Apakah Saya Salah Pilih ?
Oleh : Pdt.
Jacky Runtu
Pertanyaan ini bukan ditujukan kepada Pilkada yang sedang semarak atau desas-desus pemilihan kepemimpinan gereja. Pertanyaan ini dapat muncul seiring berlalunya waktu dalam perjalanan kehidupan berumah-tangga. Pada saat berpacaran kemudian pertunangan dan akhirnya pernikahan, setiap tahap itu berlalu dengan perasaan sukacita. Bulan madupun terasa sangat membahagiakan, oleh karena mereka menikmati kebersamaan dengan harmonis. Namun kita tidak punya istilah “tahun madu”. Begitu bulan-bulan berlalu memasuki tahun-tahun pernikahan, gejolak rumah-tangga mulai muncul. Kebersamaan yang harmonis mulai diuji dengan kenyataan bahwa setiap pribadi manusia berbeda, apalagi antara pria dan wanita. Mulai kelihatan sifat asli pasangannya: kekanak-kanakan atau sudah dewasa.
Sifat kekanak-kanakan adalah sifat yang
selalu minta perhatian dan dilayani. Kebahagiaannya adalah apabila diperhatikan
dan semua keinginannya dipenuhi. Sebaliknya orang dewasa akan berbahagia
apabila dia bisa melayani dan membahagiakan orang lain. Seorang yang dewasa
dalam pernikahan akan lebih cenderung berusaha membahagiakan pasangannya dan
mencari jalan keluar dari setiap permasalahan dengan lebih banyak tenggang rasa
dan pengertian. Namun mereka yang kekanak-kanakkan akan bersikap menuntut
dilayani dan dituruti keinginannya. Apa yang membuat dirinya berbahagia
dianggap itulah kebahagiaan rumah-tangganya. Mari kita mencoba untuk mendewasakan
diri kita.
Apabila muncul konflik dalam rumah-tangga,
lalu muncul perasaan bahwa rumah-tangganya tidak bahagia, maka terbayang
pribadi-pribadi lain yang sempat dekat dengannya, lalu mulai berandai-andai.
Andaikan saya menikah dengan si ini atau si itu. Pasti saya bahagia. Lihatlah rumah-tangga
si ini dan si itu sangat harmonis. Saya menyesal menikah dengan pasngan saya
yang sekarang. Benarkah saya telah salah pilih ?
Sebenarnya kebahagiaan atau kesusahan,
terkadang kita sendiri yang membuatnya dengan sikap kita yang baik ataupun yang
buruk. Bagaimana kita bisa katakana kita salah pilih,
padahal kita tidak menjalani kehidupan rumah-tangga itu dengan oranglain.
Pada waktu kita berpacaran, pantang sekali
untuk mengatakan putus. Film-film percintaan sering menceritakan bagaimana
hubungan pacaran mendapat tantangan-tantangan dan berakhir dengan bahagia yang
dinyatakan dalam pesta pernikahan. Jarang kita mendapat cerita bagaimana kita
harus berusaha untuk mempertahankan rumah-tangga apapun tantangan yang kita
hadapi. Apabila ada orang gonta-ganti pacar akan dipandang jelek sebagai
playboy atau playgirl. Namun sebenarnya tidak ada hukum yang melarang itu.
Adalah sangat aneh memiliki idealisme untuk mempertahankan kehidupan berpacaran
tetapi sangat mudah untuk mencari jalan bagi perceraian. Justru itulah waktu
yang tepat untuk “mencari pasangan yang tepat” Tetapi apabila
sudah menikah maka tidak boleh lagi “mencari” dengan membanding-bandingkan atau
mencocokkan diri kita dengan yang lain. Firman Tuhan dengan jelas mengatakan
“Aku membenci perceraian” “apa yang telah dipersatukan Allah, tidak dapat
dipisahkan manusia”. Tidak ada istilah salah pilih karena bukan lagi
saatnya untuk mencari tetapi inilah saatnya untuk “menjadi
pasangan yang tepat”. Pada saat kita memasuki upacara pernikahan, kita sudah
memiliki pasangan yang tepat, hasil dari kebebasan kita memilih pasangan.
Tetapi setelah pernikahan, tidak ada lagi kebebasan kita untuk memilih pasangan
yang tepat, melainkan kita harus menjadi pasangan yang tepat.
Bila kita sudah menikah, maka konsentrasi
kebahagiaan itu bukan lagi pada apa yang membuat saya berbahagia, tetapi
bagaimana membuat kita berbahagia. Mencari pasangan yang tepat setelah
menikah adalah berpusat kepada diri sendiri. Mereka yang berfikir untuk
bercerai sedang menghidupkan kehidupan yang mementingkan diri sendiri. Menjadi
pasangan yang tepat sekalipun itu menyakitkan hati, akan berbuah menjadi
kebahagiaan sejati karena akan terlihat suatu kehidupan kasih yang tidak
mementingkan diri sendiri.
Nasihat Firman Tuhan dalam Efesus 5 : 21 menyatakan: “ rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.” Dalam kehidupan berumah-tangga, marilah kita menjadi pasangan yang tepat bagi pangan kita, dengan masing-masing menghidupkan roh kerendahan hati.
0 komentar:
Posting Komentar