Masing-masing komunitas masyarakat memiliki adat dalam proses pemakaman orang yang sudah meninggal, demikian juga dengan masyarakat Tana Toraja dimana mereka mepunyai tradisi sendiri bagi tiap kerabatnya yang meninggal yaitu pesta adat ”Rambu Solo”.
|
Pada komunitas masyarakat Toraja terdapat rumah-rumah bambu yang dibuat bersambung dimana dalam Bahasa Toraja, rumah-rumah bambu itu dikenal dengan nama Lantang. Sebuah rumah besar, tongkonan, sebagai rumah khas adat Toraja seolah menjadi pusat dari rumah-rumah bambu itu. Sebab, di kiri kanan rumah besar itulah, rumah-rumah bambu itu didirikan. Tiap sekat rumah bambu itu diberi nomor. Pendirian rumah-rumah bambu itu merupakan pertanda akan dimulainya sebuah pesta adat dalam tradisi masyarakat Tana Toraja. Pesta adat atas meninggalnya kerabat. Pesta adat yang merupakan warisan tradisi para leluhur; upacara penguburan atau Rambu Solo'. Dalam bahasa lain, Rambu Solo' juga kerap dimaknai sebagai pesta kematian. Akan tetapi, maknanya tentu bukan berpesta atas kematian kerabat, melainkan upacara mengantar kepergian kerabat yang telah berjasa dalam hidupnya.
Pada fase pertama, mereka namakan Ma’karudusan yang mana akan dipotong
dua ekor kerbau, lalu fase Ma’pasa’tedong. Saat ini semua kerbau yang
telah disepakati jadi korban akan dikumpulkan di halaman tongkonan tempat
persemayaman yang meninggal, lalu kerbau itu diarak keliling bala’kaan sebanyak
tiga kali. Keesokan harinya dilakukan pemindahan jenasah dari tongkonan ke
lumbung. Setelah diadakan Ma’pasonglo jenasah dipindahkan lagi ke lakkian,
suatu tempat terdekat dengan tempat pemakaman. Setiap pemindahan selalu
diadakan arak-arakan. Puncak acara ialah semua kerbau korban dipotong dan
dibagikan sesuai adat yang berlaku.
Menurut sebuah sumber, apa yang dilakukan dalam pesta Rambu
Solo' sesungguhnya hanyalah sebuah simbol. Simbol dari sebuah tradisi yang
turun temurun. Bagi sebagian orang, tradisi ini bisa jadi dinilai sebagai
pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang harus dikeluarkan untuk
penyelenggaraannya. Bahkan, ada yang sampai tertunda berbulan-bulan untuk
mengumpulkan biaya pelaksanaan upacara ini; bahkan ada yang menyatakan, orang
Toraja mencari kekayaan hanya untuk dihabiskan pada pesta
kematian. Bagi masyarakat Toraja, berbicara pemakaman bukan hanya berbicara
upacara, status, jumlah kerbau yang dipotong, tetapi juga soal malu (siri'). Makanya,
upacara Rambu Solo juga terkait dengan tingkat stratifikasi sosial. Dulunya,
pesta meriah hanya menjadi milik bangsawan kelas tinggi dalam masyarakat ini.
Akan tetapi, sekarang mulai bergeser. Siapa yang kaya, itulah yang pestanya
meriah. Berbagi makanan adalah hal biasa. Olehnya itu, berkunjung ke rumah
orang Toraja akan selalu diajak makan dan tidak boleh ditolak. Jika sudah makan
dan kenyang, tetap ambil beberapa suap sebagai tanda persaudaraan dan
penghormatan.
Menurut
hukum adat Toraja, pewaris yang memberi terbanyak pada upacara pemakaman akan
menerima bagian terbesar warisan, entah dia perempuan atau laki-laki.
Kepercayaan leluhur
(aluk todolo) jiwa yang mati mengendarai jiwa kerbau dan babi yang dikorbankan.
Makanya,
hewan terbaik dan paling berharga adalah Tedong Bonga.
Sebab, dengan bahu yang besar dan tanduk panjang yang kuat, bisa dikendarai
bagi yang meninggal melintasi gunung dan lembah menuju alam baka (puya). Orang
Toraja percaya bahwa jiwa dari hewan korban akan mengikuti tuannya yang
dikorbankan pada upacara pemakaman. Dipercaya pula, roh dari rumah dan semua
milik yang meninggal akan mengikuti pemiliknya. Karenanya, sekalipun seseorang
meninggal di tempat lain, keluarga berusaha membawanya kembali ke tempat asal
untuk upacara pemakaman.
Sesuai dengan bahan masukan ini mari kita telaah apakah kita sebagai
anggota GMAHK dapat menjalankan upacara ini. Ada beberapa falsafah dalam
upacara adat ini yang bertentangan dengan Firman Tuhan.
1. Untuk alasan pemborosan dan berat untuk dilaksanakan, mungkin ini tergantung kepada kemampuan seseorang. Tetapi kalau ini akan dilaksanakan dengan motif bukan karena kemampuan tetapi karena malu ( siri ) maka tentu saja sebagai orang Kristen tidak boleh melaksanakannya. Karena ada yang terpaksa supaya tidak malu, lalu mereka mengadakan acara tersebut sampai bangkrut dan bahkan berhutang.
2.
Demikian juga pembagian warisan, siapa pemberi terbanyak akan menerima
bagian terbesar. Mungkin kalau warisan itu kecil tidak akan ada permasalahan,
karena bisa jadi yang diberikan itu lebih besar nilainya daripada yang akan dia
dapat dari warisan. Tetapi kalau jumlah warisan itu besar, maka akan memancing
timbulnya trik yang akan dimainkan oleh anggota keluarga untuk menyumbangkan
lebih dari kemampuannya. Inipun harus dihindarkan oleh mereka yang mengaku
Kristen.
I Timotius 6:9,10 orang yang ingin kaya jatuh ke dalam berbagai pencobaan dan cinta akan uang adalah akar segala kejahatan.
3.
Falsafah semua milik yang meninggal akan mengikuti pemiliknya bertentangan
dengan I Timotius 6:7 sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan
kitapun tidak dapat membawa apa-apa keluar.
Pengkhotbah
9:5,6 menyatakan orang mati tidak tahu apa-apa.
Pengkhotbah
9:10 tidak ada pekerjaan dan pertimbangan di dunia orang mati
Yohanes
11:13 Yesus berkata bahwa kematian itu
adalah tidur
I
Tesalonika 4:16 pada waktu Yesus datang kedua kali barulah orang mati
dibangkitkan.
Kita
tidak mengenal alam baka bagi orang mati. Orang yang mati akan dikuburkan dan
debu akan kembali menjadi debu. Kejadian 3:19
0 komentar:
Posting Komentar