BAIT Ministry

Minggu, 08 Agustus 2021

PREDESTINASI DAN SOTERIOLOGY: REFLEKSI THEOLOGICAL PRIBADI SEORANG ADVENT

 


Pdt. Dr. S. Tandidio


1. Pendahuluan

Yang akan menjadi pusat pembicaraan kali ini adalah soteriology dalam reformasi Protestant.  Tulisan ini juga menyinggung bagaimana seharusnya tanggapan kita sebagai orang-orang Advent terhadap doktrin pridestinasi John Calvin (10 Juli 1509–27 Mei 1564), terkait dengan reputasinya sebagai seorang “pembaharu.” 

 

2. Pridestinasi: Alkitab atau Filsafat

2.1. Latar-Belakang Doktrin Pridestinasi

dan Posisi Gereja Advent

Sekitar tahun 396 C.E., Augustine dari Hippo (kira-kira 354-430 C.E.) mengatakan bahwa manusia menjadi wadah dosa dan terbelengguh oleh dosa.  Dia menyatakan bahwa setelah kejatuhan Adam dan Hawa, dalam diri manusia tidak ada will "kehendak" untuk menuruti perintah Allah.  Freewill manusia itu hilang sehingga secara alamiah manusia hanya dapat berbuat dosa saja. Oleh karena itu, pridestinasi perlu sebab manusia tidak punya kesanggupan untuk menyelamatkan dirinya sendiri karena hilangnya kemampuan menurut kehendak Allah.  Augustine mengindikasikan bahwa soteriology terdapat dalam kerangka sola gratia.  Menurut beliau, hanya sebagian manusia yang telah dipridestinasikan untuk diselamatkan.  Mereka yang telah dipridestinasikan untuk selamat, mempunyai freedom untuk menerima keselamatan yang disediakan oleh Allah.  Di lain pihak, Pelagius dari Inggris (kira-kira 383-410 C.E.), seorang rahip, petapa, moralis, dan yang kemudian dianggap penyesat, menyatakan bahwa manusia mempunyai kesanggupan berbuat baik, dengan kekuatannya sendiri, sekalipun tanpa bantuan Ilahi. Ia mengajarkan tentang adanya freewill dan pentingnya tanggung jawab manusia dalam soteriology.  

Ada empat masalah utama yang menjadi pusat perdebatan antara Augustine dan Pelagius, yaitu: freewill, pridestinasi, original sin, dan inherited sin.  Augustine mengatakan: (1) Oleh karena dosa, freewill manusia telah hilang; (2) Setelah kejatuhan Adam dan Hawa, manusia secara alamiah adalah wadah dosa dan tidak mungkin lagi berbuat baik; (3) Dosa adalah warisan orang-tua; (4) Walaupun bayi-bayi dilahirkan tabularasa, tapi tetap memerlukan kasih karunia Allah karena ada dosa turunan dalamnya; dan (5) Kasih karunia Alah itu diberikan dengan cuma-cuma dan tanpa batas kepada mereka yang telah dipridestinasikan.  Pelagius membantah ajaran Augustine dengan mengatakan bahwa: (1) Sekalipun Adam dan Hawa telah jatuh, manusia tetap memiliki freewill; (2) Manusia memiliki kemungkinan dalam dirinya sendiri untuk tidak berbuat dosa sekalipun tanpa bantuan Ilahi; (3) Dosa itu bukan warisan dari orang-tua, melainkan manusia berdosa karena meniru dosa orang lain; (4) Tidak penting untuk mengatakan bahwa bayi dilahirkan tabularasa; dan (5) Keselamatan ditawarkan kepada setiap orang dan tidak ada yang dipridestenasikan untuk selamat atau binasa.  Akhir cerita dari pertentangan ini, pandangan-pandangan Pelagius dikutuk oleh Konsili Kartago di tahun 418 C.E. dan Efesus di tahun 431 C.E. sehingga Pelagius diekskomunikasi oleh gereja Kristen saat itu.  Dapat dikatakan bahwa jauh sebelum reformasi Protestan, prinsip pridestinasi dalam konteks soteriology dan sola gratia telah ada.  Lebih jauh, faham tentang freewill yang berhubungan dengan tanggung jawab manusia dalam soteriology juga telah disinggung. 

Pada konsili Oranye tahun 529 C.E., faham yang sekarang disebut semi-augustinianisme disahkan.  Faham ini menyatakan bahwa Allah-lah yang mempersiapkan keselamatan.  Ajaran Augustine dimemoderasikan dengan menolak ide bahwa freewill manusia telah hilang karena manusia telah menjadi wadah dosa tapi menerima ajaran Augustine tentang adanya dosa turunan yang menyebabkan manusia tidak sanggup untuk berbuat baik dengan kekuatannya sendiri.  Terformulasi dalam konsili ini bahwa kasih karunia Ilahi diberikan kepada setiap orang tanpa batas dan dengan itu setiap orang dapat memilih untuk diselamatkan.  Faham ini mengajarkan bahwa kasih karunia Allah adalah tambahan dari Tuhan untuk mengembalikan kesempurnaan yang mula-mula dan gereja (dalam hal ini gereja Mama), melalui semua sakramennya, adalah perantara. 

John Calvin sang pembaharu (10 July 1509–27 May 1564) kelihatannya mewarisi faham ini dalam formulasi doktrin pidestinasi yang berhubungan dengan soteriology protestantisme—yaitu soteriology yang Christocentric.  Walaupun demikian, ajaran Calvin tidak 100-persen sejalan dengan semi-Augustinisme karena ajaran pridestinasi Calvin adalah unik.  Salah satu alasannya adalah gereja sebagai pengantara untuk mengembalikan kesempurnaan manusia yang telah hilang tidak dimasukkan oleh Calvin. 

Di abad ke-17 C.E., muncul faham yang disebut semi-pelagianisme.  Faham ini mengajarkan bahwa keselamatan telah disediakan Allah.  Ajaran Pelagius bahwa Allah tidak mempridestinasikan manusia untuk selamat atau binasa dan freewill manusia sangat penting dalam soteriology diterima dalam faham ini.  Dapat dikatakan bahwa faham semi-pelagianisme tidak 100-persen sejalan dengan ajaran Pelagius.  Ini karena faham semi-selagianisme tidak menerima ajaran Pelagius bahwa manusia sanggup berbuat baik dengan kekuatannya sendiri.  Gantinya, faham ini mengajarkan bahwa Allah, lewat Roh Kudus, bekerja sama dengan manusia dan membantu manusia untuk menggunakan freewill dalam memilih untuk menurut kehendak Allah.  Ajaran semi-pelaginisme menekankan bahwa keselamatan manusia adalah hasil karya Allah melalui Yesus lewat penerimaan manusia akan kasih karunia Allah.  Dapat dikatakan bahwa kasih karunia Allah lewat Yesus Kristus bekerja sama dengan freewill manusia berperan dalam keselamatan seseorang.

Faham semi-pelagianisme dikembangkan oleh Jacobus Arminius (1560-1609), orang Belanda, yang menjadi seorang theologian perintis jalan bagi John Wesley (28 Juni 1703-2 Maret 1791) untuk mengajarkan tentang pentingnya freewill dalam menyambut atau menolak tawaran keselamatan dari Allah lewat Yesus Kristus.  Arminius, lewat ajarannya, menolak keras ajaran pridestinasi Calvin.  Ellen G. White (26 November 1827-16 Juli 1915) adalah seorang hamba Allah yang meneruskan ajaran Wesley.

Orang-orang Armenian (Wesleyan) dan Whitian—istilah saya sendiri untuk orang Advent—umumnya percaya bahwa keselamatan yang diterima setelah seorang mengikuti baptisan yang kudus adalah pilihan dan bukan takdir.  Mereka percaya bahwa dalam kehidupan kekristenan, ada proses pembenaran dan penyucian untuk menuju kepada kesempurnaan.  Kesempurnaan dalam Kristus sangat penting bagi orang-orang Wesleyan dan Whitian.  Oleh karena itu, peran Roh Kudus sangat penting di sini.  Dalam proses ini, seorang yang berbuat dosa akan diampuni kalau dia meminta ampun dosa—sebab itu, dia menerima pembenaran dan penyucian setiap kali dia meminta ampun dosa—renewal sanctification.

Seorang yang telah diampuni dan menyerahkan dirinya pada tuntunan Roh Kudus akan bertumbuh dalam Kristus untuk menjadi serupa dengan Dia—menuju kepada kesempurnaan seperti Bapa dalam karakter-Nya yang penuh kasih (Matius 5:48).  Dalam hal ini, semboyan kharismatik "onced saved, always saved!" mungkin saja masuk akal kepada orang-orang Wesleyan dan Whitian.  Tapi, mereka juga percaya bahwa walaupun seorang telah menerima baptisan yang kudus namun tidak hidup dalam Kristus akan kehilangan keselamatan yang telah diterima.  Semua ini berhubungan erat dengan ide responsible grace.  Iman harus aktif agar kesempurnaan dalam Kristus dapat diperoleh (Yakobus 2:17, 22).  Jadi, cheap grace ditentang oleh responsible grace—perfection in Christ adalah tujuan pertumbuhan Kekristenan.  Jadi, semboyan "once saved, always save!" dari orang Kristen reformed-Charismatic mendapat tandingan, yaitu slogan "perfection in Christ" dari orang-orang Wesleyan dan Whitian.

Walaupun demikian, dalam doktrin Adventisme, dapat juga ditemukan pengaruh ajaran-ajaran Alkitabiah Lutheranisme, Calvinisme, Pembaharuan Radikal (Anabaptisme), Puritanisme, Pietisme, dan Restorationisme.  Woodrow W. Whidden mendiskusikan hal ini dalam Woodrow W. Whidden, "Adventist Soteriology: Wesleyan Connection," Wesleyan Theological Journal 30 (Spring 1995): 173-86; dan Idem, Ellen White on Salvation: A Chronological Study (Hagerstown: Review and Herald Pub. Assoc., 1995), 15-22.—(Professor doktor Whidden saat ini adalah dosen Systematic Theology di Andentist International Institute of Advenaced Studies [AIIAS], the Philippines).  Lebih jauh lagi, ajaran Alkitab dari Gereja Katolik, yaitu tentang doktrin Trinitas, juga ada dalam ajaran Adventisme. 

Ajaran Adventisme masuk golongan mana, Armenianisme (Wesleyanisme) atau Calvinisme? Saya berpendapat bahwa Adventisme mempunyai kesamaan faham dengan Armenianisme (Wesleyanisme) dalam konteks yang sedang kita bicarakan.  Tapi secara keseluruhan, Adventisme tidak sama dengan Armenianisme (Wesleyanisme) karena ajaran-ajaran Adventisme tidak semua bersumber dari Armenianisme (Wesleyanisme).  Ada ajaran-ajaran Alkitab yang telah ditemukan oleh banyak gereja lain yang ada dalam ajaran-ajaran Adventisme.  Walaupun demikian, ada juga ajaran yang dianggap sebagai distinctive doctrines dari gereja Advent, contohnya doktrin sanctuary dan kefanaan jiwa.

 

2.2. Konsep TULIP Calvin

Doktrin pridestinasi atau takdir Calvin yang mempunyai sejarah yang panjang seperting yang diringkaskan di atas.  Garis besar ajaran Calvin ini terlihat jelas dalam konsep TULIP, yang singkatnya adalah seperti yang dipaparkan berikut ini:

T—Total Depravity (Kebobrokan Sepenuhnya). Setelah kejatuhan manusia, maka manusia tidak memiliki will “kehendak” untuk datang kepada Allah dikarenakan Total Depravity manusia.

U—Unconditional Election (Penentuan Tanpa-Syarat). Oleh karena will manusia untuk sanggup datang kepada Allah tidak ada lagi, yang dikarenakan oleh Total Depravity tadi, maka Allah harus berinisiatif untuk memilih siapa-siapa yang Dia kehendaki untuk diselamatkan.  Pemilihan ini adalah Unconditional Election kepada siapa saja yang Allah ingin pilih.  Mereka yang telah dipilih akan diselamatkan. Dalam hal ini, foreknowledge Allah memegang peranan.  Dia mengetahui sebelumnya siapa yang layak untuk Ia pilih. 

L—Limited Atonement (Pendamaian Terbatas)–Yesus, lewat kematian-Nya di salib, hanya mendamaikan mereka yang masuk dalam kelompok orang yang dipilih lewat  cara Unconditional Election.  Dapat dikatakan bahwa kematian Yesus di kayu salib adalah eksklusif bagi mereka yang telah terpilih oleh Allah. 

I—Irresistible Grace (Rahmat yang Takdapatditolak/Kuat).  Kematian Kristus adalah rahmat besar bagi mereka yang telah dipilih untuk diselamatkan.  Mereka yang telah dipilih tidak dapat menolak rahmat Allah dan sekali mereka dipilih akan terus terpilih.  Yang telah dipilih Allah telah ditentukan untuk menjadi pengikut Tuhan yang setia. 

P—Perseverance of Divine Grace (Keberlanjutan Karunia Allah).  Dalam diri orang-orang yang telah dipilih Allah, karunia Allah terus berlanjut.  Mereka yang sudah dipilih tidak akan pernah keluar dari status orang pilihan.  Jika sekiranya mereka jatuh, mereka akan bertobat kembali karena mereka telah dipilih untuk diselamatkan berdasarkan Perseverance of Divine Grace.  Once saved, always save! “Sekali diselamatkan, selalu selamat!”

 

2.3. Reformasi dan Predestinasi

Untuk menghindari reaksi yang bisa menghasilkan asumsi bahwa Calvin adalah guru palsu karena doktrinnya yang satu ini, maka yang pertama-tama harus muncul dalam pemikiran kita bahwa ajaran pridestinasi dari Calvin berhubungan dengan masalah soteriology-kekal Allah dalam reformasi Protestan.  Ide tentang soteriology-kekal Allah, yang diambil dari ajaran Calvin, sepertinya menyatakan bahwa keputusan kekal yang Allah ambil berkaitan dengan apa yang Ia inginkan dari orang-orang Kristen.  Jika Allah mengharapkan penurutan dari setiap pribadi, maka ajaran pridestinasi, dalam konteks ini, berhubungan erat dengan soteriology yang berpusat pada Kristus.  Jika hal ini benar, maka ajaran pridestinasi mengartikan Kristus, dalam kepenuhan kwalitas-Nya, sebagai Sang Pengantara.  Yesus adalah jalan keluar dari masalah perpisahan antara manusia dengan Allah oleh karena dosa (Yesaya 59:2). Yesus Kristus, melalui karya penyelamatan-Nya, menebus semua orang yang terpilih untuk percaya kepada-Nya.  Karya penyelamatan Kristus yang mencapai puncaknya di kayu salib dimanifestasikan lagi melalui pekerjaan Roh Kudus dalam memanggil, membenarkan, dan menyucikan mereka yang terpilih (orang-orang Kristen). 

Agaknya, doktrin pridestinasi Calvin mengingatkan para pengikut Calvin akan kenyataan bahwa Yesus, Sang Mediator, yang mendamaikan manusia dengan Allah melalui karya penyelamatan-Nya di kayu salib, telah menyempurnakan penyelamatan para electus (yang dipilih).  Oleh karena itu, usaha penyelamatan ini, yang dilakukan dalam sejarah, bisa dimengerti sebagai pemanifestasian rencana keselamatan melalui sejarah.  Di saat seorang menjadi milik Kristus lewat iman kepada-Nya, orang tersebut dibenarkan dan disucikan, sehingga orang itu dianggap [telah] dipridestinasikan.  Ketika seorang telah menjadi Kristen karena karunia Allah, melalui kerja Roh Kudus, dia disucikan atas pengakuan dosanya yang konstan.  Dalam hal ini, sepertinya ada renewal sanctification dalam ajaran Calvin.  Pertama, sepertinya ajaran pridestinasi Calvin sesuai dengan beberapa ayat Alkitab, contohnya John 6:44, 45; Roma 8:29-3; 9; Efesus 1:4-5; 1 Petrus 1:1-2; dll.  Kedua, ajaran ini bersifat historis dalam karakternya.  Saya beranggapan bahwa hal yang kedua menunjukkan satu kemungkinan yang hampir pasti, sedangkan hal yang pertama perlu untuk diuji kembali secara exegetical dan hermeneutical. 

Doktrin Calvin tentang pridestinasi berbeda dengan faham yang dianggap sesat yang dimunculkan oleh Marcion (85-160 C.E.) tentang freewill manusia.  Untuk Calvin, setelah kejatuhan manusia, freewill manusia untuk memilih yang baik telah hilang dan freewill itu sendiri tidak jahat.  Bagi Marcion, freewill manusia itu pada dasarnya adalah jahat, yang oleh karenanya, kita sekarang menjadi orang-orang berdosa.  Lebih jauh, Marcion berpendapat bahwa Allah Sang Pencipta yang menciptakan Adam dan Hawa merupakan Allah yang lebih rendah derajatnya, dan bukan Allah Yang Maha Kuasa, karena Ia memberikan freewill kepada manusia.  Karena doktrin Calvin tentang pridestinasi dengan pasti Christocentric "berpusat pada Kristus," maka kuasa memilih ada di sana.   Tapi, freewill ini adalah freewill yang terbatas.  Mereka yang telah menerima Kristus memiliki freewill untuk menuruti kehendak-Nya.  Orang-orang yang tidak dipridestinasikan untuk selamat akan berakhir pada satu penghukuman yang kekal. 

Dapat disebut bahwa orang yang telah dipilih untuk selamat adalah orang yang harus mempertahankan pembenaran yang telah diberikan kepadanya.  Bagi saya secara pribadi, komentar Calvin untuk Galatia 3:11-12, mendukung pendapat ini, seperti yang dia katakan: "Tanpa meragukan, Hukum tidak bertentangan dengan iman; jika tidak demikian, Allah bukanlah seperti diri-Nya sendiri; kita harus kembali kepada prinsip yang ada bahwa kata-kata Paulus muncul karena segi-segi dari kasus yang sedang terjadi…Maka tidak dapat disimpulkan dari sana, bahwa iman itu tidak aktif, atau iman membebaskan orang-orang percaya dari perbuatan-perbuatan baik"  ((John Calvin, Calvin's Commentaries: The Epistle of Paul the Apostle to the Galatians and Ephesians, trans. William Pringle, ed. David. W. Torrance and Thomas F. Torrance (Grand Rapids, MI: Eerdmans, [1960]), 90-1).  Jadi jelas, seorang yang telah dipilih sekalipun harus berbuat baik.

Karena soteriology-kekal Allah hadir dalam sejarah, dan untuk orang-orang terpilih, setelah penyaliban Sang Messias, dimanifestasikan dalam pekerjaan Roh Kudus, maka pengakuan dosa memiliki peranan penting.  Sekarang, masalah yang berhubungan dengan semboyan “sekali diselamatkan, tetap selamat” adalah slogan yang digunakan sebagai sapi-bajak dari banyak orang-orang Kristen reformed-Charismatic.  Tuhan melarang manusia menghakimi manusia, kiranya Allah saja yang menjadi Sang Hakim, namun saya dapat merasakannya karena objek dari maksud-maksud tersebut ada disekeliling saya.  Dengan penggunaan seperti ini, maka semboyan tersebut menjadi tidak tepat bagi orang-orang Kristen yang rindu untuk mengasihi Kristus dengan sungguh-sungguh lewat penurutan akan Hukum-Nya—saya ingin tegaskan bahwa orang-orang Kristen yang ingin menuruti Hukum Allah adalah orang-orang Advent yang setia.  Oleh karena itu, saya berpendapat, bahwa, agaknya kurang bijaksana untuk mengalamatkan semboyan "sekali diselamatkan, tetap selamat!" terhadap Calvin dalam pengertian seperti yang dipegang oleh orang-orang Kristen reformed-Charismatic.

Saya dapati bahwa, di satu pihak, inti dari doktrin pridestinasi itu telah ditolak oleh banyak reformed scholar, yang secara alamiah adalah para pengikut Calvin, karena doktrin tersebut tidak Alkitabiah. Para Reformed scholar itu tidak setuju dengan Calvin bahwa melalui keputusan kekal Allah, sebagian orang telah ditakdirkan untuk kehidupan yang kekal sedangkan sebagian orang lainnya ditakdirkan untuk penghukuman yang kekal. Di lain pihak, Reformed scholar lainnya mengerti bahwa doktrin pridestinasi atau penentuan tanpa-syarat yang telah di re-interpretation adalah faham Alkitab.  Apakah tanggapan saya sebagai seorang Advent?  Saya, bagaimanapun juga, sepaham dengan golongan reformed scholar yang pertama.  Saya menolak doktrin Calvin yang satu ini berdasarkan alasan bahwa doktrin tersebut terlalu filosofis.  Oleh karena itu, saya mendorong orang-orang Advent untuk tidak menerima doktrin pridestinasi karena ajaran ini tidak berdasarkan pemahaman hermeneutical Alkitab, baik PL ataupun PB. 

Calvin tentu saja menggunakan ayat-ayat Alkitab dalam mendukung pendapatnya [tentang pridestinasi], tapi, dalam hal ini dia tidak mengikuti methode exegesis dan hermeneutics dalam menganalisa ayat-ayat tersebut. Calvin memunculkan doktrin pridestinasi karena barangkali termotivasi secara khusus oleh kondisi kontemporer dari reformed-Protestant di Swiss dan secara umum oleh kondisi semua orang Protestant di masanya.  Orang-orang Protestant ini memerlukan kepastian akan keselamatan mereka setelah meninggalkan gereja Mama.  Gereja Babilon pada waktu yang lampau teguh akan pendiriannya bahwa keselamatan hanya berada dalam gereja itu.  Menurut kuasa agamawi ini, tidak ada keselamatan diluar gereja tersebut.  Gereja Babilon itu juga pernah menyodorkan satu bentuk fictive salvation yang dapat diterima melalui lembaran surat indulgence bagi orang-orang Kristen untuk membayarnya dengan uang agar dapat diselamatkan.  Untuk itu, Calvin memberi keyakinan kepada para pengikutnya bahwa keselamatan mereka tidak digantungkan pada gereja tersebut, atau lebih terarah lagi—kepada Paus, karena keselamatan mereka telah dipridestinasikan oleh Allah sebelumnya (contoh John 6:44, 45; Roma 8:29-3; 9; Efesus 1:4-5; 1 Petrus 1:1-2; dll.).  Oleh sebab itu, tidak ada gunanya bagi mereka untuk kembali ke gereja Roma Katolik demi mencari keselamatan.   

Calvin hanyalah seorang lawyer-theologian yang ingin mengetahui Allah dan menuruti kehendaknya.  Kekeliruan-kekeliruan theology yang dia lakukan dalam ajaran-ajaran dokmatikanya janganlah dijadikan senjata yang dapat merendahkan kredibilitasnya sebagai seorang pembaharu. Extra calvinisticum dari orang-orang Calvinist berbicara tentang finitum non capax infiniti bahwa tubuh kemanusiaan Kristus memiliki keterbatasan-keterbatasan.  Bagi saya, pengertian orang-orang Calvinist ini jauh lebih baik dari kepercaraan orang-orang Lutheran tentang ubiquity atau omnipresence dari kemanusiaan lahiriah Yesus.  Dalam faham ubiquity atau omnipresence dari kemanusiaan Yesus, tubuh lahiriah Kristus tidak terbatas dan dapat hadir di mana-mana.   Hubungannya dengan sakramen ekaristi, menurut Martin Luther (10 November 1483–18 February 1546) dalam ajaran consubstantiation, substansi lahiriah dari daging dan darah Kristus co-exist "hadir bersama-sama" dalam roti dan anggur perjamuan ketika didoakan  yang menjadikan roti dan anggur itu memiliki substansi daging dan darah Yesus.  Faham Luther ini hanya "beda-beda tipis" dengan faham tansubstansiasi dari gereja Mama bahwa roti dan anggur ekaristi benar-benar ber-transform "berubah bentuk" menjadi daging dan darah Kristus ketika didoakan.  Walaupun Luther kurang tepat dalam hal ini, tapi janganlah hal itu merendahkan Luther sebagai a great man of God karena pengertian ubiquity atau omnipresence akan tubuh lahiriah Kristus.  (Tambahan: orang-orang Advent memegang ajaran Alkitab yang diajarkan oleh Huldrych [Ulrich] Zwingli [1 Januari 1484–11 Oktober 1531] tentang perjamuan.  Zwingli mengatakan bahwa roti dan anggur perjamuan hanyalah peringatan akan Yesus atau sebagai lambang saja.  Yesus sendiri katakan bahwa roti dan anggur perjamuan adalah lambang " . . . peringatan akan Aku"  [Lukas 22:19]).    

Saya teguh percaya bahwa Ellen G. White tidak akan pernah setuju dengan ajaran-ajaran theology yang tidak benar sekalipun ajaran itu berasal dari para reformer.  Tapi, Mrs. White sendiri memperlihatkan penghargaan kepada Luther dan Calvin sebagai orang-orang saleh Allah.  Jika Mrs. White memperlihatkan penghargaan kepada mereka, bagaimana dengan kita? Menghargai bukan berarti menerima ajaran non-Alkitabiah yang mereka ajarkan.  

 

3. Soteriology Alkitabiah

3.1. Ajaran Alkitab Tentang Keselamatan  dan Pemilihan

Kata soteriology adalah gabungan dari dua kata Yunani sōtêria "keselamatan" dan lógos "wacana" atau "gagasan rasionil" (setara dengan kata Latin oratio "ceramah" atau "suatu pembicaraan"). Soteriology dapat didefinisikan sebagai "ilmu tentang keselamatan."  Namun saya lebih senang mengartikan soteriology sebagai "wacana tentang keselamatan." Konsep soteriology Kristen barangkali bersumber dari kata Ibrani yəšû'āh atau môšîa' yang setara dengan kata Yunani sōtêr "peyelamat."  Kedua kata Ibrani tersebut berasal dari akar kata yŝ'—bentuk kata kerja yāŝa' artinya "menyelamatkan."  Kata môšîa' telah ditemukan sedini 1 Samuel 9:16 dan akar kata yŝ' sudah ada dalam Keluaran 2:17.  Untuk "menyelamatkan" harus ada "penyelamat." 

Dalam PL, keselamatan bisa bersifat fisikal dan juga spiritual. Yang berhubungan dengan hal-hal fisikal contohnya terdapat dalam Mazmur 37:40; 59:2; 106:4; Yeremia 15:20; Yesaya 38:20; dll. dan yang berhubungan dengan hal-hal spiritual contohnya terdapat dalam Mazmur 79:9; 69:13; 51:12; dll.  Inti pemahaman tentang keselamatan dalam PL dapat diambil dari narasi yang terdapat dalam Keluaran 12:40-14:31, kisah tentang kelepasan bangsa Israel dari penjajahan di Mesir (cf. Keluaran 13:3-16; 19:4-6).  Kelepasan bangsa Israel itu mencakup kelepasan dari perbudakan badani (fisikal) dan pengaruh kekafiran (spiritual) yang melambangkan kelepasan manusia dari dosa yang akan dilakukan oleh Sang Penyelamat sejati.

Kelepasan dari dosa sangat tergantung pada kedatangan Sang Penyelamat yang telah dinubuatkan dalam PL, contohnya dalam Kejadian 3:15; Yesaya 7:14—nama-Nya akan disebut Immanuel.  Tapi di sini belum jelas apakah Immanuel memiliki Christological-reference.  Nabi-nabi di PL berbicara tentang siapa Sang Penyelamat itu, contohnya Yesaya 43:11 dan Hosea 13:4.  Ayat-ayat ini menjawab bahwa Allah sendirilah Sang Penyelamat itu.  Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa soteriology dalam PL adalah Theocentric "berpusat pada Allah" karena Sang Penyelamat adalah Allah (untuk PB—Titus 1:3 dan Lukas 1:47). 

Dalam Matius 1:23, jelas bahwa yang diproklamasikan oleh Allah sebagai Immanuel adalah Yesus Kristus.  Maksud kedatangan-Nya adalah untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka (Matius 1:21).  Kalau begitu, Kristus-lah Sang Penyelamat.  Dengan demikian, Yesaya 43:11; 7:14; dan Hosea 13:4 dapat ditafsir secara eschatological-hermeneutics yang hasilnya ialah Yesus Kristus sebagai Sang Penyelamat. 

Karena Kristus adalah Sang Penyelamat; dan Sang Penyelamat itu adalah Allah; maka Yesus Kristus adalah Allah Sang Penyelamat.  Dengan itu, dapat disimpulkan bahwa soteriology yang Theocentric dalam PL dimanifestasikan dalam soteriology yang Christocentric dalam PB.  Soteriology yang Christocentric tidak menghapus soteriology yang Theocentric karena Kristus adalah Allah dalam rupa manusia—immanuel (Yesaya 7:14; Matius 1:23; Yohanes 1:1, 14).  

Untuk mendapatkan keselamatan, seorang memerlukan Penyelamat.  Seorang yang telah diselamatkan akan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).  Karena manifestasi dari soteriology yang Allah rencanakan dalam kasih karunia-Nya telah nyata melalui diri Kristus Sang Anak Allah (Matius 3:17), jadi, hanya melalui iman dalam nama Kristus, Sang Penyelamat, seorang dapat memperoleh keselamatan (Yohanes 3:16; Kisah 4:12).  Seorang yang diselamatkan adalah seorang yang ditebus, dibenarkan, disucikan, dan menerima proses kesempurnaan dalam Kristus oleh kuasa Roh Kudus. Seorang yang telah diselamatkan haruslah menghidupkan kehidupan yang diinginkan oleh Sang Penyelamat.  Roh Kudus bekerja untuk menuntun manusia dalam kebenaran dan menginsyafkan dosa-dosa serta mengamarkan tentang penghakiman Allah atas dosa (Yohanes 16:8).  Jika seorang jatuh ke dalam dosa, ia harus meminta ampun dosa agar pengampunan dosa mengambil tempat dalam dirinya.  Sang Roh Kudus bekerja untuk mengubah kehidupan seseorang untuk menjadi serupa dengan Kristus—sempurna seperti Bapa dalam tabiat (Matius 5:48).  Seorang yang telah diselamatkan harus bertumbuh menuju kesempurnaan, jika tidak, keselamatan itu akan lepas dari padanya.  Kesempurnaan hanya dapat terjadi jika seorang menerima bantuan Roh Kudus untuk bekerja dalam kehidupannya.  

Kapan keselamatan diterima seseorang?  Menurut pendapat saya, keselamatan diterima seseorang disaat orang itu menerima Kristus melalui iman yang diwujudkan melalui baptisan yang kudus.  Tapi, jika orang tersebut tidak mempertahankan keselamatan yang ia terima, yaitu tidak hidup dalam Kristus melalui iman yang aktif, keselamatan tersebut mungkin saja hilang daripadanya.  Peran Roh Kudus sangat penting dalam kehidupan Kekristenan dan hanya Dia-lah yang dapat membantu seseorang untuk mempertahankan keselamatannya melalui proses renewal sanctification, dan dengan pertolongan Allah menuju kepada kesempurnaan.  

 

3.2. Ajaran Alkitab Bahwa Yang Dipilih

Akan Menjadi Murid

Kata murid dalam PB berasal dari kata Yunani mathêthês.  Mathêthês secara harfiah berarti "murid," "siswa," atau "pelajar."  Bisa juga berarti "seorang yang belum berpengalaman" atau "pendukung seorang guru."  Semua ini dimanifestasikan melalui: (1) bergiat dalam belajar berdasarkan petunjuk sang guru; (2) berasosiasi secara konstan dengan sang guru yang notabene memiliki reputasi pedagogis; (3) memiliki sifat ingin dituntun dan mendukung sang guru.  Kata pemuridan dalam konteks menjadi murid Yesus dapat berarti proses belajar yang akan menghasilkan kesetiaan, penurutan, dan ketekunan dalam mencontohi kehidupan sang Guru agar menjadi serupa dengan Dia (Markus 3:14)—dan tidak melebihi sang Guru (Matius 10: 24).

Pemuridan merupakan inisiatif Ilahi dalam memanggil, menarik, dan mendorong seseorang untuk menjadi murid-Nya (Yohanes 6:44).  Jadi Allah-lah yang dalam kasih karunia-Nya berinisiatif untuk memanggil seseorang menjadi murid-Nya.  Manusia juga terlibat dengan  menggunakan freewill untuk menyambut atau menolak panggilan pemuridan.  Konsep pemuridan ada dalam prinsip sola gratia.  Pemuridan dapat juga dikaitkan dengan sōtêr.  Ini karena panggilan untuk menjadi murid Yesus dalam PB adalah juga panggilan untuk melakukan tugas pemuridan.  Tugas pemuridan adalah memuridkan orang lain untuk menjadi pengikut Kristus (Matius 28:19-20; Kisah 1:8).

Pemuridan dalam narasi Yesus memilih murid-muridnya juga tidak mengajarkan faham pridestinasi Calvin.  Yesus memilih murid-murid-Nya untuk tugas khusus—menjala manusia.  Untuk tugas khusus, diperlukan orang-orang khusus.  Walaupun demikian, panggilan itu tidak boleh diartikan sebagai penentuan tanpa-syarat atau pentakdiran (pemridestinasian).  Murid-murid yang dipanggil tidak dipridestinasikan untuk menjadi murid Yesus, tetapi oleh kasih karunia, mereka dipilih untuk tugas khusus itu.  Mereka yang dipanggil oleh Yesus untuk menjadi murid-Nya telah menggunakan freewill secara tepat yang nyata dalam sambutan mereka akan panggilan itu dengan meninggalkan perahu serta jala mereka—lalu mengikut Yesus. 

Kapan pemuridan diterima seseorang? Matius 28:19-20 sangatlah penting untuk menjawab pertanyaan ini—berbunyi: "19Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, 20dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."  Kata Yunani yang digunakan untuk "pergilah kamu" adalah poreuthéntes (nominatif participle aorist pasif maskulin jamak dari kata kerja deponent poreúomai).  Jadi, "pergilah kamu" secara harafiah adalah "sementara kamu pergi" dalam pengertian yang komplit.  Sehubungan dengan pemuridan, dapat dimengerti, "sementara kamu pergi, lakukanlah tugas pemuridan." Tercakup ke dalamnya: (1) membaptis dalam nama Bapa, Anak, dan Roh kudus; dan (2) mengajar segala perintah Kristus.

Kalau urutan di atas ditafsir secara cronological,  maka isu tentang kapan keselamatan diterima terjawab bahwa keselamatan diterima disaat seorang menerima keselamatan yang ditawarkan Allah melalui Kristus lewat baptisan yang kudus. Penerimaan ini adalah hasil kerja Roh Kudus yang menuntun seorang menggunakan freewill untuk menerima kasih karunia Allah, yaitu karya penebusan Yesus Kristus, melalui iman.  Kapan pemuridan diterima?  Di saat seorang menerima Kristus, maka ia menjadi murid-Nya (Kisah 11:26).  Namun untuk menjadi murid Yesus dalam menjalankan tugas khusus, ada waktu yang Allah siapkan.  Ketika waktunya telah tiba, Tuhan akan berinisiatif untuk memanggil dan manusia diharapkan untuk menerima panggilan itu dengan menggunakan freewill.  Contoh, Yesus memanggil Petrus dan beberapa murid yang lain untuk tugas khusus menjadi penjala manusia setelah saatnya tiba (analisa Lukas 5:1-10; Yoh. 1:35-51).

 

3.3.  Keselamatan dan Pemuridan 

Sebelum melihat perbedaan keselamatan dan pemuridan, pertama-tama kita lihat dulu persamaan mereka sesuai konteks pembicaraan kita.  Persamaannya adalah entah keselamatan maupun pemuridan, kedua-duanya adalah inisiatif Allah yang didasarkan pada prinsip sola gratia.  Dengan menggunakan freewill, manusia dapat menyambut atau menolak inisiatif Ilahi tersebut.  Roh Kudus-lah yang menyanggupkan manusia untuk menyambut inisiatif Allah.  Kaitan antara keduanya adalah dalam perihal keselamatan bisa dijumpai aspek pemuridan.

Walaupun demikian, keselamatan dan pemuridan adalah dua hal yang tidak identik.  Saya melihatnya dari sudut pandang missiology dan soteriology.   Anda bisa dan bebas untuk melihatnya dari sudut pandang yang lain.  Penafsiran berdasarkan prinsip sola scriptura menunjukkan bahwa pemuridan itu dapat dilakukan oleh manusia (lihat Matius 28:19-20).  Ini terlihat dalam narasi tentang tugas pemuridan yang khusus dari Yesus kepada murid-murid-Nya untuk menjadi penjala manusia (Matius 4:19; Markus 1:17; dan Lukas 5:11). Keselamatan tidak dapat diberikan oleh orang yang paling saleh sekalipun.  Keselamatan hanya dapat dilakukan oleh Allah sendiri, melalui Tuhan kita Yesus Kristus (Mazmur 37:39; 62:1; 74:12; Yunus 2:9; Yohanes 3:16; Kisah 4:22; dll.).  Manusia memperoleh keselamatan itu dengan menggunakan freewillnya untuk beriman kepada Kristus (Yohanes 3:16; Roma 1:17; Galatia 3:11). 

Perbedaan antara keselamatan dan pemuridan menemui titiknya pada tugas menyelamatkan dan memuridkan. Tugas menyelamatkan tidak bisa dilakukan oleh manusia; sedangkan, tugas pemuridan dapat dilakukan oleh manusia.  Di satu pihak, manusia hanya bisa menjadi alat (Markus 16:15; Lukas 24:47-48; Kisah 1:8) untuk memberitakan kepada orang lain bahwa ada keselamatan yang datangnya dari Allah—tapi, manusia tidak bisa menjadi penyelamat.  Di pihak yang lain, para pengikut Yesus diminta untuk melakukan tugas pemuridan, yaitu memuridkan orang-orang lain agar mereka bisa menjadi murid Sang Maha Guru Tuhan kita Yesus Kristus (Matius 28:19-20).

 

4. Kesimpulan

Dari kaca mata orang Advent pada umumnya, doktrin pridestinasi Calvin tidak Alkitabiah.  Saya secara pribadi sependapat dengan  orang Advent yang tidak setuju dengan doktrin pridestinasi Calvin.  Latar-belakang sejarah dari munculnya doktrin pridestinasi Calvin yang saya tulis ini tidak boleh menjadi alasan untuk menerima doktrin tersebut.  Walaupun demikian, doktrin Calvin yang satu ini dapat dimengerti sebagai dampak historis dari reformasi.  Selebihnya, sejarah perkembangan doktrin ini memperlihatkan bahwa ajaran pridestinasi Calvin bersifat filosofis yang diramu secara sistematika dan theologis.

Dalam doktrin predistinasi Calvin ada ajaran free-grace.  Tapi free-grace ini terbatas hanya kepada mereka yang telah dipredistinasikan dan dengan itu mereka memiliki freedom untuk menerima free-grace tersebut.  Dalam doktrin pridestinasi: (1) Manusia adalah makhluk yang telah jatuh dan karena itu tidak memiliki freewill untuk menerima Allah dan melakukan hal-hal yang secara spiritual baik—kecuali mereka telah dipridestinasikan untuk selamat; (2) Pembenaran dan penyucian dari Allah dapat diterima melalui iman dan iman itu juga adalah pemberian Allah kepada mereka yang telah dipridestinasikan; dan (3) Pemberian dan panggilan Allah dicurahkan tanpa pamrih—tapi ini terbatas kepada mereka yang telah dipridestinasikan. 

               Alkitab tidak setuju dengan ajaran takdir.  Keselamatan dan nasip manusia adalah pilihan manusia.  Keselamatan ditawarkan kepada setiap orang, dan setiap orang berhak untuk menentukan pilihannya, memilih atau menolak Kristus.  Marilah kita menggunakan freewill kita untuk memilih Kristus agar oleh iman di dalam-Nya, kita akan diselamatkan oleh Allah. ***


0 komentar:

Posting Komentar