BAIT Ministry

Selasa, 05 September 2023

Apakah Kebenaran Itu ?


Apakah Kebenaran Itu ?
Pdt. Ronny Panambunan


                                                                                                                                                                     


K

ebenaran tidak seperti dulu lagi. Di masa lalu, mengatakan kebenaran berarti merepresentasikan fakta secara akurat. Kebenaran berhubungan dengan kenyataan untuk diketahui, dan bahwa tidak mengatakan kebenaran adalah salah secara moral. Sehingga mengatakan kebohongan adalah kekeliruan dari suatu masalah.  Negara kita Indonesia baru saja selesai dengan pesta demokrasi. Pasca beberapa hari Pilpres dan Pileg, terjadi perang kecaman di media sosial lantaran ada klaim kemenangan dari salah satu paslon di Pilpres 2019.  Banyak orang mempertanyakan klaim kemenangan tersebut.  Ketika calon Presiden Prabowo Subianto mengklaim  angka 62 persen kemenangan di Pilpres 2019 dan berkata, “kami menang,” apakah ia mengatakan yang sebenarnya?  Tentu jawaban yang terbaik adalah itu tergantung pada apa definisi “adalah” dan apa definisi Prabowo tentang “kemenangan” bahkan untuk membuktikan klaim tersebut dan bahwa telah terjadi banyak pelanggaran dalam Pilpres 2019 Prabowo telah menempuh jalur hukum ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang merupakan Lembaga Peradilan Modern dan Terpercaya.

 

Dunia kita telah terbiasa dengan Orwellian doublespeak (suara ganda Orwellian adalah menggambarkan situasi, ide, atau kondisi masyarakat yang dengan sengaja mengaburkan, menutupi, membelokkan, atau memutar balik makna kata sebagai hal yang merusak kesejahteraan masyarakat yang bebas dan terbuka), dan dengan alasan moral yang absolut sebagian besar dianggap sesuatu dari masa lalu, bahasa telah menjadi alat yang lentur di tangan para ideolog.

 

Kaum feminis telah lama memahami kekuatan penamaan dan penggantian nama untuk menata kembali dunia kita sesuai dengan gagasan mereka tentang kesetaraan gender. Tetapi yang jauh lebih meresahkan daripada penggunaan bahasa yang cenderung tendensius dan manipulatif oleh mereka yang mengejar agenda sosiopolitik adalah fakta bahwa gagasan kebenaran telah menjadi korban pemikiran dan wacana postmodern (Post modern adalah masa setelah masa modern yaitu paradigma berpikir dimana segala sesuatu itu relatif, satu hal dapat terganti dengan mudah jika hal baru memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan hal lain.  Paham Postmodernisme adalah filsafat yang menegaskan bahwa tidak ada kebenaran yang obyektif atau mutlak, terutama yang terkait soal agama dan spiritualitas; "itu mungkin benar untuk Saudara, tapi tidak bagi saya."). Kebenaran tidak lagi "kebenaran", dalam ajaran-Nya,  Yesus mengklaim sebagai "kebenaran" (Yohanes 14: 6. Yesus berkata kepadanya, "Akulah jalan, dan kebenaran, dan kehidupan. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku). Sebaliknya, itu dipahami sebagai kebenaran "Anda" atau kebenaran "saya" —yaitu, berbeda dalam cara, tapisama-sama sah dalam memahami realitas. Oleh karena itu kebenaran hanyalah versi realitas yang dipilih secara sosial, dikondisikan secara sosial, dan dibangun oleh seseorang.

 

“Kebenaran sejati” hampir tidak jauh berbeda dengan “kebenaran palsu.” Hal ini membuktikan bahwa kebenaran sedang dalam kondisi terjepit pada zamannya.  Orang Kristen, khususnya yang mengaku “umat yang sisa” atau “umat yang setia” harus menegaskan realitas dari kebenaran dengan menyatakan mengenal dan memahami “kebenaran sejati” bukan sebagai subjektif atau relatif, karena kebenaran adalah kebenaran telah hilang saat ini dan relatiflah yang berkuasa.  Pengajaran di perguruan tinggi bahkan di sekolah-sekolah teologi kebenaran sedang diruntukan dan hal itu telah mengalir kedalam kehidupan kita sehari-hari.  Pada zaman ini, banyak orang bahkan ada pengajar dan pendeta telah tergoda oleh dunia, menggunakan konsep-konsep dunia gantinya jawaban khas dari Alkitab ketika menjawab isu-isu global sekarang ini.  Saatnya gereja dan anggota-anggotanya mengambil satu sikap dan pendirian yang teguh dan tegas untuk kembali kepada Alkitab sebagaimana pernyataan Yesus “ada tertulis,” (Matius 4:4,6,7,10; 21:13; 26:31; Markus 7:6;11:17; 14:27) sebuah generasi baru harus bangkit menghadapi tantangan untuk menyuarakan kebenaran.

 

Banyak orang berusaha untuk memahami masalah kebenaran dari sudut pandang budaya, filosofis, teologis-hermeneutis, dan alkitabiah. Tapi tahukah kita bahwa kurang lebih dua ribu tahun yang lalu, Kebenaran diadili dan dihakimi oleh orang-orang yang justru mengabdikan dirinya kepada dusta. Bahkan, untuk membuktikan kebenaran, kebenaran harus menghadapi enam pengadilan dalam waktu kurang dari satu hari penuh. Tiga pengadilan agama, serta tiga pengadilan hukum. Semua yang mengikuti peristiwa-peristiwa ini barangkali dapat menjawab pertanyaan ini, “Apakah kebenaran itu?”  Mulai dari Hanas, Kayafas yang adalah imam dan menantu Hanas, dan dihadapan Mahkama Yahudi (Sanhedrin) banyak saksi palsu yang dihadapkan.  Mahkamah Agama Yahudi telah membuat keputusan, tetapi dewan Yahudi tidak memiliki hak resmi secara hukum untuk melaksanakan hukuman mati, sehingga mereka terpaksa membawa hal ini kepada gubernur Romawi pada saat itu, Pontius Pilatus, memerintah tahun 26-36 masehi. Pilatus diangkat oleh Kaisar Tiberius sebagai Prokurator atau gubernur daerah kelima Yudea.  Sebagai Gubernur, Pilatus dapat menggunakan kekuasaannya untuk menentukan hidup dan mati seseorang. Ia bisa membalikkan hukuman mati yang diputuskan oleh Mahkamah Agama.  Inilah percakapan Pilatus dan Yesus di Pengadilan:

Maka kembalilah Pilatus ke dalam gedung pengadilan, lalu memanggil Yesus dan bertanya kepada-Nya: “Engkau inikah raja orang Yahudi?” Jawab Yesus: “Apakah engkau katakan hal itu dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang mengatakannya kepadamu tentang Aku?” Kata Pilatus: “Apakah aku seorang Yahudi? Bangsa-Mu sendiri dan imam-imam kepala yang telah menyerahkan Engkau kepadaku; apakah yang telah Engkau perbuat?” Jawab Yesus: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini.” Maka kata Pilatus kepada-Nya: “Jadi Engkau adalah raja?” Jawab Yesus: “Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku.” Kata Pilatus kepada-Nya: “Apakah kebenaran itu?” (Yohanes 18:33-38).

 

Pertanyaan Pilatus yang terkenal kepada Yesus tentang sifat kebenaran dalam Yohanes 18:38 “Apakah kebenaran itu?” telah sering ditanyakan oleh banyak orang sekarang ini.  Yohanes menunjukkan bahwa kebenaran adalah konsep teologis, dan kenyataannya bahwa konsep kristologis tidak dapat dipisahkan dengan pribadi Yesus Kristus (Yohanes 14: 6). Yesus adalah kebenaran, dan Firman-Nya adalah kebenaran (Yohanes 17:17), dan karena Yesus adalah Firman, Anak Tunggal dari Bapa yang telah menjelma menjadi manusia dan diam diantara kita (Yohanes 1:1-3,14), maka satu-satunya cara bagi kita untuk mengetahui kebenaran adalah mengenal Tuhan melalui Yesus Kristus karena Yesuslah Kebenaran itu (Yohanes 8:31; 14: 6; 17: 3).

 

Catatan Alkitab sebagai Firman Allah yang hidup tentang pengadilan Yesus di hadapan Pilatus yang diikuti dengan diskusi tiga tokoh utama dalam pengadilan Yesus di hadapan Pilatus:  Para pemimpin Yahudi, Pilatus dan Yesus. Peran pemimpin Yahudi dan penolakan mereka terhadap kebenaran karena menghadirkan saksi dan kesaksian yang palsu, serta Pilatus pengingat yang abadi tentang ketidakmungkinan mempertahankan netralitas dihadapan kebenaran dan Yesus melayani sebagai Saksi Kebenaran Allah di hadapan para interogatornya Romawi telah membuktikan banyak hal tentang “apakah kebenaran itu?”

·        Persidangan Yesus adalah parodi keadilan.  Jika hakim tidak memperdulikan kebenaran, apakah peran kebenaran dalam persidangan Yesus dan vonis terhadap Yesus?,

·        Peran Pilatus sejajar dengan peran Kayafas, Imam Besar Yahudi, keduanya menunjukkan orang non-yahudi dan orang Yahudi dapat bersatu dalam satu aliansi yang tidak kudus untuk melawan seorang yang Benar yang diurapi Tuhan.

·        Kebenaran bukanlah gagasan abstrak atau suatu bentuk dalil tetapi kebenaran adalah secara Kristologis dan Keselamatan secara historis, yang terikat erat pada Salib (secara literal) dengan kata lain kebenaran adalah Yesus sendiri, dan Injil adalah tentang penyaliban dan kebangkitan-Nya. Injil ini memanggil seluruh umat manusia untuk percaya, dan bukan suatu pernyataan terpisah tentang realitas secara umum.

·        Tokoh utama dalam narasi pengadilan bukanlah Pilatus tetapi Para pemimpin Yahudi dan Yesus.  Serangkaian kisah tanda-tanda Yesus yang meningkat dalam Yohanes 1-12 diparalelkan dengan gelombang penolakan terhadap Yesus oleh para pemimpin Yahudi yang mewakili bangsa Yahudi. Pertempuran utama untuk kebenaran adalah antara Yesus dan para pemimpin Yahudi dan menyangkut pertanyaan yang sangat penting tentang apakah Yesus adalah Mesias yang Ia klaim. Sementara Pilatus berupaya menghindari pertanyaan tentang kebenaran, orang-orang Yahudi langsung menolak kebenaran.

·        Pertanyaan Pilatus, "Apakah kebenaran itu?" Yang jauh dari sekadar penyelidikan yang tulus mengenai sifat kebenaran, memiliki fungsi semata-mata untuk menghentikan pokok persoalan dan melanjutkan pada tujuan dari pertemuan itu.

·        Yesus berdiri di hadapan Pilatus merupakan pernyataan kebenaran melawan kekuasaan.  Power of Truth (kuasa kebenaran) jauh lebih besar daripada Truth of Power (kebenaran kekuasaan).  Yesus memberikan harapan kepada mereka yang tidak berdaya dan tidak punya kekuasaan tetapi mereka adalah yang mewakili kebenaran.

 

Pada akhirnya, kebenaran ini membutuhkan tanggapan pribadi: “Setiap orang yang dari kebenaran mendengarkan suaraku” (Yohanes 18:37).  Dalam kerangka Injil, pernyataan ini menggemakan kata-kata Yesus dalam “wacana Gembala yang Baik” dalam pasal 10 (lihat ayat 3, 16, dan 27; lihat juga 3: 3, 21).  Sementara Yesus yang seolah-olah yang diadili di sini, kata-kata Yesus menjadi sorotan bagi Pilatus:  Apakah ia akan menjawab kebenaran dan mendengarkan Yesus? Atau apakah dia akan mendengarkan para penuduhnya?  Pada prinsipnya adalah mungkin bagi Pilatus untuk mendengarkan Yesus. Tetapi menanggapi Yesus saat itu berarti pemutusan radikal dengan masa lalunya, begitu radikal sehingga hampir tidak terpikirkan.  Masa lalu Pilatus memperbudaknya, dan masa kini terlalu berantakan dengan kebijakan politik dan kompromi sehingga sulit bagi kebenaran untuk masuk.  Seperti para pemimpin Yahudi, Yesus berkata dalam Yohanes 10:26 “tetapi kamu tidak percaya, karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku.” Pilatus tidak termasuk di antara “domba” Yesus.  Hal ini mengecewakan tapi tidak mengejutkan, setelah tidak lebih dari keraguan sesaat, Pilatus dengan acuh tak acuh menjawab, “Apakah kebenaran itu?” dan dengan kasar menghentikan interogasi, kembali ke luar untuk memberikan keputusannya tentang Yesus kepada para pemimpin Yahudi dan orang banyak.  Apa jawabanmu Jika pertanyaan Pilatus ini ditanyakan kepadamu sekarang ini “Apakah kebenaran itu?”  Dan Apakah engkau termasuk domba-domba-Ku? Kata Yesus. Percayakah engkau bahwa Yesus adalah Kebenaran?  Saya percaya.  ***



0 komentar:

Posting Komentar