K |
ebenaran
tidak seperti dulu lagi. Di masa lalu, mengatakan kebenaran berarti
merepresentasikan fakta secara akurat. Kebenaran berhubungan dengan kenyataan
untuk diketahui, dan bahwa tidak mengatakan kebenaran adalah salah secara
moral. Sehingga mengatakan kebohongan adalah kekeliruan dari suatu
masalah. Negara kita Indonesia baru saja
selesai dengan pesta demokrasi. Pasca beberapa hari Pilpres dan Pileg, terjadi
perang kecaman di media sosial lantaran ada klaim kemenangan dari salah satu
paslon di Pilpres 2019. Banyak orang
mempertanyakan klaim kemenangan tersebut.
Ketika calon Presiden Prabowo Subianto mengklaim angka 62 persen kemenangan di Pilpres 2019
dan berkata, “kami menang,” apakah ia mengatakan yang sebenarnya? Tentu jawaban yang terbaik adalah itu
tergantung pada apa definisi “adalah” dan apa definisi Prabowo tentang
“kemenangan” bahkan untuk membuktikan klaim tersebut dan bahwa telah terjadi
banyak pelanggaran dalam Pilpres 2019 Prabowo telah menempuh jalur hukum ke
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang merupakan Lembaga Peradilan Modern
dan Terpercaya.
Dunia kita telah terbiasa dengan Orwellian doublespeak (suara ganda
Orwellian adalah menggambarkan situasi, ide,
atau kondisi masyarakat yang dengan sengaja mengaburkan, menutupi, membelokkan, atau memutar balik makna kata
sebagai hal yang merusak kesejahteraan masyarakat yang bebas dan terbuka), dan dengan alasan moral yang
absolut sebagian besar dianggap sesuatu dari masa lalu, bahasa telah menjadi
alat yang lentur di tangan para ideolog.
Kaum feminis telah lama memahami kekuatan penamaan dan
penggantian nama untuk menata kembali dunia kita sesuai dengan gagasan mereka
tentang kesetaraan gender. Tetapi yang jauh lebih meresahkan daripada
penggunaan bahasa yang cenderung tendensius dan manipulatif oleh mereka yang
mengejar agenda sosiopolitik adalah fakta bahwa gagasan kebenaran telah menjadi
korban pemikiran dan wacana postmodern
(Post modern adalah masa setelah masa modern yaitu paradigma berpikir dimana
segala sesuatu itu relatif, satu hal dapat terganti dengan mudah jika hal baru
memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan hal lain. Paham Postmodernisme adalah filsafat yang
menegaskan bahwa tidak ada kebenaran yang obyektif atau mutlak, terutama yang
terkait soal agama dan spiritualitas; "itu mungkin benar untuk Saudara,
tapi tidak bagi saya."). Kebenaran tidak lagi "kebenaran",
dalam ajaran-Nya, Yesus mengklaim
sebagai "kebenaran" (Yohanes
14: 6. Yesus berkata kepadanya, "Akulah jalan, dan kebenaran, dan
kehidupan. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui
Aku). Sebaliknya, itu dipahami sebagai kebenaran "Anda" atau
kebenaran "saya" —yaitu, berbeda dalam cara, tapisama-sama sah dalam
memahami realitas. Oleh karena itu kebenaran hanyalah versi realitas yang
dipilih secara sosial, dikondisikan secara sosial, dan dibangun oleh seseorang.
“Kebenaran sejati” hampir tidak jauh berbeda dengan
“kebenaran palsu.” Hal ini membuktikan bahwa kebenaran sedang dalam kondisi
terjepit pada zamannya. Orang Kristen,
khususnya yang mengaku “umat yang sisa” atau “umat yang setia” harus menegaskan
realitas dari kebenaran dengan menyatakan mengenal dan memahami “kebenaran
sejati” bukan sebagai subjektif atau relatif, karena kebenaran adalah kebenaran
telah hilang saat ini dan relatiflah yang berkuasa. Pengajaran di perguruan tinggi bahkan di
sekolah-sekolah teologi kebenaran sedang diruntukan dan hal itu telah mengalir
kedalam kehidupan kita sehari-hari. Pada
zaman ini, banyak orang bahkan ada pengajar dan pendeta telah tergoda oleh
dunia, menggunakan konsep-konsep dunia gantinya jawaban khas dari Alkitab
ketika menjawab isu-isu global sekarang ini.
Saatnya gereja dan anggota-anggotanya mengambil satu sikap dan pendirian
yang teguh dan tegas untuk kembali kepada Alkitab sebagaimana pernyataan Yesus
“ada tertulis,” (Matius 4:4,6,7,10; 21:13; 26:31; Markus 7:6;11:17; 14:27)
sebuah generasi baru harus bangkit menghadapi tantangan untuk menyuarakan
kebenaran.
Banyak orang berusaha untuk memahami masalah kebenaran
dari sudut pandang budaya, filosofis, teologis-hermeneutis, dan alkitabiah.
Tapi tahukah kita bahwa kurang lebih dua ribu tahun yang lalu, Kebenaran
diadili dan dihakimi oleh orang-orang yang justru mengabdikan dirinya kepada
dusta. Bahkan, untuk membuktikan kebenaran, kebenaran harus menghadapi enam
pengadilan dalam waktu kurang dari satu hari penuh. Tiga pengadilan agama,
serta tiga pengadilan hukum. Semua yang mengikuti peristiwa-peristiwa ini barangkali
dapat menjawab pertanyaan ini, “Apakah kebenaran itu?” Mulai dari Hanas, Kayafas yang adalah imam
dan menantu Hanas, dan dihadapan Mahkama Yahudi (Sanhedrin) banyak saksi palsu
yang dihadapkan. Mahkamah Agama Yahudi
telah membuat keputusan, tetapi dewan Yahudi tidak memiliki hak resmi secara
hukum untuk melaksanakan hukuman mati, sehingga mereka terpaksa membawa hal ini
kepada gubernur Romawi pada saat itu, Pontius Pilatus, memerintah tahun 26-36
masehi. Pilatus diangkat oleh Kaisar Tiberius sebagai Prokurator atau gubernur daerah kelima Yudea. Sebagai Gubernur, Pilatus dapat menggunakan
kekuasaannya untuk menentukan hidup dan mati seseorang. Ia bisa membalikkan
hukuman mati yang diputuskan oleh Mahkamah Agama. Inilah percakapan Pilatus dan Yesus di
Pengadilan:
Maka kembalilah
Pilatus ke dalam gedung pengadilan, lalu memanggil Yesus dan bertanya
kepada-Nya: “Engkau inikah raja orang Yahudi?” Jawab Yesus: “Apakah engkau
katakan hal itu dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang mengatakannya
kepadamu tentang Aku?” Kata Pilatus: “Apakah aku seorang Yahudi? Bangsa-Mu
sendiri dan imam-imam kepala yang telah menyerahkan Engkau kepadaku; apakah
yang telah Engkau perbuat?” Jawab Yesus: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini;
jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku
jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari
sini.” Maka kata Pilatus kepada-Nya: “Jadi Engkau adalah raja?” Jawab Yesus:
“Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk
itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang
kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku.”
Kata Pilatus kepada-Nya: “Apakah
kebenaran itu?” (Yohanes 18:33-38).
Pertanyaan Pilatus yang terkenal kepada Yesus tentang
sifat kebenaran dalam Yohanes 18:38 “Apakah kebenaran itu?” telah sering
ditanyakan oleh banyak orang sekarang ini.
Yohanes menunjukkan bahwa kebenaran adalah konsep teologis, dan
kenyataannya bahwa konsep kristologis tidak dapat dipisahkan dengan pribadi
Yesus Kristus (Yohanes 14: 6). Yesus adalah kebenaran, dan Firman-Nya adalah
kebenaran (Yohanes 17:17), dan karena Yesus adalah Firman, Anak Tunggal dari
Bapa yang telah menjelma menjadi manusia dan diam diantara kita (Yohanes
1:1-3,14), maka satu-satunya cara bagi kita untuk mengetahui kebenaran adalah
mengenal Tuhan melalui Yesus Kristus karena Yesuslah Kebenaran itu (Yohanes
8:31; 14: 6; 17: 3).
Catatan Alkitab sebagai Firman Allah yang hidup
tentang pengadilan Yesus di hadapan Pilatus yang diikuti dengan diskusi tiga
tokoh utama dalam pengadilan Yesus di hadapan Pilatus: Para pemimpin Yahudi, Pilatus dan Yesus.
Peran pemimpin Yahudi dan penolakan mereka terhadap kebenaran karena
menghadirkan saksi dan kesaksian yang palsu, serta Pilatus pengingat yang abadi
tentang ketidakmungkinan mempertahankan netralitas dihadapan kebenaran dan
Yesus melayani sebagai Saksi Kebenaran Allah di hadapan para interogatornya
Romawi telah membuktikan banyak hal tentang “apakah kebenaran itu?”
·
Persidangan Yesus adalah parodi
keadilan. Jika hakim tidak memperdulikan
kebenaran, apakah peran kebenaran dalam persidangan Yesus dan vonis terhadap
Yesus?,
·
Peran Pilatus sejajar dengan peran
Kayafas, Imam Besar Yahudi, keduanya menunjukkan orang non-yahudi dan orang
Yahudi dapat bersatu dalam satu aliansi yang tidak kudus untuk melawan seorang
yang Benar yang diurapi Tuhan.
·
Kebenaran bukanlah gagasan abstrak atau
suatu bentuk dalil tetapi kebenaran adalah secara Kristologis dan Keselamatan
secara historis, yang terikat erat pada Salib (secara literal) dengan kata lain
kebenaran adalah Yesus sendiri, dan Injil adalah tentang penyaliban dan
kebangkitan-Nya. Injil ini memanggil seluruh umat manusia untuk percaya, dan
bukan suatu pernyataan terpisah tentang realitas secara umum.
·
Tokoh utama dalam narasi pengadilan
bukanlah Pilatus tetapi Para pemimpin Yahudi dan Yesus. Serangkaian kisah tanda-tanda Yesus yang
meningkat dalam Yohanes 1-12 diparalelkan dengan gelombang penolakan terhadap
Yesus oleh para pemimpin Yahudi yang mewakili bangsa Yahudi. Pertempuran utama
untuk kebenaran adalah antara Yesus dan para pemimpin Yahudi dan menyangkut
pertanyaan yang sangat penting tentang apakah Yesus adalah Mesias yang Ia
klaim. Sementara Pilatus berupaya menghindari pertanyaan tentang kebenaran,
orang-orang Yahudi langsung menolak kebenaran.
·
Pertanyaan Pilatus, "Apakah kebenaran
itu?" Yang jauh dari sekadar penyelidikan yang tulus mengenai sifat
kebenaran, memiliki fungsi semata-mata untuk menghentikan pokok persoalan dan
melanjutkan pada tujuan dari pertemuan itu.
·
Yesus berdiri di hadapan Pilatus merupakan
pernyataan kebenaran melawan kekuasaan. Power of Truth (kuasa kebenaran) jauh
lebih besar daripada Truth of Power
(kebenaran kekuasaan). Yesus memberikan
harapan kepada mereka yang tidak berdaya dan tidak punya kekuasaan tetapi
mereka adalah yang mewakili kebenaran.
Pada
akhirnya, kebenaran ini membutuhkan tanggapan pribadi: “Setiap orang yang dari
kebenaran mendengarkan suaraku” (Yohanes 18:37). Dalam kerangka Injil, pernyataan ini
menggemakan kata-kata Yesus dalam “wacana Gembala yang Baik” dalam pasal 10
(lihat ayat 3, 16, dan 27; lihat juga 3: 3, 21). Sementara Yesus yang seolah-olah yang diadili
di sini, kata-kata Yesus menjadi sorotan bagi Pilatus: Apakah ia akan menjawab kebenaran dan
mendengarkan Yesus? Atau apakah dia akan mendengarkan para penuduhnya? Pada prinsipnya adalah mungkin bagi Pilatus
untuk mendengarkan Yesus. Tetapi menanggapi Yesus saat itu berarti pemutusan
radikal dengan masa lalunya, begitu radikal sehingga hampir tidak
terpikirkan. Masa lalu Pilatus memperbudaknya,
dan masa kini terlalu berantakan dengan kebijakan
politik dan kompromi sehingga sulit bagi kebenaran
untuk masuk. Seperti para pemimpin Yahudi, Yesus berkata
dalam Yohanes 10:26 “tetapi kamu tidak percaya, karena kamu tidak termasuk
domba-domba-Ku.” Pilatus tidak termasuk di antara “domba” Yesus. Hal ini mengecewakan tapi tidak mengejutkan,
setelah tidak lebih dari keraguan sesaat, Pilatus dengan acuh tak acuh
menjawab, “Apakah kebenaran itu?” dan dengan kasar menghentikan interogasi,
kembali ke luar untuk memberikan keputusannya tentang Yesus kepada para
pemimpin Yahudi dan orang banyak. Apa
jawabanmu Jika pertanyaan Pilatus ini
ditanyakan kepadamu sekarang ini “Apakah kebenaran itu?” Dan Apakah engkau termasuk domba-domba-Ku?
Kata Yesus. Percayakah engkau bahwa Yesus adalah Kebenaran? Saya percaya. ***
0 komentar:
Posting Komentar