Pada suatu Sabat,
pendeta jemaat Savannah ketika itu, Pdt. Bob Wint dalam khotbahnya bertanya kepada jemaat,
“apakah ada orang benar di bumi ini”. Jemaatpun sontak menggeleng dan menjawab
“Hanya Yesus yang benar”. Tetapi, pendeta melontarkan jawaban menarik: “Ada”.
Jemaatpun terkejut. Dirinya menyatakan bahwa diri sendirilah yang selalu benar.
Tentu saja jawaban tidak terduga ini diucapkan sambil tersenyum, menandakan
sebuah ironi. Ya, kenyataannya, di banyak kesempatan, kita sering menempatkan
diri sendiri yang paling benar. Dalam urusan keselamatanpun, manusia sering
menganggap dirinya mampu mendapatkan keselamatan menurut caranya sendiri.
Ketika kita terjebak dalam pemahaman tentang kebenaran diri sendiri, berharap
pada kekuatan sendiri, maka saat itulah kita kehilangan pandangan kepada
Juruselamat sebagai satu-satunya kebenaran. Kita akan binasa bila tidak segera
memandang Juruselamat.
Petrus mendapat
kesempatan berjalan di atas air ketika dia meminta kepada Kristus, “Tuhan,
apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepadaMu berjalan di atas air”. Kata
Yesus, “Datanglah” (Matius 14:28-29). Dengan iman dia melangkahkan kaki keluar
dari perahu. Dia memandang kepada Yesus dan berjalan di air.
Dalam kejadian
ini, ada peristiwa alam yang terjadi, yakni angin bertiup. Di belakang Petrus,
sekumpulan murid sedang menyaksikan. Lalu, dia tenggelam. Mengapa? Karena dia
berpaling dari Yesus yang tetap ada di depannya.
Tindakan lanjutan
dari berpaling dari Yesus adalah melihat alam sekitar dan kepada diri sendiri.
Ketika itulah ketakutan dan kecemasan yang ada dalam diri mulai
menenggelamkannya hingga hampir binasa. Hanyalah ketika dia meminta tolong, ”Tuhan, tolonglah aku”, maka pertolongan itu
datang. Lalu Yesus berkata, “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau
bimbang?” Lalu mereka naik ke perahu dan anginpun redalah. Tangan Yesuslah yang
membebaskan Petrus dari kematian. Bagian Petrus hanyalah kembali memandang dan
berharap kepada Yesus.
Dalam mengarungi
samudera kehidupan, begitu sering peristiwa alam dan lingkungan mengambil
perhatian kita dari Juruselamat. Seperti Petrus, kita pasti tenggelam. Kita
akan terjebak ke lautan ketakutan, kecemasan bahkan keputusasaan dan terperosok
dalam lumpur dosa. Hanyalah ketika kita memandang Yesus, memohon
pertolonganNya, kita bisa ditarik keluar dari lumpur dosa yang mematikan. Bagian kita hanyalah mulai memandang
kepadaNya dan tetap memandangNya, dan Dia sendiri yang akan mengangkat kita dan
menyelamatkan kita. Inilah iman itu. Iman tidak menyelamatkan tetapi menjadi
bagian dalam proses keselamatan.
Saat iman kita
nyata, kita memandang terus menerus kepada Yesus, maka bagian Kristuslah yang
akan mulai menyelamatkan. Dia akan masuk ke hati kita, menyucikan pikiran dari
dosa-dosa kesayangan atau dosa-dosa terselubung yang mungkin tidak kita sadari.
Memandang kepada
Yesus berarti merelakan diri ini untuk dibentuk menjadi suci terus menerus.
Proses ini bisa saja melewati api penyucian yang menyakitkan, sama seperti emas
ketika ditempa di dapur pemurnian oleh karena kita harus membuang keinginan
diri atau sangkal diri dan memikul salib. Tetapi Yesus akan bekerja untuk itu
karena tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Allah. Selama kita tetap
memandang Dia, keselamatan itu pasti.
Inilah proses
keselamatan itu, yakni Yesus yang bekerja untuk menyucikan kita dari dosa
ketika kita telah melakukan bagian kita, yakni memandang padaNya dengan iman:
percaya kepadaNya dan setia. Tuhan memberkati kita sekalian.
Ellen Manueke
0 komentar:
Posting Komentar