DOA DAN SOTERIOLOGY
URAIAN SINGKAT ALKITABIAH
(lanjutan)
Oleh: S. Tandidio, MA-R, M.Th
IV.
Theologi, Perilaku, dan Sikap Saat Berdoa
Di bagian 1, arti doa dalam PL telah diberikan
secara singkat. Bagian dua telah
membahas dengan ringkas arti doa berdasarkan PB. Sebagai lanjutan dari dua bagian tersebut,
kali ini kita akan melihat—dengan ringkas—tentang theologi, perilaku, dan sikap
saat berdoa.
4.1.
Theologi
Theologi doa tidak terlepas dari pengertian
kata-kata PL qārā’, ša’āl, pālal, zā‘aq, śîach,
tәchinnāh,
atau tәpillāh;
dan kata-kata PB proseuchomai, erôtaô, deomai, aiteô, entugchanô, atau epikaleô—seperti dalam bagian 1 dan 2. Berdasarkan arti kata-kata PL dan PB di atas, dapat
diformulasikan bahwa doa berkaitan dengan kehidupan kekal dan kehidupan fana manusia.
Melalui doa manusia
mengakui bahwa Tuhan sebagai sang Khalik. Doa adalah sarana yang manusia
gunakan untuk memohon penebusan, pengampunan dosa, dan anugrah Allah. Ini berhubungan dengan keselamatan manusia—hidup
yang kekal. Doa juga berhubungan erat
dengan keperluan badaniah manusia fana di atas dunia. Di saat doa dipanjatkan kepada Allah, manusia
mengakui bahwa dia adalah ciptaan dan Allah adalah Pencipta. Doa yang dicontohkan oleh Tuhan Yesus dalam
Mat 6:9-13
merupakan contoh konkrit
bahwa doa berkatian dengan soteriology dan
kehidupan manusia di dunia fana.
Tidaklah heran jika Paulus mengatakan,
“tetaplah berdoa” (Kol 4:2; 1 Tes 5:17).
Doa adalah sarana
permohonan pengampunan dosa dan rahmat Allah. Secara mistikal, doa adalah
satu alat di mana manusia berbicara dan melepas rindunya kepada TUHAN dalam
satu hubungan yang erat dan teguh. Dalam doa manusia memanggil nama-Nya,
berseru kepada-Nya, mengundang Dia untuk hadir dalam permasalahan, memohon
kehadiran-Nya, meminta berkat dari-Nya, memohon keadilan-Nya, mengharapkan
petunjuk-Nya, menyampaikan keluh-kesah jiwa, bertanya pada-Nya, menuntut
janji-Nya, dan memohon pengantaraan. Kasih karunia Allah adalah harapan
utama yang terkandung dalam doa seseorang. Makna harafiah dan mistikal doa ini
menunjukkan bahwa secara theologis, manusia adalah ciptaan Allah yang telah
jatuh ke dalam dosa dan putus hubungan dengan sang Pencipta. Doa adalah sarana
di mana manusia dapat bertemu dengan penciptanya secara spirituil dalam satu
hubungan yang erat dan teguh.
Doa
adalah bagian dari šachah (Ibrani)
atau proskuneô (Yunani) “kebaktian”
yang dalamnya manusia datang membungkukkan hati menyembah Allah dan mengakui
dia sebagai sang Khalik. Secara rohaniah,
doa adalah nafas hidup orang Kristen.
Pengampunan dosa adalah unsur yang penting dalam permintaan doa. Nyata bahwa doa pasti dijawab asalkan doa itu
dipanjatkan dalam nama Yesus Kristus (contoh 1 Yoh 5:15-15; dll.; bandingkan
dengan Mat 26:42; Mrk 14:36; Luk 22:42).
Doa dipanjatkan bukan untuk merubah kehendak Allah, tetapi untuk
menyatakan bahwa kehendak Allah adalah yang terbaik. Allah telah menyiapkan jawaban dari setiap
doa, bahkan sebelum doa itu dipanjatkan.
Dengan itu, iman menjadi unsur penting dalam menanti jawaban doa.
Yesus-lah yang mediatori manusia dengan Allah (1 Tim 2:5) dengan entugchanein “melakukan doa
pengantaraan” bagi umat-umat-Nya (Ibr 7:25).
Kalau demikian, doa sangatlah penting bagi para pengikut Yesus. Walaupun
doa tidak menyelamatkan, tapi doa berhubungan erat dengan keselamatan. Melalui doa, seorang meminta ampun dosa dan
memperbaharui hubungannya dengan Kristus.
Lewat doa, seorang dapat meminta pengampunan yang disediakan melalui
darah Yesus. Dalam proses penyucian, Roh
Kudus akan menyucikan seorang yang telah meminta ampun dosa dan membantu orang
itu untuk melakukan kehendak Allah.
Ketika berdoa, manusia sadar bahwa dia tidak dapat mengantarai dirinya
sendiri. Seorang mediator
diperlukan. Meditor itu adalah Yesus
Kristus, imam besar kita (1 Tim 2:5; Ibr 8:6; 9:15; 12:24).
Jika ada orang, setinggi
apapun pendidikannya, yang mengatakan bahwa doa itu tidak perlu, maka orang
tersebut tidak mengakui Allah sebagai sang Khalik, tidak memerlukan penebusan,
dan tidak mengakui Tuhan sebagai pemberi kebutuhan badaniah yang dia
perlukan. Ellen G. White berkata bahwa
doa ibarat makanan sehari-hari (MYP,
hal. 115). Jika seorang tidak makan,
orang itu akan sakit—dan jika dia terus-menerus tidak makan, dia akan
mati. Jika seorang tidak berdoa, dia
akan sakit, dan jika dia terus-menerus tidak berdoa, dia akan mati rohani. Pemberian rahmat hanya dapat diterima jika
seorang berdoa dan memintanya kepada Allah (bandingkan AA, hal. 49). Ini berarti
bahwa orang yang tidak berdoa tidak akan menerima rahmat Allah. Oleh sebab itu, setiap hari yang kita masuki
harus dimulai dengan doa (4 T,
hal., 588)—kemudian berdoa setiap saat
dalam hati atau tempat tertentu—dan hari itu ditutup dengan doa (Ibid.,
hal., 615-16). Dalam kaitannya dengan doa, beginilah
hari-hari orang Kristen harus dimulai dan diakhiri—hubungan kita dengan
pencipta tidaklah boleh berakhir!
4.2.
Perilaku Saat Berdoa
Perilaku yang benar dan
tidak benar saat seorang berdoa dinyatakan oleh Tuhan Yesus, dalam perumpamaan-Nya
yang terdapat dalam Luk 18:10-14. Yesus
berkata:
10 “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah
Farisi dan yang lain pemungut cukai. 11Orang Farisi itu berdiri dan
berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena
aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim,
bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; 12aku
berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala
penghasilanku. 13Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan
ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya
Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. 14Aku berkata kepadamu:
Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain
itu tidak. Sebab
barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan
diri, ia akan ditinggikan” (LAI).
Dalam perumpamaan di
atas, orang Farisi menghakimi orang lain dan menganggap dirinya suci. Ketika seorang berdoa, motif yaitu yang
mencakup perilaku hati dan pikiran adalah
yang terpenting untuk dipersiapkan.
Ketika berdoa, seorang harus menyadari bahwa dia adalah ciptaan yang
akan memohon pada sang Pencipta. Dia
harus mengerti bahwa dia adalah orang berdosa yang tidak memiliki kebenaran
pribadi. Oleh karena itu, dia datang
kepada Allah dalam doa untuk meminta pengampunan dosa. Dalam hal ini, perilaku seseorang sangatlah
penting. Perilaku itu haruslah dituntun
oleh Roh Allah. Kerendahan hati dan
merasa diri orang berdosa adalah perilaku yang Allah inginkan saat seorang
berdoa. Penting bagi seorang pendoa
untuk menyadari bahwa doanya tidak akan mengubah apa yang Tuhan telah
persiapkan banginya, yaitu yang terbaik bagi si pendoa (bandingkan dengan Mat
6:8). Tanpa merasa bahwa dirinya ptôchoí tô pneúmati “miskin rohani” (Mat
5:3; bandingkan Wah 3:17) maka perilaku seorang pendoa bukanlah perilaku yang
benar saat berdoa.
Menurut Ellen G. White, perilaku seorang yang menghadap Allah untuk
meyampaikan petisi-petisinya melalui doa sangatlah penting. Perilaku itu haruslah perilaku yang yang
sesuai dengan keinginan Allah, yang mencakup: (1) Penghormatan kepada dan rasa
gentar yang suci di hadapan Allah (MS
84, 1897, lihat juga 2 SM, hal.,
312); (2) Merasa bergantung sepenuhnya kepada Allah (Ibid.); dan (3) kerendahan
hati yang murni karena bukan sikap tubuh
yang dituntut saat seorang menghadap Allah dalam doa (MS 29, 1892). Ellen G. White berkata, “kita harus selalu berdoa dengan
hati yang lembut dan penuh kerendahan hati…” (Letter 342,
3 SM, hal., 266).
4.3.
Sikap Saat Berdoa
4.3.1.
Dasar Alkitab dan Ellen G. White
Sikap tubuh yang penuh hormat saat menghadap oknum
Ilahi berbeda berdasarkan kebudayaan masing-masing. Walaupun demikian, ada satu persamaan nyata,
yaitu setiap sikap tubuh tersebut mengekspresikan penghormatan pada sang
Khalik. Orang Yahudi Kristen (Messianic Jews), seperti yang pernah saya lihat,
berdiri saat berdoa, dan mereka merasa bahwa itu adalah penghormatan yang
tinggi pada Yeshua “Yesus.” Orang Slavic contohnya menghormati Allah
dengan cara berdiri saat doa pastoral dilayangkan. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan sikap
badan berdasarkan budaya masing-masing saat seorang berdoa kepada Allah.
Bagaimana sikap
berdoa yang disarankan oleh Ellen G. White?
Di satu Sabat pagi di Battle Creek, Ellen G. White duduk di jajaran
bangku para tamu, dan melihat seorang pelayan yang sedang memimpin umat untuk
berdoa, dan si pelayan akan menginstuksikan hadirin untuk berdiri. Lalu Ellen G. White dengan tegas berbisik
memanggil namanya dan mengakatan “berlutut!” Ketika menceritakan kembali
peristiwa ini dalam 2 SM, hal., 311,
ia berkata “inilah selalu sikap tubuh yang tepat…” Apakah bertelut adalah “selalu” satu-satunya
sikap badan yang tepat untuk berdoa menurut Ellen G. White? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka
komentar-komentar Ellen G. White harus dilihat secara hermeneutic dan tidak terfokus kepada satu kutipan saja!
[TAMBAHAN: Sebelum seseorang mempelajari
tulisan Ellen G. White, maka perlu untuk mengerti bahwa tulisan-tulisan Ellen
G. White harus diuji dengan Alkitab dan bukan Alkitab yang diuji dengan tulisan
Ellen G. White—jangan sampai kita sebagai orang Advent memutar prinsip ini,
yang akan menyebabkan tulisannya menjadi lebih tinggi dari Alkitab dan Ellen G.
White menjadi tuhan gantinya Yesus sang Anak Allah Terkadang orang-orang Advent
meninggikan tulisan Ellen G. White lebih dari pada Alkitab. Ini menyebabkan pola hidup beliau dijadikan
contoh yang tak mungkin salah dan berotoritas mutlak bagi kehidupan orang-orang
Advent. Kecenderungan seperti ini telah,
dengan sengaja atau tidak, mengarah kepada penyembahan spiritual padanya. Seharusnya, hal ini hanya kita berikan kepada
Yesus Kristus, Tuhan yang mengutus Ellen G. White. Itu berarti bahwa hanya pola hidup Yesus
Kristus-lah yang tak mungkin salah dan berotoritas sebagai contoh ideal bagi
semua aspek kehidupan umat Tuhan. Tulisan Ellen G. White
telah diuji dengan Alkitab dan terbukti tidak bertentangan dengan firman
Allah. Maka sangatlah disarankan agar
tulisannya dijadikan komentari saat kita meneliti Alkitab. Marilah kita lihat sikap tubuh yang berkenan
saat berdoa dalam tulisan Ellen G. White.].
0 komentar:
Posting Komentar