BAIT Ministry

Sabtu, 31 Juli 2021

Pendidikan Advent : Masih adakah semangat mula-mula itu ?

 

Yoshen Danun

Berbicara mengenai dunia pendidikan Advent, hal tersebut tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Gereja Advent dan pertumbuhannya.   Sebenarnya Sekolah Dasar  sudah disuarakan mulai dari era tahun 1850an – 1860an. Pada tahun 1853 seorang wanita muda bernama Martha Bryington yang baru berusia 19 tahun yang tinggal di Bucks Bridge, New York sangat tertarik dengan pekerjaan Pendidikan.  Ia kemudian mendirikan sebuah Sekolah di rumahnya dengan 17 murid, dibantu oleh Lucinda Paine dan John Fletcher Byington.  Tahun 1857 Louisa M.  Morton membuka sekolah lagi di Battle Creek, tetapi hanya berdiri selama satu tahun. Tahun 1860 sekolah itu dibuka kembali oleh John Fletcher, namun ditutup kembali karena Fletcher melanjutkan pendidikannya dibidang kedokteran. 


Tahun 1960 E.G. White memberikan perhatian khusus kepada pendidikan karena dibutuhkan pekerja-pekerja Injil untuk ladang yang masih luas. Pada bulan Juni 1872 sebuah sekolah telah dimulai di Battle Creek, Michigan di bawah asuhan Goodloe Harper Bell di sebuah rumah kayu kecil. [1].  Sejak itu berkembang dari tahun ke tahun sampai sekarang Gereja Masehi Advent Ketujuh telah  mengoperasikan 7.200 sekolah, Perguruan Tinggi dan Universitas dengan jumlah siswa dan mahasiswa 1.400.000 dan diajar oleh 75.000 guru, tersebar di lebih dari 145 negara.  Dengan jumlah tersebut, Gereja Masehi Advent Ketujuh menjadi pengelola sekolah dan universitas terbesar kedua setelah Gereja Roma Katolik di seluruh dunia. Program Pendidikan Advent  adalah menyeluruh (comprehensive), mencakup “mental, fisik, sosial dan rohani” dengan” pertumbuhan intelektual dan pelayanan kepada sesama manusia” yang merupakan tujuan pendidikannya [2]

 

Sejarah Pendidikan Advent di  Indonesia

Pekabaran Gereja Advent masuk ke Indonesia pada tahun 1834 oleh dua misionari yaitu Henry Lyman dan Samuel Munson, yang kemudian mati sahid dalam perjalanan ke Tanah Batak, kemudian menjadi tonggak sejarah masuknya pekabaran Advent ke Indonesia, yang kemudian berkembang dengan didirikannya gereja di beberapa tempat, juga sekolah-sekolah dan Lembaga Pendidikan Advent lainya atas kerinduan para pemimpin gereja pada waktu itu.

 

Setelah sekian puluh tahun meninggalnya dua misionari di Tanah Batak tersebut, maka pada tahun 1899 seorang Pendeta Metodis (yang menerima kebenaran Gereja Advent saat dirawat di RS Advent Battle Creek), memilih menjadi misionari ke Indonesia walaupun dengan biaya sendiri.  Saat  tiba di Padang pada tahun 1900 langsung membeli tanah dengan dua rumah diatas tanah yang dibelinya.  Munson kemudian mendirikan Sekolah Bahasa Inggris dengan 53 murid pertamanya, dengan penghasilan dari sekolah inilah mereka hidup dan membiayai penginjilan.  Walaupun menghadapi banyak tantangan dari pemerintah Belanda, namun semangat misionari berkobar terus sehingga pekabaran Advent meluas ke seluruh nusantara beberapa puluh tahun kemudian. [3].

 

Sekolah Advent pertama di Indonesia Timur

Seorang pemuda bernama Samuel Rantung, yang masih menjadi guru di Singapura kembali ke kampungnya di Lowu, Ratahan pada tahun 1921, untuk beristirahat karena menderita penyakit.  Walaupun kondisi kesehatannya tidak prima, tapi semangat untuk menyampaikan kebenaran yang sudah diyakininya kepada kaum keluarganya tidak terbendung lagi.  Dari malam ke malam Samuel Rantung mengajarkan Alkitab di rumahnya dan itu berlangsung selama 3 bulan.  Samuel Rantung kemudian kembali ke Singapura untuk melanjutkan pekerjaannya dan meninggalkan kaum keluarganya yang haus akan Firman Tuhan.  Dari Singapura, Samuel Rantung kemudian pergi ke Garut, dan terus ke kampung halamannya di Lowu bersama istri dan seorang anak muda bernama Minan Direja.  Pada 30 Desemer 1921, sebanyak 22 orang penduduk desa Lowu dibaptiskan menjadi Advent oleh Pdt. F. A. Detamore, Ketua Uni Malaysia.  Besoknya pada tanggal 31 Desember 1921 diorganisirlah jemaat pertama di Sulawesi dengan 25 orang anggota, yang terdiri dari 22 orang yang baru dibaptis ditambah Samuel Rantung dan istri, serta guru Injil Minan Direja.  Inilah Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh yang pertama di Indonesia kawasan Timur

 

Dengan iman dari para anggota yang telah menerima kebenaran Sabat, maka dimulai pulalah pengalaman penderitaan mereka.  Mereka diejek, dipersulit di sekolah dan tidak sedikit yang dicambuk setiap hari Senin karena tidak masuk pada hari Sabtu, namun iman mereka tidak luntur, karena mereka lebih takut kepada Allah daripada kepada manusia.  Karena perlakuan yang tidak adil itu, dan adanya perintah dari Pemerintah Hindia Belanda bahwa setiap murid yang absen pada hari Sabtu harus dihukum, hal ini mendorong para anggota gereja untuk membuka sekolah sendiri agar membebaskan mereka untuk tidak bersekolah pada hari Sabtu (sekolah 5 hari).  Di bawah kepemimpinan Pdt. Albert Munson, maka sebuah sekolah diijinkan dibuka di Lowu, Ratahan dengan guru pertama adalah Sarah Takapente, seorang guru berijazah Normal School dari Amurang.  Sebanyak 25 orang anak anggota jemaat terdaftar sebagai murid kelas 1 – 3.  Lefran Pasuhuk dari Lowu membantu Sarah Takapente memulai pekerjaan itu. Demikian seterusnya sehingga sekolah ini berjalan dengan silih berganti personil dalam kepemimpinan, dan kemudian berkembang lagi dengan berdirinya sekolah-sekolah gereja di tempat lain beberapa tahun kemudian. [4].  Pada tanggal 16 Agustus 1948 resmilah dibuka North Celebes Training School di Jalan Tompaso II, Minahasa.  NCTS sempat ditutup pada masa pemberontakan Permesta, dan dibuka kembali pada tahun 1962 sekaligus berubah nama menjadi North Sulawesi Academy (Sekolah Lanjutan Advent Tompaso). Setelah itu  Sekolah-sekolah berasrama kemudian mulai berdiri antara lain SLA Doyobaru-Irian, SLA Mebali-Toraja, SLA Waimame-Ambon dan beberapa sekolah gereja lain di berbagai tempat di Indonesia.

 

Dari sekolah sekolah inilah dihasilkan pekerja-pekerja Injil yang ulet sehingga pekerjaan Tuhan di Indonesia Kawasan Timur semakin berkembang.  Selain pekerja-pekerja Injil, juga pekerja-pekerja di dunia bisnis, yang juga merupakan kontributor pekerjaan Tuhan melalui perpuluhan dan persembahan mereka.

 

Masih menyalakah obor itu?

Sekolah yang mula-mula diajar oleh guru-guru yang penuh pengabdian.  Tidak sedikit mereka tidak mendapat gaji yang pasti.  Kalau ada uang dibayar, kalau tidak ada ya sabar.  Istilah populernya "guru damai-damai".  Walaupun dibayar dengan damai-damai, tetapi semangat mereka tidak pernah surut, sampai anak didik di bawah asuhan mereka berhasil.  Itu terbukti, dengan begitu banyaknya lulusan sekolah-sekolah Advent yang berkarya di pekerjaan Tuhan (Mission) dan juga di luar mission.  Mereka-mereka inilah yang menjadi kontributor gereja.

 

Sejalan dengan berkembangnya perekonomian di Indonesia, dan kesempatan untuk menjadi guru terbuka luas, maka pilihan menjadi guru di Sekolah Advent mulai surut.  Bahkan Fakultas Keguruan  di Universitas Advent sangat sedikit diminati mahasiswa.  Selain itu jurusan guru sangat terbatas di Universitas Advent.  Karena persoalan hari Sabat bukan lagi jadi penghalang di Perguruan Tinggi Negri (PTN) sekarang ini, maka pilihan orang Advent untuk menjadi guru jatuh pada PTN.  Untunglah lulusan PTN  sebagian besar masih memiliki jiwa pengabdian di mission sehingga beberapa lulusan PTN masih mau mengajar di sekolah Advent.  Oleh karena itu obor ini masih tetap menyala.

 

Sekolah Advent menjadi pilihan kedua

Indonesia yang berkembang perekonomiannya di era tahun 80-90an, menjadikan banyak dari anggota Advent menikmati penghasilan diatas rata-rata.  Saat yang sama terbuka juga sekolah-sekolah modern dengan fasilitas lengkap dan berbahasa Inggris, hal ini menyebabkan sebagian anggota yang sudah mapan ekonominya memilih mendaftarkan anak-anak mereka di sekolah modern tersebut.  Belum lagi yang langsung mengirim anaknya ke luar negeri. Sehingga yang tinggal terdaftar di sekolah Advent  adalah mereka yang pada umumnya berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah, sehingga persoalan dana operasional tetap menjadi kendala di sekolah-sekolah Advent.  Inilah yang menjadi tantangan bagi organisasi gereja dan para pengelola sekolah (Dewan Sekolah). Mereka harus kreatif dan bahkan mungkin inovatif untuk menjadikan sekolah Advent mejadi sekolah berprestasi dan semakin bermutu dalam kualitas sehingga menjadi pilihan utama seluruh anggota gereja.

 

Support Mission (Daerah) / Confrence (Konferens)

Diakui memang bahwa Mission / Confrence tidak tinggal diam melihat perkembangan sekolah-sekolah Advent.  Hanya memang masih belum optimal menurut kacamata penulis (kecuali itu Boarding School).  Tapi sekolah gereja (Church School) kebanyakan dilepaskan ke gereja dan Dewan Sekolah.  Sehingga tidak sedikit sekolah gereja dibuat hanya untuk meciptakan lapangan kerja yang sebenarnya secara finansial belum mampu.  Ujung-ujungnya digaji lagi dengan ‘damai-damai’, dan hasil lulusannya tentulah damai-damai juga.

 

Hal yang kurang mendapat dukungan dari organisasi Gereja adalah, terutama dari tingkat "mentri" (Direktur Pendidikan Uni).  Seperti kita ketahui bahwa tahun ajaran ini SD dengan UASBS+UAS ada yang jatuh pada hari Sabat.  Penulis sangat menyesali kejadian yang terulang kembali tentang  kesulitan izin untuk pelaksanaan yang jatuh pada Hari Sabat itu.  Jika sekiranya para petinggi kita datang mengadakan kunjungan (silahturahmi) kepada pemerintah dalam hal ini Mentri Pendidikan dan jajarannya, terutama pada saat penggantian mentri, selain berkenalan juga sekaligus menyampaikan keyakinan kita tentang pemeliharaan hari Sabat sebagai salah satu dari butir ‘Iman’ kita, maka kasus ujian yang dilaksanakan pada hari Sabtu tidak akan membuat Kepala Sekolah bekerja keras dalam pengurusan untuk meminta dispensasi dengan menggantinya dengan hari lain.  Untunglah sekolah di mana penulis menjadi salah seorang pengurus Dewan Sekolah telah mendapatkan dispensasi tersebut, walaupun sebelumnya ditolak.  Di sinilah doa itu sangat berperan.  Semoga dikemudian hari, sebelum UAN/UAS dilakukan, petinggi kita dari 2 Uni sudah lebih dahulu berinisiatif menghadap Menteri Pendidikan dan  jajarannya untuk menyampaikan permohonan agar UAN/UAS tidak jatuh lagi pada hari Sabat.

 


Referensi:

1.         E. H. Tambunan, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Indonesia, Perintisan dan Pengembangannya, 1999. IPH Bandung, hal. 401-404

2.        http://en.wikipedia.org/wiki/Seventh-day_Adventist_Church#Education

3.        E. H. Tambunan, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Indonesia, Perintisan dan Pengembangannya, 1999. IPH Bandung, hal. 94-97

4.        Nyalakanlah Obormu, Buku Kenangan Menyambut Konvensi Guru Nasional I, Dua Uni 1996, hal. 225

.


0 komentar:

Posting Komentar