengetahui siapa sebenarnya penguasa alam pikiran anda karena kedua ”mahkluk” tanpa wujud itu adalah penguasa kutub positif dan penguasa kutub negatif. Bila kita melangkah terlalu jauh, tanpa kita sadari kita akan berada pada kutub negatif yang merusak. Perasaan bangga, akan berubah menjadi kesombongan yang merusak diri sendiri dan orang lain bila kebanggaan itu mulai ditonjokan pada orang lain dan mulai melecehkan kesanggupan orang lain. ”Lihat saya, betapa hebatnya saya ini, kalau bukan saya, pasti hanya saya yang bisa, semua itu karena saya” dan masih banyak lagi penonjolan diri sendiri terhadap orang lain, tidak terkecuali dalam pelayanan di jemaat..

Bukan menjadi suatu masalah bila kita memiliki kebanggaan dalam pelayanan karena itu akan menjadi motivasi bagi kita untuk terus maju dalam berkarya. Rasul Paulus-pun bermegah tentang pelayanannya bagi Allah  Roma 15 : 17. Ia tidak bermegah atau bangga dengan dirinya sendiri tetapi dalam apa yang Allah sudah lakukan melalui dirinya dalam membawa orang lain kepada Kristus.

Paulus dalam kehidupannya pernah mengalami masa-masa di mana dia memiliki kebanggaan yang berada pada kutub negatif alias kesombongan. Sebelum dia bertemu dengan Kristus dalam perjalanan ke Damaskus, sebagai seorang Yahudi dia merasa bahwa dia adalah seorang yang superior dalam keimanan dan aktifitasnya. ”Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi:  disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat.” tetapi kemudian Paulus merasakan bahwa kebanggaan negatifnya itu adalah hal yang sia-sia.  Dia kemudian menyadari bahwa masing-masing kita sangat berharga bilamana kita membiarkan Allah menyelamatkan kita, mengubahkan kita dan menggunakan kita dalam pelayanan tetapi dalam hal ini tidaklah pantas kita bermegah karena ”aku-nya” tetapi apa yang Allah sudah lakukan melalui kita.

Sebagai pengikut Kristus, kita semua sudah ditentukan untuk  menjadi pelayan dalam melaksanakan tugas mulia dalam Matius 28 : 19 – 20. Talenta kita, kesanggupan kita, jalur pelayanan kita berbeda dengan orang lain. Kita mungkin memiliki 10 talenta tetapi orang lain hanya memiliki dua talenta. Seorang pendeta mungkin sudah berhasil mempertobatkan ratusan orang dimana pendeta itu memiliki kesanggupan yang luar biasa dalam berkhotbah dan berkharisma tetapi orang lain hanya bisa menjalin persahabatan, membawa tamu ke KKR dan memberikan penjelasan seadanya pada pertanyaan sahabatnya.  Tetapi semuanya memiliki keterkaitan yang erat dalam membawa orang lain ke dalam kebenaran sehingga tidak perlu ada ada ungkapan, ”kalau bukan saya, tidak ada 100 orang yang dibaptiskan di tempat itu”, ”kalau bukan saya tidak ada orang yang hadir di KKR itu”, ”kalau bukan saya KKR itu pasti tidak jalan karena dana KKR itu saya yang siapkan”, ”kalau bukan saya KKR itu tidak diadakan di tempat strategis itu, karena saya punya hubungan baik dengan pemilik tempat itu maka semuanya bisa berjalan dengan baik”,  ”kalau bukan saya, pasti KKR itu sudah berhenti di tengah jalan” lebih lanjut lagi dalam pelayanan di jemaat, ”kalau bukan saya, jemaat itu tidak berkembang”, ”kalau bukan saya, program jemaat yang favorit itu pasti tidak jalan”, ”kalau bukan saya, jemaat itu tidak berhasil membuka cabang baru”, ”kalau bukan saya, pasti jemaat itu belum memiliki gedung gereja sendiri” dan masih banyak lagi ”kalau bukan saya” yang tidak perlu diungkapkan telah menyebabkan perpecahan sehingga pekerjaan Tuhan dirusakkan.

 Menjadi seorang pelayan yang baik, kita tidak perlu menyombongkan apa yang telah kita perbuat tetapi apa yang diperbuat Kristus bagi kita.  Menjadi seorang pelayan yang baik, bukan hanya memberitakan pekabaran yang lengkap dari apa yang kita ketahui mengenai kebenaran tetapi adalah lebih penting memberikan teladan yang baik dari apa yang dia ajarkan.  Seorang pelayan yang baik, hidupnya berpadanan dengan perkataannya, dia menghindari kehidupan yang munafik dan menonjolkan Kristus dalam hidupnya.


0 komentar:

Posting Komentar